Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Merdeka Belajar Solusi Mengatasi Problematik Pembelajaran Sastra di Perguruan Tinggi

Selasa, 17 November 2020 - 11:04 | 60.17k
Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. pernah mengajar di beberapa sekolah dan saat ini menjadi dosen di FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).
Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. pernah mengajar di beberapa sekolah dan saat ini menjadi dosen di FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Ketika berbicara tentang pembelajaran sastra tentu hal itu akan terkait dengan beberapa aktivitas sastra, seperti apresiasi sastra, penulisan kreatif sastra, dan performansi sastra. Sementara itu pada perguruan tinggi, pembelajaran sastra yang berkaitan dengan aktivitas sastra tersebut ditengarai memiliki permasalahan, terutama yang berkaitan dengan penulisan kreatif sastra. Hal ini sangat menarik. Oleh karena itu, HMJ Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unisma menjadikan hal tersebut menjadi tema dalam webinar mereka yang dilaksanakan pada 11 November 2020.  

Dari webinar tersebut ada pertanyaan menarik mengenai probematik pembelajaran sastra di pendidikan tinggi, khususnya dalam hal penulisan kreatif sastra. Sebagian besar sastrawan di Indonesia tidak lahir dari gemblengan akademik. Mereka lahir dari proses mandiri melalui geliat literasi dan juga melalui proses berbaur dalam komunitas sastra di daerah masing-masing. Selain itu, dapat dikatakan sangat sedikit dosen di bidang sastra yang merupakan seorang sastrawan. Hal tersebut jelas dapat dikatakan juga merupakan suatu problematik pembelajaran sastra di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, tentu sangat miris jika dunia akademik yang merupakan tempat penggemblengan bagi para mahasiswa agar menjadi sastrawan yang baik dan prodktif nyatanya tidak mampu mewujudkan hal itu. Banyak cibiran pun ditujukan pada dunia akademik yang tentu digawangi oleh perguran tinggi tersebut.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Berdasarkan fenomena tersebut tentu para stakeholder pun menyadari akan hal itu. Dengan demikian, para pemangku kepentingan terebut berusaha mencari jalan keluar. Salah satu solusi untuk mengatasi problematik pembeljaran sastra di perguruan tinggi adalah penerapan merdeka belajar. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Yuni Pratiwi, M.Pd., salah satu pembicara dalam webinar itu, merdeka belajar bertujuan untuk melatih kemampuan mahasiswa secara utuh. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya banyak terjadi perombakan kebijakan.

Perombakan kebijakan tersebut salah satunya adalah memberikan kesempatan mahasiswa mendalami minat dan bakatnya secara lebih intens selama 3 semester. Jika ingin menjadi sastrawan mereka diizinkan untuk memprogram mata kuliah yang berkaitan dengan itu. Selain itu, kampus pun membuka lebar kerja sama dengan para praktisi agar para praktisi tersebut menyalurkan ilmu dan pengalamannya kepada mahasiswa.

Selanjutnya, kebijakan lain yang sangat mendukung minat dan bakat mahasiswa dalam kaitan menulis kreatif sastra atau menjadi sastrawan adalah adanya kebijakan penggantian kewajiban menulis skripsi yang tentu merupakan karya ilmiah atau nonfiksi dengan menulis fiksi, seperti novel, cerpen, dan puisi. Hal itu tentu sangat mendukung mahasiswa yang berminat menjadi sastrawan.

Oleh karena itu Dr. Yuni Pratiwi menambahkan bahwa seorang mahasiswa harus sudah tahu cita-citanya dan target masa depan mereka. Setelah itu, mereka dapat memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh kampus untuk mendukung cita-citanya itu. Dengan demikian, kampus akan menjadi layaknya kawah candradimuka dalam pewayangan, yakni tempat penggemblengan para kesatria agar menjadi sakti dan tangguh.

Selain itu, problematik lain tampak dengan adanya gap antara sastrawan kampus dan sastrawan luar kampus. Karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan kampus rata-rata lebih mengedepankan adanya batasan-batasan dalam penyampaian gagasannya. Hal itu tentu bertentangan dengan sebagian sastrawan luar kampus yang mengedepankan kebebasan dalam penyampain gagasan. Pertentangan itu tentu hal yang wajar. Bahkan ketika seorang Taufik Ismail dalam orasi budayanya di TIM yang menyampaikan tentang ketidaksetujuannya dalam kaitan pengankatan isu seksual yang fulgar dalam karya sastra karena takut pada dampaknya bagi pembaca yang mungkin belum siap dengan hal itu, pun banyak dikecam oleh sastrawan lainnya. Seperti yang diketahui bahwa sastra menyimpan berbagai kebajikan di dalamnya. Jika satra itu menimbulkan hal positif pada masyarakatnya tentu betapa bergunannya karya sastra itu. Dengan demikian karya sastra itu tidak akan menyalahi hakikatnya seperti yang dikatakan Horace, yakni dulce at utile, indah dan berguna.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. pernah mengajar di beberapa sekolah dan saat ini menjadi dosen di FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES