TIMESINDONESIA, JAKARTA – Peringatan hari Sumpah Pemuda (SP) selama ini masih terkesan seremonial. Sama dengan peringatan hari-hari yang lain, sekadar mementingkan atribut fisik dalam perayaannya. Misalnya, hari Kartini memakai pakaian adat atau hari Santri yang diperingati dengan memakai sarung dan peci. Tidak salah memang, tetapi bisa menghilangkan substansi semangatnya. Seolah semua sudah puas dan merasa memperingati dengan model perayaan seperti itu. Hal demikian terus berulang setiap tahun.
Bagaimana dengan peringatan SP? Hampir tak jauh berbeda. Hari SP juga sekadar seremonial. Bahkan tanpa peringatan dan gebyar sebagaimana peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus. Padahal semangat para pemuda pada tahun 1928 telah menjadi tonggak republik ini bisa berdiri dan merdeka. Apakah kita cukup puas dengan memberikan cetak kalender merah pada setiap 28 Oktober? Inilah masalahnya.
Harusnya peringatan SP setiap tahun berbeda. Inti penting dari SP adalah mewarisi semangat para pemuda tahun 1928. Sudahkah tertancap kuat dalam diri pemuda masa kini? Sudahkah para orang tua, masyarakat dan bahkan pejabat resmi memberikan kebijakan bagaimana sebaiknya agar semangat pemuda selalu tertanam kuat sebagaimana pemuda era 1928?
Apakah pemerintah sudah cukup puas dengan pemuda masa kini asal tidak protes kebijakan negara? Jika demikian maka jangan berharap SP yang diperingati setiap tahun itu akan punya makna mendalam bagi generasi muda yang konon akan menjadi tulang punggung negara di masa datang.
Kritis
Apa yang bisa kita petik hari peringatan tersebut? Sekarang kita harus berani putar haluan. Mengapa? Pertama, pemuda saat ini cenderung dimanja dengan teknologi. Dimanja yang dimaksud di sini karena teknologi mudah didapat dan memudahkan pula pada apa yang diinginkannya. Dengan kata lain, teknologi bisa meninabobokkan.
Bukan berarti teknologi tak baik. Bukan itu. Masalahnya, teknologi saat ini tidak jarang membuat pemuda tak mampu berpikir kritis. Ini masalahnya. Sementara itu pemuda yang sudah tak mampu berpikir kritis seolah sudah hilang separuh ruh kepemudaaannya. Namanya pemuda tentu harus kreatif, inovatif,dan juga kritis. Pemuda yang kritis saja saat sudah tidak muda tak bisa mempertahankan sikap kritisnya, apalagi mereka yang tak dibiasakan berpikir kritis?
Kedua, budaya baca yang kian berkurang. Memang menumbuhkan budaya baca tidaklah mudah. Apalagi era sekarang pemuda dimanja dengan berbagai fasilitas yang memudahkan agar mereka “melupakan” budaya baca.
Sementara itu, hanya dengan membaca seorang pemuda akan menjadi kreatif, inovatif dan kritis. Memang pemuda bisa menjadi kreatif dengan menguasai teknologi. Masalahnya penguasaan teknologi tanpa dibarengi dengan sikap krisis yang itu didapatkan dari kebiasaan membaca akan memudahkan mereka hanya menjadi “budak” teknologi. Bisa jadi pula ia menjadikan teknologi hanya untuk meraih keuntungan pribadi.
Tentu budaya baca yang tinggi diharapkan mampu membuat mereka kritis. Sikap kritis hanya bisa ditumbuhkembangkan manaka ia peka terhadap sekitarnya. Kepekaan ini bisa cepat diwujudkan dengan budaya membaca. Sekali lagi budaya membaca bukan budaya menonton dan mendengar.
Bukan Jongos
Mengapa itu penting dilakukan? Kita berada dalam kondisi persoalan ekonomi, politik, sosial yang tidak menguntungkan. Misalnya saja, kekuasaan politik pemerintah hampir tak terkontrol secara efektif. Oposisi “dimatikan”. Sikap kritis masyarakat cenderung dicurigai. Perbedaan pendapat ditekan sedemikian rupa.
Itu kondisi yang harus disadari oleh para pemuda. Apakah tidak bisa mengharapkan dari golongan tua? Golongan tua sudah mapan. Kemapanan ini membuat mereka jarang punya kemampuan mendorong atau memberi teladan berpikir kritis. Apalagi sudah menjadi “budak” kekuasaan. Tentu saja tetap dengan perkecualian.
Ini penting ditekankan karena pemuda yang akan diharapkan pada masa datang adalah pemuda yang punya sikap kritis. Persoalan mau jadi apa mereka, urusan belakang. Kenyataan bahwa ada pemuda yang kritis pada tahun 1998 kemudian menjadi “pendukung” kemapanan itu satu soal. Soal lain tak sedikit dari mereka yang tetap bisa berpikir kritis dan tak hanya “menghamba” pada kekuasaan. Apakah aktivis yang pernah kritis tak boleh terlibat dalam kekuasaan? Tidak ada larangan. Hanya tak elok menjadi “hamba” kekuasaan dengan menikmati fasilitas negara dan mengubur “suara lantang” miliknya.
Membaca akan menumbuhkan kecerdasan, kepintaran, dan mengasah kepedulian pada sesamanya. Muatan itu akan tertancap kuat dalam dada mereka. Sehingga mereka bisa tumbuh kembang menjadi pemuda yang bisa menjadi pemandu perubahan di masa datang.
Masalahnya, kondisi kita saat ini sudah sangat memprihatinkan. Warisan politik kita membuat bangsa ini semakin tergantung pada asing yang mengakibatkan kurang mandiri. Sementara itu kemandirian menjadi kunci dan pondasi kokoh bangsa di masa depan. Jika kondisi masih seperti ini sekian puluh tahun ke depan kita tidak akan menjadi bangsa yang disegani di dunia. Yang terjadi justru sebaliknya; kita hanya akan menjadi bangsa pembebek dan jongos.
Catatan ini tidak bermaksud mendorong sikap pesimistis. Bukan begitu. Harapan tetap ada. Harapan itu dipikulkan pada diri para pemuda. Dengan melihat ketidakadilan di sekitar kita, maka pemuda yang hebat saat ini adalah pemuda yang mau dan mampu berbicara ketidakadilan. Tentu saja, ketidakadilan yang dibicarakan yang kemudian akan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sangat mungkin harapan itu akan ”digembosi” oleh mereka yang berasal dari kelompok mapan, pendukung membabi buta pemerintah atau kepentingan lain. Misalnya hanya karena ketergantungan pada fasilitas pemerintah, upah atau sikap pragmatis lain. Mereka yang sudah menjadikan ketergantungan membabi buta pada kepentingan kekuasaan selamanya akan merasa gerah dengan setiap gerakan lain yang muncul di masyarakat. Tetapi setiap gerakan akan menemukan takdirnya sendiri.
Jadi, peringatan SP tahun ini sebenarnya menantang pada pemuda sejauh mana mereka mampu dan mau berbicara tentang ketidakadilan. Bukan menjadi generasi pembebek dan jongos yang hanya mengikuti arus pemikiran stagnan para pendahulunya. Di tangan mereka masa depan kemajuan dan kemandirian bangsa ini dipikulkan.
***
*) Penulis: Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |