Kopi TIMES

Pilkada dan Prioritas Kesehatan Publik

Selasa, 27 Oktober 2020 - 19:27 | 69.60k
Arianto Adipurwanto, Penulis esai yang aktif di Komunitas Akarpohon, Mataram.
Arianto Adipurwanto, Penulis esai yang aktif di Komunitas Akarpohon, Mataram.

TIMESINDONESIA, MATARAMPilkada adalah kesempatan masyarakat secara langsung menentukan pemimpin mereka di tingkat daerah. Setelah sempat mengalami penundaan, pilkada yang semula dilaksanakan 23 September akan jadi dilaksanakan 9 Desember nanti. Karena itu, pilkada jelas menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk dibincangkan oleh semua lapisan masyarakat.  

Membaca pemberitaan beberapa pekan terakhir, cukup ramai yang meminta—tidak sedikit dengan kecaman—untuk menunda pelaksanaan pilkada 2020 sampai vaksin ditemukan. Tetapi pilkada akhirnya tetap dilaksanakan dengan catatan tetap dilakukan sesuai standar protokol Covid-19.  

Adalah suatu hal yang diam-diam mencemaskan membayangkan pilkada di masa pandemi, apalagi pandemi Covid-19 dengan kecepatan menular yang sangat tinggi. Terlebih, dalam urusan pilkada, hal-hal yang berpotensi meningkatkan penyebaran wabah Covid-19 justru menjadi hal yang selalu dilakukan dan tampak sangat sukar ditinggalkan. Sebut saja urusan pengumpulan massa.   

Pengumpulan Massa

Pengumpulan massa tampaknya dipandang menjadi salah satu kunci kemenangan bagi pasangan calon yang tengah berlaga. Pada pendaftaran pasangan calon 04-06 September lalu, ribuan massa dengan sengaja diundang untuk hadir dan mengantarkan pasangan calon melakukan pendaftaran ke KPU. Sebuah pikiran klasik belum bisa ditinggalkan dalam gaya berpolitik sebagian besar pasangan calon. Yakni, semakin banyak massa yang terkumpul maka semakin dekat kemungkinan untuk meraih kemenangan. Bahkan, tidak sedikit yang tampak membangga-banggakan besarnya jumlah manusia yang bisa dikumpulkan seolah-olah tidak ada bahaya yang mengancam.     

Keluarnya peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan kampanye yakni Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 membuat proses pilkada khususnya pelaksanaan kampanye sejauh ini relatif terkendali, dibandingkan saat proses pendaftaran. Peraturan ini mengatur dengan detail terkait prosedur pelaksanaan kampanye yang berlangsung dari 26 September sampai dengan 5 Desember 2020 nanti. Di antaranya, dilarang mengumpulkan banyak orang lagi pada setiap kegiatan kampanye. Peserta secara keseluruhan yang boleh hadir hanya maksimal 50 orang, dengan tetap menggunakan masker dan menjaga jarak minimal 1 (satu) meter.  

Kampanye dengan demikian tidak lagi sebebas seperti pilkada pada kondisi normal. Sejumlah bentuk kampanye yang melibatkan banyak orang pun ditiadakan. Kampanye rapat umum, kegiatan kebudayaan berupa pentas seni atau konser musik, kegiatan olahraga berupa gerak jalan atau sepeda santai, peringatan hari ulang tahun partai politik, atau perlombaan-perlombaan tidak lagi diperbolehkan. Pilihan pasangan calon akhirnya tersisa hanya beberapa saja. Kampanye terbatas, pertemuan tatap muka, pemasangan alat peraga kampanye dan penyebaran bahan kampanye, dan iklan di media masa cetak, media elektronik, media sosial atau media daring dengan catatan waktu yang relatif lebih singkat yakni empat belas hari terakhir. 

Adanya aturan ini jelas akan membatasi ruang gerak pasangan calon. Pasangan calon yang tidak kreatif dan malas mencari cara-cara baru, akan selalu menempuh cara-cara lama, yakni memaksakan diri mengumpulkan massa dan dengan demikian tidak mempedulikan aturan yang telah ada. 

Banyak kita saksikan di media massa tentang Pengawas Pemilu yang telah melayangkan surat peringatan tertulis bahkan pembubaran kegiatan kampanye yang telah melanggar protokol Covid-19. Dikutip dari Kompas, 21 Oktober 2020, sampai 20 hari pertama pelaksanaan kampanye (26 September-15 Oktober 2020) terdapat 612 pelanggaran protokol kesehatan dari 25. 657 kampanye pertemuan terbatas. Mayoritas pelanggaran berupa kampanye pertemuan terbatas yang diikuti 50 orang lebih. Sebanyak 303 kegiatan kampanye mendapat peringatan tertulis dan 83 kampanye dibubarkan.   

Tentu hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak mengenakkan, karena kesehatan sendiri adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Pandemi Covid-19 tidak bisa diajak kompromi. Semakin banyak orang yang berkumpul jelas semakin memperbesar kemungkinan menyebarnya pandemi Covid-19.

Harus Cerdas

Kali ini, pasangan calon mau tidak mau harus beradaptasi, melakukan perubahan pada pola-pola lama. Perkataan “Jika tidak mengumpulkan orang kami tidak menang!” harus disingkirkan dan diganti dengan memutar otak untuk memikirkan cara-cara yang mampu menjaga kesehatan masyarakat. Pasangan calon dapat memaksimalkan media dalam jaringan (daring) yang tidak memerlukan pertemuan secara tatap muka.

Konten-konten di media sosial pun dapat semakin digencarkan untuk menjangkau lebih banyak massa. Bagaimanapun, pilkada adalah dalam rangka mencari pemimpin yang dapat memberikan kebaikan dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakatnya, tentu proses untuk menuju itu harus ditunjukkan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas.    

Jika pasangan calon harus cerdas mencari cara berkampanye dengan tetap menggunakan protokol Covid-19, masyarakat pun harus lebih cerdas dalam menilai setiap calon pemimpin. Tidak usah jauh-jauh. Bagaimana mereka bertindak pada masa pandemi ini bisa menjadi ukuran untuk menjatuhkan pilihan. Masyarakat tidak boleh lagi dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan segelintir orang. Kepentingan masyarakat jelas harus diletakkan di kedudukan paling tinggi.   

Bagaimanapun, masyarakat juga punya peran untuk menjaga dan mencegah terjadinya bencana yang lebih besar. Segala hal yang menyalahi prosedur tidak boleh dibiarkan dan harus diluruskan. Pasangan calon harus dari sekarang memiliki rasa kepedulian kepada masyarakat yang akan dipimpinnya. Jika sekarang sebelum naik saja telah menunjukkan tanda-tanda tidak peduli pada masyarakatnya apalagi nanti ketika terpilih.

Pilkada bertujuan untuk menciptakan pemimpin yang dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat dan daerah yang dipimpinnya. Apabila tujuan itu terwujud maka itulah kemenangan rakyat. Apabila nanti setelah terpilihnya pemimpin keadaan masyarakat tetap saja seperti sediakala, tidak menunjukkan tanda-tanda ke arah perbaikan kehidupan, maka yang menang hanya pasangan calon dan segelintir orang tertentu. Bukan kemenangan rakyat. Kemenangan yang dapat dinikmati bersama itulah yang harus diraih dan diusahakan. Kesempatan itu terbuka pada saat pilkada karena pada saat pilkada ini setiap orang memiliki hak tanpa pernah dibeda-bedakan dengan berbagai golongan yang ia miliki. 

Dan, kemenangan itu dapat dimulai dari terjaminnya kesehatan dan akhirnya kesejahteraan masyarakat. Silakan menilai calon pemimpin di Pilkada dari bagaimana mereka memandang dan memperlakukan masyarakat pada masa pandemi ini, apakah hanya sebagai objek, sebagai poin-poin yang dapat memberikan kemenangan, atau sebagai manusia yang harus dijamin penuh keselamatannya?  Saya kira, jika sejak dalam pikiran pasangan calon telah menempatkan kepentingan masyarakat sebagai yang paling utama, dengan sangat ringan tangan cara-cara yang membahayakan akan dapat disingkirkan jauh-jauh.* 

***

*)Oleh: Arianto Adipurwanto, Penulis esai yang aktif di Komunitas Akarpohon, Mataram.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES