Kopi TIMES

Menyoal Provinsi Sunda, Tatar Sunda atau Pasundan

Sabtu, 14 November 2020 - 01:32 | 143.49k
Asep Totoh; Dosen Ma’soem University.
Asep Totoh; Dosen Ma’soem University.

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Isu wacana perubahan atau pergantian nama provinsi Jawa Barat kembali mengundang perhatian publik luas dan menjadi berita seksi dibeberapa media. Wacana nama Provinsi Jawa Barat agar diganti dengan Provinsi Sunda sering kali muncul dan mencuat. Sebulan yang lalu, isu ini pun dibahas dalam Dialog Kongres Sunda 2020 yang diadakan Senin (12/10/2020) di Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Kembang Bandung.

Diwartakan, selain para tokoh Sunda yang hadir, di antaranya Erni Sumarni (yang anggota DPR RI), Andri Kartaprawira, dan Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah, SH, M.Kn (Acil Bimbo, seniman), hadir Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad. Terbaru, sampai Kamis, 12/11/2020 ramai kembali di media televisi dan beberapa media massa dialog aspirasi beberapa tokoh masyarakat yang menginginkan adanya perubahan nama dari Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Sunda.

Tidak dinampikkan jika terdapat beragam respon atas isu wacana tersebut, terjadi dinamika masyarakat yang setuju dan pembenaran ide atas perubahan nama provinsi, ada yang apriori, ada yang skeptis, juga banyak yang acuh tak acuh, bahkan masa bodoh. Namun, pro dan kontra masyarakat atas isu wacana perubahan nama provini menjadi bagian berpikir cerdas yang harus menjadi bagian untuk ditanggapi dan dihargai. 

Wacana usulan perubahan nama provinsi sebelumnya menjadi provinsi Sunda, Tatar Sunda ataupun Pasundan terindikasi berawal atas sejumlah keprihatinan dan kekhawatiran atas hilangnya jati diri masyarakat Sunda, kemudian jika melihat catatan sejarah nama provinsi Sunda atau Pasundan adalah bagian dari sejarah panjang dari perjalanan Jawa Barat itu sendiri. 

Menurut literatur, Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.

Relevansi secara wilayah pun, Jawa Barat bukan lagi bagian Barat pulau Jawa setelah adanya Provinsi Banten. Selanjutnya ada sebuah optimisme belajar dari beberapa provinsi yang kinerja pembangunannya meningkat setelah berganti nama baru yang kental budaya, sebut saja Nangroe Aceh Darussalam, Banten, Gorontalo, Papua, Banten dan Makasar. Hal lainnya karena kuatnya nilai-nilai karakter lokal dan simbol-simbolnya menjadi pemicu inspiratif untuk membangun daerahnya.

Namun, tidak mudah memang kasus perubahan nama provinsi Jawa Barat. Heterogen dan masifnya aktulturisasi multi etnis juga kenaikan pendatang di Jawa Barat menjadi ragam tersendiri. Jawa Barat saat ini merupakan melting pot atau telah menjadi tempat bercampurnya tiga budaya. Pertama Sunda Priangan, Kecirebonan yang bahasanya dominan menggunakan bahasa Jawa serta Betawi dengan bahasa dan budayanya yang juga khas.

Kekuatan konsep yang disusun dengan kematangan rencana strategi menjadi keharusan dalam perubahan nama provinsi Jawa Barat dan harus disertai langkah taktis, ekstra kesabaran, komunikasi intensif dan efektif dari semua pemangku kebijakan dan kepentingan tentunya jangan menjadi potensi konflik bahkan justru melemahkan wilayah. Menjadi tugas bermasa semua kalangan untuk memahami perubahan nama sebagai akibat, bukan sebagai sebab.  

Persoalan Mendasar

Menjadi pertanyaan mendasar, apakah dengan mengganti nama provinsi dengan kata Sunda, Tatar Sunda atau Pasundan maka masyarakatnya lebih berbudaya dan beradab? Bukankah yang menjadi persoalan saat ini apakah tata nilai ataukah tata nama, inipun menarik dicermati ketika penguatan nilai-nilai budaya Sunda seharusnya didalam pendidikan sekolah menjadi mata pelajaran wajib atau muatan lokal yang harus dilebihkan beban kurikulumnya dan menjadi bagian pendidikan budi pekerti.

Konsistensi dari gerakan peduli budaya di beberapa daerah seperti rebo nyunda pun apakah berdampak pula pada meningkatnya gairah warganya untuk lebih mencintai wilayahnya. Lalu, apakah pengembangan budaya lokal berpengaruh pada kemajuan ekonomi berbasis kekuatan mandiri dan lokal seperti kebangkitan ekonomi Jepang, Korea, Tiongkok, dan India yang berbanding lurus dengan kebangkitan budaya bangsanya.

Dengan mengubah nama Provinsi Jawa Barat yang telah lama digunakan tersebut harus menjadikan pola pikir masyarakat lebih baik saat ini dan bisa sesuai dengan cara pandang khas Sunda, yaitu sifat keramahannya. Ataukah hanya menjadi kebiasaan sebagian orang Sunda yang merindukan dan bangga kejayaan masa lalu, tentunya kejayaan masa lalu harus menjadi pijakan kita dalam mencapai kejayaan masa depan.

Apakah perubahan nama itu cukup subtansial dan signifikan dalam menjawab masalah-masalah Jawa Barat saat ini, tentunya perubahan nama juga akan berimbas pada perubahan nama-nama seperti nama sekolah, perubahan nama dokumen dan sebagainya. Jadi, ada banyak tantangan dan masalah dalam berbagai aspek yang menjadi persoalan Jawa Barat. 

Terlepas pro dan kontra pergantian nama Provinsi Sunda maka senyatanya yang dipersoalkan itu bukan nama Jawa Baratnya, Sundanya, Tatar Sunda atau Pasundannya. Namun apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dan paling utama bagi kita semua, pemerintah, para tokoh, para penggagas dan tugas bersama untuk menyelesaikan persoalan mendasar dari manusianya itu sendiri. (*)

***

*) Oleh: Asep Totoh,SE.,MM Guru Kewirausahaan SMK Bakti Nusantara 666' Kepala HRD YPDM Bakti Nusantara 666  Cileunyi -  Kab. Bandung; Dosen Universitas Ma’soem; Wakil Ketua BMPS Kab. Bandung.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES