Kopi TIMES

Pangan Medis untuk Hari Pangan Sedunia

Jumat, 30 Oktober 2020 - 15:18 | 133.78k
Oki Krisbianto, S.TP., M.Sc.
Oki Krisbianto, S.TP., M.Sc.

TIMESINDONESIA, SURABAYABelajar mengenai gizi adalah belajar mengenai hidup.

Itulah kesimpulan yang saya ambil begitu saya menyelesaikan kelas gizi pada saat mengejar gelar magister beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya diajar oleh dua orang profesor hebat yang juga membimbing tugas akhir saya. Sekali lagi, bukan hanya keilmuan saja yang mereka berikan kepada saya, terlebih lagi adalah bagaimana mereka mengajarkan saya untuk menghormati kehidupan.

Sebagai dosen yang juga mengajar di Fakultas Kedokteran, beliau-beliau juga banyak mengajarkan pelajaran terkait medis, salah satunya adalah pangan medis atau medical foods. Bukan istilah yang sering kami dengar, malah saat itu kami baru saja paham mengenai keberadaan pangan medis.

Pangan medis telah didefinisikan dengan baik oleh FDA sebagai makanan yang khusus diformulasikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi orang dengan kondisi kesehatan atau penyakit tertentu serta penggunaannya wajib berada di bawah pengawasan dokter. Pada tahun 2018, BPOM juga mengeluarkan peraturan terkait Pangan Olahan untuk Keperluan Gizi Khusus (PKGK).

BPOM menegaskan bahwa yang termasuk ke dalam PKGK bukanlah makanan yang diadministrasikan secara parenteral atau disuntikkan ke dalam pembuluh darah, sementara FDA menyebutkan bahwa yang didefinisikan sebagai pangan medis boleh diadministrasikan secara oral maupun enteral (tidak melalui mulut), misalnya langsung ke lambung. Meskipun demikian, pangan medis tetaplah bukan obat dan bukan ditujukan untuk menggantikan obat atau suatu pengobatan.

Kita mungkin jauh lebih familiar dengan istilah pangan fungsional yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan kesehatan, terutama semenjak masa pandemik Covid-19 ini berlangsung. Perlu diperhatikan bahwa pangan medis bukanlah pangan fungsional dan tidak termasuk ke dalam nutrasetikal. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Prof. Dr. C. Hanny Wijaya selaku ketua Penggiat Pangan Fungsional dan Nutrasetikal Indonesia (P3FNI) secara langsung kepada saya.

Saya masih ingat pada saat saya menghadiri Group Discussion yang diadakan di Yogyakarta pada Bulan Januari 2019 untuk membahas definisi mengenai pangan fungsional yang baru, bahwa pangan fungsional merupakan pangan yang mampu meningkatkan kesehatan atau mengurangi resiko suatu penyakit tetapi bisa dikonsumsi dengan porsi sebagaimana makanan pada umumnya.

Berbeda dari pangan fungsional, pangan medis ditujukan kepada orang dengan kondisi kesehatan tertentu dan tidak bisa dikonsumsi secara bebas. Peraturan dari BPOM sendiri menegaskan bahwa label pada kemasan PKGK harus mencantumkan keterangan “Konsultasikan dengan Tenaga Kesehatan” untuk jenis PDK (Pangan Olahan untuk Diet Khusus) atau “Harus dengan Resep Dokter” untuk jenis PKMK (Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus).

Saya yakin para mahasiswa Teknologi Pangan sudah cukup familiar dengan PDK, misalnya minuman formula untuk bayi atau ibu hamil, tetapi tidak untuk PKMK. PKMK inilah yang banyak kami pelajari selama perkuliahan berlangsung bersama kedua profesor yang saya hormati tersebut.

Saat mempelajari pangan fungsional, kita belajar tentang pengaturan diet ataupun nutrisi orang sehat. Namun, saat mempelajari pangan medis, kita mempelajari metabolisme orang sakit. Selama itu juga saya mendalami bagaimana metabolisme orang dengan suatu penyakit tertentu, atau bagaimana organ tubuh pasien terus mengalami perubahan degeneratif. Sebagian dari mereka hanya memiliki satu pilihan, yaitu sebisa mungkin menghambat laju kerusakan organ tubuh mereka tanpa kemungkinan untuk pulih kembali.

Pertanyaan besar saya saat itu adalah, mengapa banyak peneliti yang mau repot-repot untuk meneliti dan memformulasikan pangan medis untuk berbagai jenis penyakit jika pada akhirnya sudah tidak ada harapan bagi para pasien tersebut untuk sembuh? Bukan hanya uang, tetapi juga tenaga serta beban psikologis dari orang-orang di sekitar pasien, dan pasien tersebut juga merasakan sakit. Misalnya dari stamina tubuh yang terus merosot, dilanjutkan menurunnya fungsi penglihatan, dan akhirnya penurunan fungsi ginjal secara bertahap sehingga ia harus menjalani cuci darah setiap minggu, seberapa besarkah harapan mereka untuk dapat terus bertahan hidup? Sementara masa depan mereka juga dipastikan hanya satu, yaitu semakin memburuk.

Saya mengeluhkan hal tersebut di depan dosen dan teman-teman sekelas pada saat saya menyampaikan apa saja yang telah saya temukan terkait pangan medis. Saat itulah dosen saya, Prof. Dr. Ir. Mary Astuti, MS., kurang-lebih berkata demikian,

“Memang orang yang masih hidup bisa mengunjungi makam keluarganya yang meninggal. Namun, jika kita dengan pengetahuan kita dan kemampuan kita di bidang Teknologi Pangan bisa membantu memperpanjang usia seseorang barang seminggu, sebulan, atau berapa bulan, setidaknya si penderita dengan keluarganya kan masih bisa berbincang-bincang lebih lama.” *

Saat itulah semua beban psikologis saya selama berminggu-minggu seperti hilang begitu saja. Saya telah diajarkan tentang harapan, yaitu harapan untuk terus bertahan hidup dan harapan untuk mempertahankan hidup. Kami di Teknologi Pangan memang tidak belajar medis ataupun cara untuk menyelamatkan hidup seseorang secara langsung, tetapi bukan berarti kami tidak bisa bersumbangsih dalam mempertahankan hidup. Bahkan bisa membantu untuk mempertahankan usia pasien selama sehari atau dua hari saja akan sangat berarti bagi keluarga dan kerabat yang mencintai pasien. Dari seseorang yang mengeluhkan dan menganggap sia-sia suatu penelitian terkait pangan medis, saat itu juga saya memiliki hasrat untuk dapat melakukan penelitian di bidang pangan medis.

 Sekali lagi, saya menegaskan bahwa mempelajari gizi adalah belajar mengenai hidup. Tidak semua teknolog pangan akan fokus ke bidang gizi makanan, tetapi semua wajib untuk memahami gizi, khususnya terkait gizi produk yang mereka kembangkan. Tidak semua pula yang tertarik untuk mendalami pangan fungsional, apalagi untuk memasuki ranah pangan medis yang berkaitan erat dengan dunia kedokteran.

Saya pernah berkata kepada teman saya di Quora bahwa saya tidak takut jika nantinya akan ada banyak teknolog pangan yang melakukan penelitian ke arah pangan medis, toh hasilnya akan sama saja yaitu untuk mempertahankan kehidupan. Penelitian mengenai pangan medis bukanlah hanya terkait dana penelitian, bukan terkait Hak Kekayaan Intelektual (HKI), apalagi keuntungan yang akan diperoleh jika berhasil menemukan formula yang tepat. Pangan medis adalah mengenai meningkatkan kualitas hidup pasien, demi kemanusiaan.

Penelitian di bidang pangan medis tidak cukup hanya didukung oleh niatan peneliti untuk melakukan penelitian tetapi juga oleh kesadaran masyarakat. Jika masyarakat masih belum menyadari akan pentingnya pangan medis, perhatian berbagai pihak yang bisa mendukung suksesnya penelitian, seperti penyusun legislasi maupun sumber dana, juga tidak akan tertuju ke arah sana. Ranah pangan sangat luas dan akan selalu luas, masih banyak gap-gap penelitian terkait pangan medis yang masih bisa diisi.

Masih banyak pasien diabetes, gagal ginjal, hipertensi, gangguan liver, kanker, HIV, phenylketonuria, berbagai penyakit langka, atau pasien Covid-19 yang membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Bahkan, pangan medis yang sudah tersedia pun tidak bebas dari kendala, salah satunya adalah citarasa yang kurang menyenangkan tetapi wajib dikonsumsi oleh pasien hanya untuk dapat bertahan hidup.

Ada baiknya jika pangan medis juga memperoleh intensi pada Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap Bulan Oktober. Biasanya topik yang sering diangkat pada bulan tersebut adalah terkait Ketahanan Pangan, baik di bidang kuantitas (kecukupan pangan) maupun kualitas (kecukupan gizi). Hal tersebut sebenarnya cukup masuk akal karena masalah ketahanan pangan masih menjadi permasalahan yang cukup besar dihadapi penduduk dunia.

Pangan medis pun sebenarnya mendukung program ketahanan pangan, khususnya dalam hal pemenuhan gizi pasien tertentu. Ada baiknya jika kita juga mengingat mereka yang memiliki ketergantungan untuk mengonsumsi pangan medis sehingga mereka bisa merasakan bahwa mereka tidak sendirian, dan bahwa hidup mereka juga sangat berarti bagi kita. 

***

Referensi:

Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2018). Pengawasan Pangan Olahan untuk Keperluan Gizi Khusus. (Peraturan Nomor 1 Tahun 2018).

Food and Drug Administration. (2016, Mei). Frequently Asked Questions About Medical Foods, Second Edition. Diperoleh dari http://www.fda.gov/FoodGuidances

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES