Peristiwa Daerah

Diskusi Publik DKJ Bahas Makna Gerakan Tubuh dalam Kesenian Tari

Selasa, 17 November 2020 - 22:12 | 44.90k
Independent dancer choreographer, Rianto menjadi pembicara dalam Diskusi Publik DKJ. (Foto: Tangkapan Layar TIMES Indonesia)
Independent dancer choreographer, Rianto menjadi pembicara dalam Diskusi Publik DKJ. (Foto: Tangkapan Layar TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar diskusi publik secara virtual dengan mengusung tema “Tabu! Tabu! Tabu!”. Diskusi publik yang dikemas dalam webinar, Selasa (17/11/2020), membahas tentang makna gerakan tubuh yang menari. 

Diskusi yang berlangsung pada malam ini, menghadirkan narasumber utama independent dancer choreograper, Rianto. Ada juga narasumber dari berbagai pengamat yakni  Putu Fajar Arcana (Jurnalis), dan Rachmi Diah Larasati (Professor Gender Women & Sexualities Studies/ University of Minnesota Minneapolis).

Rianto menyampaikan tubuh yang menari, merupakan peleburan dari maskulinitas dan feminimitas yang membentuk seni dengan makna tersendiri.  Untuk dapat mengenali lebih dalam, tubuh yang menari merupakan upaya seseorang mengenali tubuhnya sendiri. 

"Melalui gerakan tari saya ingin menunjukkan ekspresi kehidupan saya dan kebebasan tubuh saya," kata Rianto. 

Rianto menyampaikan tubuhnya memiliki peleburan dari maskulinitas dan feminimitas, yang menjadikannya mampu menari komtemporer. Menurutnya dalam sebuah seni dan budaya, tidak ada yang tabu. Karena, selagi sesuatu yang tabu menjadi pengetahuan dan dsejrah yang dperlajari akan menajdi nilai positif bagi ntiap ekspresi dan 

"Dalam berkesenian tidak ada yang tabu dan dalam berbudaya tidak juga tidak ada yang tabu. Kuncinya, sebagai seorang seniman harus bisa menghargai dan cerdas dalam mencermati situasi apapun," kata Rianto. 

Professor Gender Women & Sexualities Studies/ University of Minnesota Minneapolis, Rachmi Diah Larasati menjelaskan sudut pandang konteksi ketubuhan secara indivudu Rianto  dalam berkarya, untuk memehami hak ekspresi secara ketubuhan ruang, patut untuk diapresiasi. Menurutnya, seni dan tarian itu syarat makna, baik secara politik maupun sejarah negara.

Menurutnya, makna seni banyak didekonstruksi. Bentuk tarian penari dihilangkan, lalu diganti dengan tarian yang penuh keindahan, pesona, pendukung pariwisata, dan dijadikan bentuk perwakilan bangsa yang ideal bagi pasar global. 

“Ketika kita membicarakan nilai tradisi, tidak berarti hanya membicarakan yang indah-indah. Karena kita juga harus memanusiakan manusia," kata Diyah. 

Sementara itu, Putu Fajar Arcana (Jurnalis) menyampaikan bahwa menari masih identik dengan perempuan. Hal ini tidak lepas dari stigma dari masyarakat. Hal ini sangat bertentangan dengan makna dan fungsi dari seni tersebut. 

Menurutnya kesenian seharusnya  memberikan semacam jalan keluar untuk mengatasi satu tekanan sosial, satu tekanan peraturan yang menimpa orang per orang.  Ia menjelaskan seni, menjadi jalan pembebasan, baik secara ketubuhan karena tubuh tertekan oleh peraturan atau kamar yang sempit maupun menemukan ‘bahasa baru’ dalam proses berkesenian. 

Pada akhirnya, karya-karya para seniman akan memproduksi pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh ilmu-ilmu lain, seperti sains dan teknologi, untuk terus bergerak mengarungi batas-batas terjauh yang bisa dijangkau imajinasi manusia.

Diskusi publik dari DKJ pada malam hari ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat, dalam mengartikan seni tari dan memberikan pandangan baru terkait stigma tabu dalam tari. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES