Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Di Pesta Ini, Berhentilah Menari !

Selasa, 17 November 2020 - 12:05 | 59.86k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma), penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma), penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Pilkada serentak sudah diambang pintu. Pesta beridealitas penegakan atau pengejawentahan demokrasi ini menjadi pertarungan dan pertaruhan yang melibatkan banyak subyek, mulai dari subyek sosial, politik, ekonomi, hingga subyek agama. Mereka secara langsung atau tidak langsung terlibat atau melibatkan diri dalam pesta demokrasi (pilkada).

Kita yang mencita-citakan tegaknya nilai adiluhung dalam pesta demokrasi tentulah tidak ingin ada kekuatan tangan-tangan jahat menari dalam pilkada, khususnya yang berelasi dengan uang, baik uang sebagai tujuan maupun uang sebagai kinstrumen untuk digunakan mendestruksinya. Pilkada harusnya berjalan dengan sakral, karena yang dilahirkan atau diproduknya adalah sosok pemimpin yang akan mengelola pemerintahan di ranah kepentingan rakyat.

"Uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya" demikian pernyataan John Hagee,  dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan yang diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006),.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pernyataan Hagee tersebut sejatinya mengajarkan, bahwa setiap orang harus hati-hati dalam menyikapi pesona uang. Kehadiran uang bukan hanya dapat menipu, mengelabuhi,  dan menyesatkan kita, tetapi juga dapat menggiring kita menjadi “tikus” dapat keji yang bisa menggerogoti (menghancurkan) kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan sesama, istimewanya demokrasi yang bermartabat.

Bukan hanya Hagge yang meminta kita mewaspadai uang, Barnum, sebagai Anggota Pendiri Sirkus Barnum & Bailey, juga mengingatkan, bahwa  uang merupakan hamba yang sangat baik, tetapi tuan yang sangat buruk.

Senyatanya, uang bisa digunakan sebagai alat mati (hamba) yang menggerakkan dan jadi generator yang mendinamisasi potret sejarah kehidupan manusia, termasuk sejarah membangun pemerintahan lokal (pemerintahan daerah). Konstruksi pemerintahan ini tidak lepas dari besaran anggaran yang dibutuhkan, yang antara lain dengam pelaksanaan Pilkada.

Manusia bisa memperlakukan uang sebagai mesin yang mampu membuat dirinya  sebagai kekuatan jahat, yang tega menghabisi dan menganibalisasi hak-hak orang lain. Kepentingan HAM menjadi gampang dianulir atau dikalahkan ketetika dalam diri pengelola atau pemegang amantnya terseret dalam kesibukan memburu dan menahbiskan uang dengan segala cara.

Nabi Muhammad pun pernah mengingatkan, “jangan kalian menyembah uang (dinar) dan emas, karena kalian akan dihancurkannya”. Sabda ini mengingatkan kita tentang kewajiban berhati-hati dalam membaca dan menyikapi godaan uang.

Uang mampu mengubah dan “merevolusi” masyarakat miskin, telantar, dan tak berdaya menjadi masyarakat sejahtera dan berdaya, namun juga bisa mengubah masyarakat dari kondisi yang tak berdaya dan miskin menjadi semakin miskin dan terpuruk mengenaskan.

Salah satu wilayah sosial yang sering menggoda kita dalam relasinya dengan uang adalah “proyek-proyek kemanusiaan” semacam pos-pos bantuan bencana alam, non alam atau anggaran-anggaran yang diregulasikan oleh negara sebagai dana penyuksesab demokrasu, atau irama akselerasi syahwat pasar, khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan pokok masyarakat

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tidak sulit ditemukan di masyarakat mengenai seseorang atau sekelompok orang yang mencoba “menari” di atas penderitaan masyarakat  atau ketidakberdayaan masyarakat (social empowerless) dengan atas nama kepentingan demokrasi.

Ibarat sebuah pepatah yang menyebut “antara yang benar dan jahat” tidak akan mengenal kata henti bertarung, seolah meminta kita untuk memelekkan mata (pengawasan) terhadap keniscayaan bekerjanya tangan-tangan jahat, yang “menari” (mengkriminalisasikan) masyarakat demi kebahagiaan sendiri dan kroni.

Kecurigaan seperti itu tak bisa ditampik, pasalnya di negeri ini, terlebih saat digelar pesta demokrasi (pilkada) sudah demikian populer mengenai banyaknya  elemen masyarakat  yang gampang mengail di air keruh, yang berambisi dan serakah mendapatkan uang berlimpah, atau mudah digelincirkan oleh pesona uang, meskipun uang yang dijadikan targetnya ini merupakan hak masyarakat yang sedang sarat penderitaan atau sebagai penyangga kebutuhan elementernya.

Kriminalisasi hak-hak masyarakat itulah yang membuat pelakunya layak ditempatkan sebagai kaum penghisap, akar penyebar menguatnya negeri ini menjadi mangkalnya pesulap-pesulap demokrasi hebat, yang punya kemampuan hebat menyulap apa saja, yang produk sulapannya diberi label “halal”, berbobot kultural,  dan berkekuatan  legalitas de jure,  atau sebagai tengkulak dan korporasi yang mengarogansikan dehumanisasi dan ragam penyimpangan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma), penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES