Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Konstruksi Agama “Bil-Hikmah”

Sabtu, 31 Oktober 2020 - 13:01 | 50.27k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Pemenang hadiah Nobel bernama Sean Bridge berdialog dengan wartawan usai menerima penghargaan.

“menurut anda, dari sekian hak-hak asasi mansia, apa hak utama masyarakat dan bangsa di muka bumi ini”?,  Tanya wartawan

“hak untuk mendapatkan informasi dan  kebebasan berpendapat”, demikian jawab Sean Bridge. Dari hak informasi dan kebebasan berpendapat ini, masyarakat dan bangsa akan bisa meningkatkan kualitas diri, mengakses nilai-nilai, atau melakukan banyak perubahan dalam hidupnya.

Kenapa harus hak itu yang diutamakan oleh sang pemenang hadiah Nobel? Barangkali jawabannya sejalan dengan adagium “pena itu lebih tajam dibandingkan dengan pedang” atau tajamnya pena masih lebih tajam dibandingkan pedang.

Pedang itu bisa menyembelih seseorang, tetapi sekali pena digunakan untuk menjadi alat menembak, menyembelih, dan menghancurkan hal-hal positip, maka bukan hanya seorang manusia yang bisa menjadi korbannya, tetapi bisa ratusan ribu nyawa manusia dan berlaksa harta benda  menjadi korbannya.

Kita mafhum, bahwa pena  (apapun produk teknologi seperti kompoter, HP, dan lainnya, yang bisa menghasilkan tulisan, gambar, dan semacamnya) adalah salah satu alat tulis, menggambarkan aspek media informasi, atau jalan strategis mengembangkan kualitas dan kuantitas intelektual (pendidikan), moral, budaya, politik, ekonomi, ideologi, dan agama. Lewat pena, informasi dan ekspresi kebebasan berpendapat bisa disalurkan, dikembangkan, dan disebarkan sebagai substansi dakwah ke tengah masyarakat local, nasional, dan bahkan global. Dunia bisa berada dalam genggaman seseorang atau sekelompok orang yang mampu “memainkan” sumber atau instrument informasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau kemudian pena yang berbentuk karya tulis, berita, informasi, dan pendapat bisa disalurkan dengan benar, ada kearifan (wisdom) berbasis moral, ada muatan tanggungjawab, ada misi suci, dan mengarahkan pembaca atau masyarakat ke jalan yang benar dan sarat kebaikan atau dalam kosakata agama “bil-hikmah”, maka target yang diraih pun akan menuai kebaikan dan maslahah untuk semua. Konstruksi agama (Islam) menampakkan wajah yang sejuk, mendamaikan, atau mengharmoniskan, diantaranya ketika doktrinnya disampaikan dengan “bil-hikmah”.

Kemapuhan pena itu dapat dibaca dalam agenda sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW saat permulaan mengenalkan dan menyebarkan ajaran Islam. Beliau mengirimkan surat kepada raja-jara atau pemimpin-pemimpin negara yang berisi pemberitahuandan ajakan untuk mengenal Islam. Dan sungguh sambutan yang diperoleh luar biasa, baik yang sifatnya mendukung (mengikuti), menyikapi dengan arif, hingga menunjukkan reaksi kemarahan besar. 

Kalau sekarang mencuat kasus demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh umat Islam di berbagai negara terhadap salah satu surat kabar Denmark yang membuat Kartun Nabi Muhammad SAW, maka sikap umat Islam ini layak diarifi secara kritis dan bening, bahwa wartawan surat kabar tersebut telah mencoba menguji kebenaran adagium bahwa “pena lebih tajam dari pedang”. Adagium ini sebenarnya sebagai warning supaya kita tidak main-main dengan produk teknologi pena dan apapun yang berkedudukan sebagai instrumen pembuatan dan penyebaran informasi ini.

Kasus seperti itu pernah terjadi atau menimpa Tabloid Monitor yang kemudian mengantarkan Aswendo Atmowiloto menghuni tahanan (penjara) akibat membuat perangkingan Nabi Muhammad diantara tokoh-tokoh di Indonesia. Aswendo sebenarnya juga telah ikut merasakan pedihnya ketajaman pena dibandingkan tajamnya pedang.

Berbagai kasus yang berangkat dari media nakal yang didakwa melakukan pelecehan agama tersebut merupakan pelajaran berharga, bahwa kreasi dalam bentuk tulisan, gambar, atau lainnya haruslah berpijak pada pertanggungjawaban moral dan yuridis. Ketajaman pena bukan hanya mengandalkan dalih kebebasan memberi dan menyampaikan informasi kepada publik, tetapi juga didasarkan oleh kepekaan yang bersumber pada nilai-nilai moral, agama, dan ideologi, yang merupakan rambu-rambu yang sebenarnya mengingatkan kita, bahwa dibalik kebebasan membuat dan membentuk opini, terdapat potensi dampak yang serius, baik positip maupun negative.

Pers misalnya yang seringkali meramu berita dan kreasi jurnalistiknya dengan kode etik pers/kewartawanan, seharusnya kini dan masa mendatang mulai dan terus mempertimbangkan makna kebebasan yang berbasiskan kepekaan nurani, agama, dan moral.

Kalau standar itu tidak diikuti, bukan tidak mungkin kalau pers atau media akan merasakan ketajaman pena yang menyembelihnya sendiri. Artinya reaksi masyarakat berbentuk penghakiman adalah hal logis yang diterimanya sebagai akibat kecerobohannya mengumbar atau mengeksplorasikan kebebasan yang tidak berbatas etik dan agama.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES