Kopi TIMES

Menyikapi Perbedaan Aksen dan Pelafalan Kaum Urban

Minggu, 15 November 2020 - 01:12 | 210.08k
Misbah Priagung Nursalim, M.Pd.; Dosen Linguistik di Universitas Pamulang.
Misbah Priagung Nursalim, M.Pd.; Dosen Linguistik di Universitas Pamulang.

TIMESINDONESIA, PAMULANG – Dalam studi linguistik, ada istilah aksen dan lafal. Aksen merupakan variasi bahasa yang berbeda daripada variasi standar, terutama dalam ucapan. Secara umum, orang lebih mengenal aksen dengan kata logat. Sedangkan lafal merupakan cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa. Proses mengucapkan bunyi bahasa disebut juga dengan pelafalan.

Aksen dan pelafalan berjalan beriringan. Keduanya memiliki keterkaitan. Orang yang melafalkan suatu bunyi pasti menggunakan aksen. Aksen seseorang dipengaruhi oleh bahasa ibu. Penutur yang menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa ibunya maka dalam melafalkan bunyi bahasa akan memiliki aksen kesundaan. Begitu juga penutur yang menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa ibunya, maka akan memiliki aksen kejawaan.

Huruf merupakan lambang bunyi bahasa. Masing-masing bahasa memiliki pelafalan yang berbeda-beda pada hurufnya. Kita bisa melihat bagaimana huruf T dilafalkan. Orang Sunda melafalkan /t/ untuk semua huruf T. Orang Bali akan melafalkan /ṫ/ untuk semua huruf T. Sedangkan orang Jawa lebih kaya lagi. Jika T pada kata maka akan dilafalkan /t/. Jika huruf T terdapat pada kata maka akan dilafalkan /ṫ/. Apabila terdapat pada kata maka akan dituturkan /ť/. Lantas, orang mana yang tuturannya paling benar? Semuanya benar; yang salah yaitu orang yang menyalahkannya.

Organ tutur manusia terbentuk dalam waktu yang lama. Organ tutur tersebut mempangaruhi pelafalan pemiliknya. Kebiasaan menggunakan satu bahasa dan hidup di masyarakat yang mayoritas berbahasa yang sama juga akan membentuk aksen bahasa tersebut. Itu sebabnya, setiap orang tidak bisa mengusai semua aksen.

Perbedaan aksen dalam pelafalan menjadi hal yang lumrah terutama di perkotaan. Dan itu menjadi bukti keanekaragaman budaya yang ada di sekitar kita. Kelompok masyarakat di kota besar berasal dari daerah dan suku bangsa yang berbeda satu sama lain. Kawasan Jabodetabek misalnya. Sebagai pusat politik, bisnis, dan industri membuat Jabodetabek dijadikan sebagai tempat tujuan migrasi dari berbagai daerah. Itu sebabnya sering kita jumpai orang-orang dari berbagai daerah ada di sini. 

Belakangan ini, masyarakat di media sosial memperdebatkan mana penulisan huruf yang benar terkait pelafalan huruf ح pada klausa الخاتمة حسن. Menggunakan huruf H atau KH. Perdebatan tersebut merujuk pada pelambangan dari huruf hijaiyah dalam huruf abjad yang keduanya memiliki latar budaya yang berbeda.

Bahasa Melayu dan bahasa Inggris yang sama-sama menggunakan huruf abjad pun memiliki perbedaan pelafalan. Kosa kata bahasa Inggris memiliki perbedaan antara pelafalan dan penulisan. Bahasa Indonesia menggunakan 26 huruf abjad namun praktiknya memiliki lebh dari 50 pelafalan bunyi. Itu sebabnya ada istilah homograf; kata yang penulisannya sama namun pengucapannya berbeda. Apalagi jika huruf abjad tersebut digunakan untuk mentranskripsikan kosa kata dari bahasa lain.

Media sosial berbasis tulisan seperti whatsapp, twitter, telegram, facebook, dan semacamnya tentu akan memancing perdebatan terutama pada transkripsi penuturan dari bahasa lain. Sebaiknya perdebatan transkripsi bahasa lain harus disudahi. Penggunaan bahasa dalam komunikasi sosial harus memperhatikan tujuan (end) dan konteks tuturan (key).

Dalam ungkapan belasungkawa ada yang menulis khusnul khotimah atau husnul khotimah. Mana yang benar? Jika memperhatikan konteks tuturan (key) dan tujuan tuturan (end) maka baik khusnul maupun husnul keduanya baik. Karena tujuannya bermakna baik (حسن) bukan (خسن). Hal itu karena dalam adat ketimuran, orang meninggal dunia harus didoakan yang baik-baik.

Begitu juga pada penulisan آمين‎. Ada yang menyalahkan penulisan amin yang benar amiin, bukan amien, aamin, dsb. Lagi-lagi timbul perdebatan. Ditinjau dari tujuan dan konteks baik amin, aamiin, amien, dsb maka semuanya benar. Hal itu karena pelambangan dalam huruf abjad berbeda dengan dengan pelambangan dalam huruf hijaiyah. Lantas bagaimana menyikapi hal tersebut?

Dalam kajian Fonologi, ada yang namanya transkripsi fonetik. Transkripsi fonetik berfungsi untuk melambangkan bunyi berdasarkan pelafalan yang sebenarnya. Berbagai bunyi bahasa di dunia dapat ditranskripsikan menggunakan transkripsi tersebut. Itu sebabnya, para leksikograf dalam menyusun kamus juga menambahkan tranksirpsi fonetik pada setiap kata. Hal itu dimaksudkan agar setiap orang yang membaca tulisan tersebut juga akan mengetahui cara membacanya tanpa harus bertanya kepada pemilik bahasa tersebut.

Kita tidak perlu menggunakan transkripsi fonetik dalam menulis di media sosial. Hal itu karena transkripsi fonetik memiliki puluhan lambang bunyi. Selain itu juga karena rumitnya mempelajari bunyi bahasa. Maka dari itu, perdebatan masalah penulisan bunyi yang benar di media sosial harus disudahi. Selain tidak efektif juga karena merupakan tindakan mubazir. Apalagi jika kedua belah pihak sama-sama merasa paling benar. (*)

***

*)Oleh: Misbah Priagung Nursalim, M.Pd.; Dosen Linguistik di Universitas Pamulang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES