Peristiwa Daerah

SETARA Institute: Pembiaran Rizieq Shihab jadi Paradoks Kepemimpinan Jokowi

Senin, 16 November 2020 - 09:35 | 39.02k
Kerumunan saat penjemputan Rizieq Shihab di Bandara Soekarno Hatta. (FOTO: Tribunnews)
Kerumunan saat penjemputan Rizieq Shihab di Bandara Soekarno Hatta. (FOTO: Tribunnews)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan, pembiaran negara atas kerumunan massa yang mengiringi rangkaian kedatangan Rizieq Shihab dari Arab Saudi, menjadi paradoks kepemimpinan politik Presiden RI Jokowi dan jajarannya dalam penanganan Covid-19.

"Jangankan kewajiban menjalankan protokol kesehatan, prinsip hukum salus populi suprema lex esto yang selama ini digaungkan oleh para pejabat negara dan aparat keamanan, sama sekali tidak berlaku bagi kerumunan yang diciptakan oleh kedatangan Habib Rizieq," katanya Senin (16/11/2020).

Ia menjelaskan, azas yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi selama ini telah digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pembatasan-pembatasan sosial, termasuk bahkan digunakan untuk melakukan pembubaran kegiatan-kegiatan yang mengkritisi kinerja pemerintah.

Namun lanjut dia, para pihak berwenang, sejauh ini hanya menyampaikan imbauan agar kerumunan itu menerapkan protokol kesehatan sama seperti Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Nikita Mirzani yang secara satir mengkritik keras kerumunan dalam beberapa hari belakangan ini.

"Padahal, tugas pemerintah adalah mengambil tindakan hukum," jelasnya.

Ia menilai, ini adalah peragaan tata kelola pemerintahan yang melukai para dokter dan perawat yang terus berjuang, para siswa-siswi sekolah yang sudah jenuh dengan belajar daring, dan para korban PHK yang tidak bisa menggapai impiannya untuk terus bekerja, akibat ganasnya Covid-19.

"Pilihan politik akomodasi Jokowi terutama sejak merangkul Prabowo Subianto, membiarkan eks Tim Mawar menduduki jabatan, obral Bintang Mahaputera ke sejumlah elit oposisi adalah ijtihad politik keliru," tambahnya.

Orientasi politik akomodasi adalah terciptanya stabilitas politik dan keamanan. Tetapi akomodasi pragmatis tanpa basis ideologi dan gagasan justru telah menyandera Jokowi dalam kalkulasi-kalkulasi politik pragmatis. Pembiaran atas kerumunan yang diciptakan oleh massa pengagum Rizieq Shihab adalah bukti kegagapan Presiden Jokowi dalam kalkulasi politik yang menjebaknya.

Ia menjelaskan, jika Presiden Jokowi tidak terjebak dalam politik akomodasi, seharusnya sebagai seorang Presiden, Jokowi segera memerintahkan Kapolri untuk menindak kerumunan, mempertegas dan menindaklanjuti kasus-kasus hukum yang melilit  Rizieq Shihab memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mendisiplinkan kepala daerah yang pasif membiarkan kerumunan, dan seharusnya pula tidak membiarkan Bandara Soekarno Hatta lumpuh dan menyengsarakan ribuan warga.

Sandera politik akomodasi dan kalkulasi politik pragmatis akan terus melilit Presiden Jokowi dan menjadi warna kebijakan-kebijakan politik pemerintahan hingga 2024, jika Presiden Jokowi tidak mengambil terobosan politik yang berpusat pada gagasan pengutamaan keselamatan, keadilan dan kesejahteraan rakyat.

"Bisa jadi stabilitas politik dan keamanan akan terjaga akan tetapi kepemimpinannya telah melahirkan preseden buruk sekaligus merusak demokrasi dan supremasi hukum, alih-alih mewariskan legacy," ujar Ketua SETARA Institute Hendardi soal Rizieq Shihab. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES