Kopi TIMES

Pemertahanan Bahasa Indonesia

Rabu, 28 Oktober 2020 - 23:15 | 93.70k
Misbah Priagung Nursalim, M.Pd., Dosen dan Kaprodi Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.
Misbah Priagung Nursalim, M.Pd., Dosen dan Kaprodi Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.

TIMESINDONESIA, PAMULANG – Pergeseran bahasa menjadi hal yang pasti terjadi pada sebuah bahasa. Bahasa dapat berubah menjadi lebih kuat ataupun menjadi lemah. Perubahan tidak memandang usia bahasa tersebut. Perubahan juga tidak memandang jumlah penuturnya.

Bahasa Indonesia memiliki usia yang masih relatif muda; baru 92 tahun. Terpaut jauh jika dibandingkan dengan bahasa nasional yang lain seperti Bahasa Perancis, Bahasa Inggris, ataupun bahasa Arab. Dengan usia yang masih sangat muda dan berfungsi sebagai bahasa persatuan membuat Bahasa Indonesia memiliki tugas yang lumayan berat.

Masyarakat Indonesia lahir dengan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Hanya anak yang lahir di perkotaan atau lahir dari orang tua yang berlatar bahasa yang berbeda yang mendapatkan bahasa ibunya Bahasa Indonesia. Beranjak dewasa mulai belajar Bahasa Arab dalam kitab suci dan doa. Memasuki usia sekolah masyarakat sudah dijejali dengan pelajaran wajib bahasa Inggris pada setiap jenjang tiap tahun. Masyarakat dipaksa untuk menjadi multilingualis. Sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia seperti dianaktirikan.

Sebagai pelajaran wajib dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, Bahasa Indonesia tidak dijadikan sebagai mata pelajaran favorit baik oleh siswa maupun pihak sekolah. Porsi jam pelajarannya tinggi, tapi sering diremehkan oleh siswa karena merasa sudah bisa hingga dirasa tak perlu lagi belajar. Beberapa mata pelajaran Bahasa Indonesia lebih diajarkan oleh guru honorer dari berbagai latar belakang keilmuan sampai ada posisi lowong yang sesuai. Fenomena tersebut sering terjadi.

Dalam lingkup pergaulan, Bahasa Indonesia ragam gaul lebih sering digunakan untuk berkomunikasi. Pergaulan di daerah lebih menggunakan bahasa daerah. begitu juga dalam tontonan di televisi dan youtube. Hanya untuk acara formal saja yang menggunakan Bahasa Indonesia. Melihat hal tersebut, Bahasa Indonesia sudah mengalami pergeseran.  Pergeseran fungsi menjadi kepentingan dalam situasi formal saja.

Pergeseran bahasa juga terjadi pada bahasa yang usianya jauh lebih tua. Bahasa Sansekerta dan bahasa Arab contohnya. Dan itu wajar dan pasti terjadi. Pergeseran bahasa terjadi karena beberapa hal seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), perubahan zaman, dan kondisi pengguna bahasa itu sendiri.

Perkembangan IPTEK membuat bahasa mengalami pergeseran. Lahirnya konsep baru membutuhkan penanda konsep yang digunakan untuk mewakilinya. Waktu belum ditemukannya jejaring komunikasi, masyarakat belum mengenal internet. Lalu muncullah kosakata internet. Kosakata tersebut kemudian menginterferensi ke berbagai bahasa.

Tahun lalu, konsep seminar berbasis daring belum begitu dikenal. Mayoritas masih mengenal telekonferensi atau sambungan interaktif. Munculnya pandemi covid-19 yang membuat orang harus berjaga jarak membuat seminar secara daring menjadi hal wajib dan lumrah. Untuk itu muncullah kosakata webinar. Perubahan zaman semacam ini menuntut masyarakat untuk menciptakan hal baru, beralih menuju hal baru, dan menciptakan kosakata untuk mewakili konsep pada hal baru tersebut. 

Kondisi pengguna bahasa juga berpengaruh pada pergeseran bahasa. Ada kalanya sebuah kosakata yang dulunya lazim digunakan kemudian menjadi tidak populer lagi penggunaannya. Zaman dulu orang menyebut cahaya api dengan pelita. Pelita kemudian digeneralisasi menjadi segala jenis penerang. Pelita pun menjadi bentuk umum yang mewakili banyak benda penerangan seperti obor, lampion, dsb.

Kita pun mengenal guru diumpamakan sebagai pelita dalam kegelapan. Setelah listrik masuk desa dan menjelajah pelosok negeri, masyarakat pun mulai mengenal berbagai alat penerang dari listrik seperti lampu senter pengganti obor/ lampion. Bola lampu dengan aneka jenisnya membuat kata pelita mulai ditinggalkan pemakaiannya. Dan kini berubah ke bentuk asalnya yakni api. Itu pun hanya untuk kalangan sastra saja.

Itu merupakan satu contoh kosa kata yang sudah ditinggalkan lagi pemakaiannya. Masih banyak contoh lainnya. Hal semacam itu lumrah terjadi pada sebuah bahasa.

Hal yang lebih bahaya dari sebuah bahasa yaitu ketika penuturnya mulai berkurang. Sebuah bahasa yang tidak lagi digunakan maka akan hilang dari peredaran. Hadirnya bahasa asing dan malu menggunakan bahasa sendiri bisa menjadi contoh faktor punahnya sebuah bahasa. Hal itu juga mungkin akan terjadi pada Bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia sering digunakan dalam ragam formal seperti di lingkup pendidikan, rapat, pertemuan ilmiah, dsb. Namun Bahasa Indonesia malah hilang dari tontonan masyarakat. Padahal tontonan merupakan salah satu media penyebaran dan pelestarian bahasa. Bahasa Indonesia ragam gaul lebih banyak digunakan dalam tontonan dan tongkrongan. Malah, pelajar sampai bingung membedakan Bahasa Indonesia ragam baku, ragam santai dengan ragam gaul. Hal semacam ini perlu diatasi agar tidak menjadi-jadi pada tahun yang akan datang.

Tiap ragam bahasa memiliki ciri dan fungsinya masing-masing. Kebingungan penutur usia muda dalam membedakan bentuk dan fungsi tiap ragam terjadi karena sudah mulai jarang menggunakan. Contoh sepele yaitu tidak bisa membedakan penggunaan aku, gue, beta, saya, dan ane. Semua itu akrab di telinga namun beda konteks penggunaannya. Sudah saatnya Bahasa Indonesia diajarkan dengan baik bukan hanya di sekolah melainkan juga digunakan dalam tontonan masyarakat.

Penggunaan bahasa pada acara televisi dan media sosial perlu diperhatikan lagi. Bukan tidak boleh menggunakan bahasa gaul dan bahasa asing. Semua ada konteks penggunaannya. Memang berat, namun itu menjadi salah satu upaya untuk mempertahankan Bahasa Indonesia dalam jangka panjang.

***

*) Oleh: Misbah Priagung Nursalim, M.Pd., Dosen dan Kaprodi Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES