Kopi TIMES

Dekapitasi Prancis

Rabu, 28 Oktober 2020 - 16:27 | 80.50k
Yanuardi Syukur, Pengajar Antropologi Universitas Khairun, Ternate; Direktur Center for Islamic and Global Studies (CIGS).
Yanuardi Syukur, Pengajar Antropologi Universitas Khairun, Ternate; Direktur Center for Islamic and Global Studies (CIGS).

TIMESINDONESIA, JAKARTAMULANYA gambar Menara Eiffel, menara besi masyhur di tepi sungai Seine. Kemudian terpotong dua. Badan menara yang diarsiteki Gustave Eiffel yang menjulang ke atas itu kemudian diganti persis di atas empat kaki menara: sebuah kubah dan bulan. Entah siapa yang membuat video itu, tapi dalam versi gambar, tertulis: "by Bader Almansour." 

Terlepas dari siapa yang buat video dan gambar itu, tapi dua makna bisa lahir: pertama, bahwa Prancis suatu saat akan ditaklukkan oleh Islam, dan kedua, Prancis sedang berada dalam ancaman Islam. 

Perspektif pertama sangat umum dalam Islam, bahwa dakwah Islam disebarkan kepada seluruh alam dengan cara-cara yang bijaksana, anti-kekerasan. Menjadi rahmat bagi seluruh alam, tak terkecuali di negara-negara sekuler seperti Prancis. Perspektif kedua mengkhawatirkan bahwa penyebaran Islam akan merusak nilai-nilai tradisional mereka, apalagi kasus serangan terhadap 'freedom of speech' mereka juga meningkat 5 tahun terakhir. 

Apa yang terlihat dari respon Presiden Macron pasca terbunuhnya guru Samuel Paty, adalah perspektif kedua: ketakutan akan ancaman Islam, terutama apa yang disebutnya 'a typical of islamist terrorist'. Menguatkan masyarakatnya, dia sebut tentang 'islam sedang krisis' dan akan membuat UU anti-separatisme.

Untuk itu, dia akan membuat UU yang melakukan pengawasan terhadap foreign fundings yang berdonasi untuk religious sites dan NGO, serta kemungkinan pemerintah untuk menutup sekolah agama dan organisasi yang dianggap mendukung Islam radikal. Masjid Pantin, sebagai contoh, yang beberapa waktu share video Bhrahim Chnina--ortu murid di sekolah Paty--kini telah ditutup 6 bulan. 

Respon Macron terhadap kasus 'Paris beheading' itu seharus proporsional saja, bahwa pelaku dan jaringannya harus diusut tuntas. Karena pelakunya, Abdoullakh Anzorov, lelaki 18 tahun asal Chechnya telah tewas di hari itu juga (16/10), maka jejaringnya yang perlu ditelusuri--jika ada. 

Kalaupun mau spesifik, statement-nya fokus saja pada kelompok kriminalitas atau radikalisme-terorisme. Dan, semua yang berjuang untuk hak sebagai muslim jangan lantas dicurigai sebagai radikal. Tidak perlu menyerang Islam secara umum--'islam sedang krisis secara global'--yang kemudian meningkatkan eskalasi dengan dunia Islam, bahkan lahir kampanye boikot produk Prancis. 

Islamophobia Macron lebih terlihat pada ketakutan terhadap apa yang dia sebut islamis radikal. Definisi 'islamis radikal' umumnya merujuk pada intensi pribadi atau komunitas Islam untuk menegakkan Islam dengan kekerasan. 

Tapi, definisi baru dapat diajukan, seperti tersurat dari tulisan Greg Fealy, Indonesianis asal Australia, bahwa 'islamis' itu bisa meliputi mereka yang berjuang untuk tersebarnya nilai Islam di publik tanpa kekerasan, seperti lewat partai Islam dalam sistem demokrasi. Jadi, islamis itu tidak selalu jihadis dalam arti teror. 

Definisi 'islamis' versi Macron tampaknya lebih pada pribadi atau kelompok Islam yang pro-kekerasan. Adapun, muslim yang tidak pro-kekerasan, tidak masuk dalam serangan dia. Namun, dia seharusnya tidak perlu ucapkan 'islam secara krisis', karena itu berarti menggeneralisasi umat Islam sedunia. 

Seharusnya fokus saja: "islamis pro-kekerasan sedang krisis, di mana-mana mereka kalah, negara mereka di Irak dan Suriah telah hancur, dan kini mereka tak punya kekuatan lagi." Itu lebih tepat jika Macron, atau penasihat terdekatnya memahami sentimen global--dari dunia Islam--yang sangat sensitif dengan kalimat tersebut. 

Yang buat umat Islam global marah juga pada kehendaknya untuk tidak melarang majalah satir Charlie Hebdo. Okelah Prancis itu sekuler, bebas berbicara, akan tetapi kebebasan berbicara kita itu terbatasi dengan hak orang lain, komunitas lain, dan negara lain yang juga memiliki itu. Apalagi, gambar yang dibuat oleh Charlie itu gambar yang dinisbatkan sebagai olok-olok--walaupun intensinya untuk humor--kepada figur representatif dalam Islam, yakni Nabi Muhammad saw. 

Jurnalis Charlie tidak punya sensitivitas budaya. Mereka tidak belajar ilmu tentang manusia, atau bagaimana memahami manusia. Kalaupun belajar, mereka tidak mengerti, dan tidak dapat mengamalkannya dalam dunia yang sarat dengan multi-identitas umat manusia. Itu semua harus dihargai, jika ingin hidup damai sebagai warga global. 

Mereka mungkin lupa bahwa apa yang dipublikasikannya itu tidak hanya berkaitan dengan satu kampung di Paris, tapi ini bisa direspon oleh satu planet, dan kepentingan nasional Prancis juga bisa terdampak sebagai akibat dari resistensi global, khususnya dunia Islam. Pemboikotan produk Prancis pastinya akan merugikan, tapi lebih dari itu adalah nilai Prancis sebagai negara yang beradab--dalam hal ini--jadi terjun bebas. 

Di mana-mana kita lihat orang mulai sadar tentang pentingnya saling menghormati dan bekerjasama secara global. Adalah tidak mungkin kerjasama bisa terjadi jika satu pihak tidak hormat pada kepercayaan pihak lain. Larangan kepada pegawai negeri untuk menggunakan pakaian 'yang mengekspresikan kepercayaan agama tertentu' sesungguhnya tidak substansial. 

Pakaian adalah ekspresi ideologi dan kultural manusia yang tidak mungkin bisa disamakan semuanya. Yang paling mendesak bukan pada pakaiannya tapi pada kesamaan visi untuk pelayanan publik dan memancarkan nilai-nilai universal bagi manusia. 

Pada titik ini, Presiden Macron perlu memahami sensitivitas budaya dan identitas Islam yang sangat dipercayai dan agung di mata pemeluknya. Relasi global kita juga tidak hanya pada state-to-state tapi juga ada state-to-non state actor. Bahkan, tindakan Anzorov itu bisa kita lihat sebagai pengaruh 'lonely wolf' terhadap state: Paty adalah perantara, intinya menyerang kebijakan state yang dianggap tidak adil. 

Saya pikir, komunitas Islam di Prancis juga perlu terus meningkatkan kerjasama dan mengantisipasi agar tidak lahir tindakan ekstrem jemaahnya. Tiap imam masjid perlu mengenal jemaahnya, dan memiliki ikatan batin dan ideologi yang sama, at least, jika tidak sama, intinya satu: tidak pro-kekerasan, apalagi teror. Hampir 7 juta umat Islam di Paris tentu saja lebih banyak yang anti-kekerasan. 

Kecenderungan jemaah tertentu yang pro-ISIS misalnya, perlu segera ditangani dengan pendekatan emosional, dari hati ke hati; bisa jadi problem mereka ada pada pekerjaan, dan kebutuhan 'identitas baru' sebagai muslim di tengah keterasingan akibat sekularisme. Kadang, kontra-narasi itu mental karena kuatnya indoktrinasi, apalagi jika telah siap menjadi martir dengan alasan membela agama. 

Anzorov misalnya, disinyalir punya kontak dengan dua 'unidentified  jihadist' yang IP address-nya teridentifikasi di sebuah kota di barat laut Suriah, Idlib, yang dikontrol oleh Hay'at At-Tahrir Sham, kelompok jihadis independen, atau 'pernah' berafiliasi pada Al-Qaeda. Jika info itu benar, maka sesungguhnya radikalisasi Anzorov itu telah ada sejak lama, dan itu 'unidentified' juga sifatnya, yang bisa muncul ketika ada pelecut, dalam hal ini kasus guru Paty yang selama satu minggu viral di medsos. 

Adapun soal dekapitasi Prancis, atau yang oleh CNN (20/10) disebut 'Paris decapitation' (saya perluas menjadi Prancis) itu terjadi karena disparitas pengetahuan dan informasi terkait 'kehendak umat Islam' dan 'kebijakan negara.' Umat Islam di mana-mana cinta damai, dan pasti: cinta pada negaranya, kecuali sebagian kecil. Adapun negara, tujuannya pasti untuk kesejahteraan warganya. 

Belajar dari peristiwa mass shooting terhadap Charlie Hebdo 2015 gara-gara kartun Nabi yang disusul dengan serangan sesudahnya, termasuk kasus Anzorov, seharusnya negara juga memikirkan bahwa 'kebebasan bicara' itu tidak harus melegalkan dan membela 'kebebasan menista'. 

Menista orang biasa saja itu terlarang. Tidak dibolehkan oleh aturan dan etika kita sebagai manusia yang harus menghargai manusia lainnya. Apalagi jika penistaan itu ditujukan kepada figur representatif Islam yang tiap hari orang Islam menyebut namanya. 

Bahwa kasus Anzorov itu kriminalitas, umat Islam di mana-mana setuju, bahkan mengecam tindakan itu. Akan tetapi, pendekatan yang soft lebih baik ketimbang hard policy, apalagi menyerang keyakinan global umat Islam.

Sudah saatnya, Presiden Macron memikirkan kembali pembelaannya terhadap Charlie, atau paling dekat adalah meminta maaf kepada umat Islam atas statement-nya yang berakibat telah, mengutip kata Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmed Al-Tayyeb: "mengundang pada kebencian." 

Meminta maaf tidak akan mengurangi spirit Prancis sebagai negara yang menghargai kebebasan (liberte), persamaan (egalite), bahkan ini jadi semangat progresif untuk menciptakan dunia yang damai dan kooperatif berbasis pada persaudaraan (fraternite) umat manusia.

Di saat yang sama, umat Islam sedunia juga diharapkan tetap menampilkan kritikan yang tidak melampaui batas seperti sweeping dan semacamnya yang dapat menambah kekhawatiran baru. Dunia damai harus diperjuangkan, dan itu tugas kita semua sebagai warga global di planet yang sama. *

Depok, 28 Oktober 2020

 

***

 

* Yanuardi Syukur, Pengajar Antropologi Universitas Khairun, Ternate; Direktur Center for Islamic and Global Studies (CIGS).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES