Kopi TIMES

Kesepakatan Brexit: Siapa yang Lebih Butuh?

Rabu, 28 Oktober 2020 - 12:35 | 50.61k
Rizky Ridho Pratomo, Alumni Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional
Rizky Ridho Pratomo, Alumni Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Saga Brexit akan berakhir, namun tanpa progres signifikan. Yang ada malah saling menyalahkan. Masing-masing pihak terbentur karena beberapa isu krusial seperti perikanan. Perbedaan visi jelas memengaruhi jalannya negosiasi. Uni Eropa (UE) ingin Britania Raya tetap ‘terintegrasi' dengan peraturan UE, walau dengan sedikit modifikasi. Sedangkan, Britania Raya ingin lepas, seperti aspirasi mereka meninggalkan UE. 

Namun, tensi akhir-akhir ini semakin memperkeruh jalannya negosiasi. September lalu, Boris Johnson mengatakan, kalau tidak ada kesepakatan sampai 15 Oktober ini, maka Britania harus bersiap untuk no deal. Langkah persiapan pun sudah dibuat dimana beberapa hari yang lalu, Britania Raya memfinalisasi kesepakatan dengan Jepang. 

Beberapa pihak mungkin sadar kalau Boris Johnson melakukan sandiwara politik. Tetapi, UE terprovokasi dan akhirnya berjuang untuk melanjutkan negosiasi. Kepala Negosiator Brexit UE, Michael Bernier berada di London untuk melanjutkan dialog dengan pemerintahan Britania Raya. Pembicaraan pun diperpanjang sampai hari Rabu ini. 

Bagaimanapun, lebih terlihat bahwa UE lebih "ngotot" untuk membuat kesepakatan dibandingkan Britania Raya. Namun, langkah Britania Raya dengan bersiap-siap menghadapi skenario no deal juga sama anehnya. Mengapa di saat proses keluar dari UE selama dua tahun lebih, para Brexiteers menginginkan adanya kesepakatan? Lantas, siapa yang lebih membutuhkan kesepakatan ini? 

Kalau melihat UE, mayoritas negara (27 negara) di benua Eropa masuk ke dalam keanggotaan. Lantas, ke-27 negara ini mempraktekkan kebijakan UE. Sedangkan, negara lain yang tidak termasuk di dalamnya berkomitmen sebagian terhadap peraturan dan ekonomi Uni Eropa serta mengadopsi mata uang Euro. Ketika Britania Raya keluar, berarti akan ada satu negara Eropa yang beroperasi secara independen, menegakkan WTO rules dalam perdagangan, dan menjadikan UE sebagai Mitra. Visi Uni Eropa sendiri ialah mempersatukan negara-negara di benua Eropa, setidaknya masih menerapkan sebagian peraturan dan ekonomi Uni Eropa. Akan menyedihkan jika ada satu negara yang tidak terintegrasi secara peraturan maupun budaya. 

Melihat dari Britania Raya, pemerintahannya siap jika berakhir tanpa kesepakatan. Namun, ada tekanan politik-ekonomi yang kuat terutama dari pebisnis. Beberapa hari yang lalu, setelah melakukan dialog melalui telepon dengan Perdana Menteri, mereka mengutarakan kekecewaan terhadap Boris Johnson. Apalagi, lebih dari 70 pebisnis ini mewakili tujuh juta pekerja lebih. Dimana, kalau misalkan Britania Raya memilih no deal, dampaknya juga akan besar. Mungkin ada pengaturan dari pengusaha sehingga bisa berdampak pula pada pekerjaan dan pekerja. Sehingga, kelompok pebisnis ini menekan pemerintah untuk melanjutkan negosiasi. Akhirnya, ini pun menjadi tekanan politik tersendiri bagi pemerintahan Boris Johnson. 

Lantas, siapapun pihak yang terlibat pasti membutuhkan kesepakatan, entah untuk menyelamatkan integritas maupun tekanan politik dalam negeri. Britania Raya telah mempersiapkan skenario no deal, tetapi jika kesepakatan berlanjut dan menemukan titik tengah, itu akan menjadi keuntungan bagi mereka. Dengan kata lain, Britania Raya siap untuk tidak mendapatkan apapun tetapi juga bersyukur jika kesepakatan terjalin. 

Tetapi, justru Uni Eropa yang patut jadi perhatian. Mereka seakan lebih menginginkan kesepakatan ini dibandingkan lawannya. Waktu terus berjalan, pilihannya terletak apakah Uni Eropa mau mengalah atau tidak. Langkah Britania Raya memajukan tenggat waktu membuat apapun langkah politik UE menjadi krusial. Tentu, mereka tidak ingin salah satu negara benua Eropa lepas dari pengaruhnya. 

Siapapun yang ingin melanjutkan kesepakatan ini, harus berkompromi terlebih dahulu, entah Britania Raya atau Uni Eropa yang melakukannya. Meski begitu, dengan waktu hanya tinggal dua bulan, kecepatan menjadi hal utama. Belum lagi soal ratifikasi yang sarat dengan politik. Kita lihat saja bagaimana ujungnya. 

***

*)Oleh: Rizky Ridho Pratomo, Alumni Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta. Saat ini aktif di ENERGI Bogor, organisasi non pemerintah yang berfokus pada kajian kebijakan publik kota Bogor.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES