Kopi TIMES

Konsistensi Mencintai Konstitusi

Selasa, 27 Oktober 2020 - 18:18 | 54.40k
Bambang Satriya, Guru besar Universitas Merdeka Malang dan Penulis buku Filsafat Pancasila. (Grafis: TIMES Indoensia)
Bambang Satriya, Guru besar Universitas Merdeka Malang dan Penulis buku Filsafat Pancasila. (Grafis: TIMES Indoensia)

TIMESINDONESIA, MALANGKonstitusi (Undang-undang Dasar 1945) merupakan pijakan istimewa dan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau kemudian Presiden RI Joko Widodo pernah menyatakan, bahwa siapapun yang melanggar konstitusi akan “digebuk”, adalah logis supaya mereka tidak main-main dengan konstitusi. 

Pernyataan Presiden itu sebenarnya mengandung pesan supaya setiap elemen bangsa, khususnya elitnya untuk teguh atau menunjukkan sikap konsistensi dalam menjaga atau merawat konstitusi.

Dalam ranah itu, Jokowi  mengisyaratkan prinsip egalitarian atau “kesamaan dalam bertanggungjawab” yang kesejatiannya menuntut setiap orang, setiap warga, atau siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap konstitusi, haruslah diproses secara benar dan konsisten sesuai dengan norma yang mengatur.

Sependapat dengan peringatan Jokowi itu, bahwa memang seharusnya tidak boleh ada perlakuan berbeda antara satu orang dengan lainnya di negara yang menganut prinsip supremasi konstitusi. Setiap elemen bangsa berkedudukan sederajat, sehingga tidak boleh ada perlakuan yang mendiskriminasikan antara satu dengan lainnya, atau tidak boleh ada pohak atau golongan tertentu yang diistimewakan dibandingkan dengan lainnya.

Pengakuan kesederajatan dalam konstitusi itu sangat sakral. Artinya saat seseorang mendapatkan pengakuan ini, kehadirannya diantara orang lain menjadi bermartabat dan berkemanusiaan. Seseorang dengan seeorang lainnya sama-sama menempatkan dirinya sebagai manusia yang seharusnya memanusiakan manusia lainnya.

Ketika ada seseorang sedang bermasalah dalam ranah yuridis, maka seseorang ini berkedudukan egaliter dengan seseorang lainnya yang bermasalah sama dengan dirinya, sehingga siapapun atau institusi manapun yang mendapatkan amanat melaksanakannya, haruslah diwujudkan.

Dalam kasus-kasus yang ada atau terjadi misalnya harus ada perlakuan yang tidak bersifat diskriminatif, pasalnya apapun warna kulit atau etnisnya yang terikat pada  konstitusi, yang sama-sama berurusan dengan  pertanggungjawaban hukum. Tidak boleh dibedakan dalam perlakuan atau tidak boleh ada yang dianak-emaskan diantara keduanya. Rakyat misalnya selalu menunggu informasi yang transparan mengenai kabar seseorang yang tidak diketahui rimbanya, padahal ia ini sangat dinantikan pertanggungjawabannya secara yuridis dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia. 

Itu hanya sebagai sampel untuk mengingatkan setiap penyelenggara Negara ini, bahwa konstitusi merupakan “kitab sakral” yang menuntut setiap elemen warga untuk menjadikannya sebagai pegangan hidup atau aturan main (rule of game). Konsekuensinya, setiap warga negara  atau subyek bangsa ini, khususnya  elitis penyelenggara system peradilan pidana  (criminal ustice system) wajb “bermain” (menunjukkan perilaku) yang seirama dengan norma yuridis atau khittah ke kesejatian konstitusi.

Secara a contrario, berarti setiap warga negara, apalagi yang berkapasitan sebagai penyelenggara negara terlarang menjadikan hukum (konstitusi) sebagai  obyek yang “dimainkan”. Setiap penyelenggara negara atau warga negara berkewajiban menunjukkan aktivitasnya yang sesuai dengan norma konstitusi.

Kalau sudah seperti itu, maka asing-masing elemen Negara dituntut menjadikan konstitusi sebagai panduan bersikap dan berperilakunya. Ketika yang dihadapi adalah publik yang menuntut bermacam-macam tuntutan, maka dalam ranah inilah apa yang disampaikan Presiden Jokowi menjadi ”treksaminasi”, apakah para penyelenggara negaranya mematuhi “hukum jalanan” sesuai selera kelompok ataukah menjatuhkan opsi sebagai pilar negara yang teguh menjaga konstitusi. 

Kalau menjaga konstitusi yang dijadikan opsinya, tentulah para penyelenggara ini akan menjadi pilar negara yang sukses. Jawaharlal Nehru menyebut, bahwa sukses seringkali datang pada mereka yang berani bertindak, dan jarang menghampiri penakut yang tidak berani mengambil konsekuensi.

Kesuksesan pilar negara, seperti kata Nehru itu, ditentukan oleh keberaniannya dalam mewujudkan tanggungjawabnya. Meski sangat mungkin menghadapi beragam tantangan berat akibat menegakkan konstitusi, namun karena tidak kecil nyali dalam mewujudkannya, maka peran yang ditunjukkannya ini menjadi bermakna bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.

Di negeri ini, mengajak patuh atau taat tidak gampang. Ada banyak hambatan yang bersifat kultural maupun truktural, dan lainnya yang terkadang membuat sulit bersikap dan berlaku konsisten.

Meski sudah mendapatkan pelajaran tentang moral, kesetian pada bangsa, atau mengamalkan Pancasila sejak di bangku sekolah mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tapi berbagai jenis 'pembangkangan Konstitusi' tetap saja dilakukan dan bahkan dikembangkan dan tidak sedikit diantaranya “diruwat” supaya semakin mapan. Pola seperti ini namanya berusaha mencari yang menguntungkan diri dan kelompok, sementara kepentingan bangsa dan negara dikorbankan. (*)

***

*)Oleh: Bambang Satriya, Guru besar Universitas Merdeka Malang dan Penulis buku Filsafat Pancasila.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES