TIMESINDONESIA, MALANG – Gelora ikrar pemuda di tahun 1928 yang menggema, menggambarkan atmosfer persatuan yang teguh. Tri Koro Darmo muncul sebagai oranisasi kepemudaan dan bermetamorfose menjadi Jong Java (1915), Jong Soematranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun dan Pemuda Kaum Betawi.
Sebagai organisasi yang masih bersifat kedaerahan, namun sudah sarat dengan molekul-molekul panas untuk memformulasikan dirinya sebagai kekuatan yang ampuh dalam berorganisasi dan diplomasi. Tatkala bangsa kita berada dalam penindasan dan cengkraman kolonial Belanda.
Kondisi itulah yang menjadi akar tumbuhnya semangat kebangsaan dan kelak melahirkan jiwa-jiwa patriotik. Semangat menumbangkan sentimen kesukuan menjadi kekuatan untuk melepaskan diri dari penjajah. Tak terbantahkan lagi bahwa generasi muda 92 tahun silam adalah gold generation bangsa ini. Mereka sudah sangat maju dalam berpikir. Bahkan melampaui zamannya.
Pemuda masa itu tumbuh tanpa topeng, menurut Epicurus, kebahagiaan terbesar (greatest good) adalah kebebasan dari rasa takut dan ketiadaan rasa sakit .Ini artinya mereka pemuda yang pemberani, tangguh, cerdas dalam bersikap pada zamannya meski dikekang penjajah.
Nasionalisme tidak serta merta muncul. Inisiatif ini muncul justru dari penjajah. Salah satu kebijakan Politik Etis Van Deventer yaitu edukasi menjadi corong pendidikan membahana membawa bumiputera kearah elit cendikiawan
Sekolah-sekolah tumbuh di hampir di setiap daerah. Meskipun terhalang diskriminasi semangat pribumi menggelora untuk tetap bersekolah sesuai statusnya.
Pendidikan menjadi embrio lahirnya kaum elit cendikia. Elit cendikia inilah yang mampu menyalakan api pergerakan nasional melalui organisasi-organisasi yang tak lagi kedaerahan. Budi Utomo (1908) adalah organisasi kebangsaan moderen pertama yang bervisi merdeka.
Setelah Budi Utomo, bermunculan organisasi-organisasi lain seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Taman Siswa berkembang menjadi pionir kemerdekaan, memanfaatkan organisasi sebagai wadah solidaritas dan media bertukar pikiran.
Di saat kemajemukan tengah menggumpal, mereka berani melakukan aksi nyata mewujudkan nasionalisme. Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928 berhasil melahirkan ikrar, Sumpah Pemuda. Dengan Kongres Pemuda inilah popularitas pemuda saat itu membakar jiwa-jiwa yang terkoyak.
Prestasinya mendorong dan meneguhkan persatuan. Keberaniannya berhasil mengobrak-abrik tahta kolonial di bumi pertiwi. Aksi memperlemah persatuan yang menjiwai pemuda mulai dilakukan oleh Belanda. Dengan jiwa persatuan para pemuda bertekad menentang penjajah.
Sepanjang sejarah para pemuda tahun 1908 hingga 1945. Peran pemuda terlihat begitu dominan. Mereka sangat sadar apa yang dibutuhkan bangsa. Tinta emas telah mencatat bahwa kebangsaan dan nasionalisme melalui kebangkitan nasional (1908) telah menguatkan persatuan dan kesatuan sehingga tercetus Sumpah Pemuda (1928), serta tonggak perjuangan yang juga menggagas peristiwa Rengasdengklok hingga terwujudlah proklamasi (1945). Tiga pilar tersebut berhasil mengantarkan NKRI menapaki masa hingga ke era milenium.
Menilik peran pemuda Indonesia saat ini, wajib hukumnya generasi emas di tahun 2045 diwujudkan. Apapun rintangannya. Ikrar sumpah pemuda bukan sajian belaka yang sekedar menjadi pengetahuan di bangku sekolah. Sedangkan realisasinya patut dipertanyakan.
Memantik perpecahan di era digital sangatlah mudah. Globalisasi telah mendorong bebasnya interaksi massal. Dengan media sosial anak muda sangat mudah terpengaruh. Berita hoaks yang mengandung benih perpecahan seringkali disisipkan oleh orang tak bertanggung jawab untuk menghancurkan mereka. Setiap detik tagar-tagar provokatf meramaikan media sosial meski kehadiran IT juga sukses menghadirkan pemuda cerdas dan berprestasi sesuai dengan tuntutan zaman.
Namun saat ini kepedulian pemuda-pemuda akan keberlangsungan persatuan negaranya masih sangat kurang. Individualisme meningkat tajam, mengejar keinginan dirinya sendiri. Redupnya peran pemuda di era global menegaskan memudarnya nilai-nilai Sumpah Pemuda.
Pemuda era global perjuangannya tidak sebatas berorganisasi dan diplomasi seperti pemuda tahun 1928. Pendidikan telah menghasilkan kecerdasan dan kreatifitas yang tinggi di bidang teknologi, harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Keragu-raguan harus dikikis digantikan keberanian menginisiatif perubahan. Pemuda harus energik. Sumpah Pemuda episode II kaum milenial tidak butuh diikrarkan namun difaktakan.
28 Oktober 2020 ini hiruk pikuk perpecahan perlu dijeda. Memaknai perjuangan para pemuda perlu kreatifitas nyata. Ikrar 28 menjadi pengingat pudarnya jiwa persatuan saat ini agar kita dapat bebenah. Berharap pemuda milenial dapat lebih emas dari pemuda tahun 1928.(*)
***
*)Oleh: Ratnawati, Staf pengajar Sejarah SMA N 1 Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |