Kopi TIMES

Bagaimana Media Bicara Soal Kekerasan Atas Nama Negara?

Selasa, 27 Oktober 2020 - 17:29 | 77.66k
Nissa Rengganis, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Cirebon.
Nissa Rengganis, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Cirebon.

TIMESINDONESIA, CIREBON – Saya teringat Winston Smith. Tokoh rekaan Geoge Orwell dalam novel 1984.  Winston Smith, seorang anggota partai  yang berkuasa di negara Oceania. Winston merupakan pengikut Big Brother sang Penguasa. Ia bertugas di Ministry of Truth pada bagian berita dan propaganda yang bertujuan untuk membentuk opini dan cara berpikir masyarakat.  Baginya tujuannya mulia: mengarahkan visi dan misi partai pada masyarakat luas dan mengikutinya. Winston seakan hadir sebagai humas pemerintah yang kian mengaburkan batas realitas. 

Orwell menunjukkan pada kita bahwa sekat realitas pada masyarakat menjadi abu-abu. Akibat penguasa. Juga media. Penguasa dalam hal ini adalah pemerintah yang kerap mengawasi gerak-gerik masyarakat. Sampai masyarakat tidak mengetahui lagi bagaimana kehidupan mereka sebenarnya berjalan. Masyarakat tidak mengetahui mana realitas yang benar dan yang salah. Pemberitaan hanya memperlihatkan kemenangan pasukan militer partai, kestabilan ekonomi, dan taraf hidup yang semakin membaik.

Namun pada kenyataannya, masyarakat berada pada kondisi sebaliknya. Dari kisah ini kita disuguhkan bahwa Media dalam dunia Winston adalah ruang paling efektif untuk terus menggiring opini masyarakat. Seperti ungkapan Ross Tapsell “Who is "in control" of the media, then he will control the community. Media and power are two sides of a coin, because the media "follows the flow" of politics.

Lagi. Untuk kesekian kalinya, kita juga menyaksikan bagaimana media kerap mencitrakan kepentingan penguasa. Hal terdekat yang kita alami misalnya dalam beberapa hari terakhir adalah deretan aksi penolakan omnibus law. Setidaknya kita bisa simak bagaimana framing media dalam pemberitaan penolakan omnibus law.

Masihkah kita bisa berharap kepada media sebagai watchdog dari berjalannya sistem pemerintah dan negara. Media sebagai corong demokrasi alih-alih menciptakan ruang demokratis dan penyampaian aspirasi masyarakat, malah memperpanjang dan melegitimasi kekerasan yang dilakukan di lapangan.

Gelombang penolakan omnibus law memicu beragam aksi di pelbagai daerah. Mereka hadir dari beragam profesi  seperti para buruh,  pekerja, mahasiswa, pelajar, hingga para jurnalis. Semuanya satu suara: UU Omnibus law ini bermasalah. Baiklah mari kita tengok bagaimana cara kerja media dalam menggiring opini masyarakat kita. Masihkan ada suara-suara jernih yang mewakili suara rakyat? Ataukah suara aparat? 

Mengutip riset Remotivi yang menganalisis setidaknya lima media daring terkait framing omnibus law. Dari lima media daring yang mereka amati (red: Remotivi) menemukan omnibus law cenderung diberitakan secara positif (52%). Jika dilihat per media, hanya Kompas.com (22,9%) yang sedikit lebih banyak memberikan ruang bagi pernyataan-pernyataan yang menolak omnibus law, sementara keempat media lainnya (Media Indonesia, CNN. Republika, Liputan 6) memberikan ruang tidak lebih dari 17,5%.

Sungguh disayangkan. Media, dalam situasi ini, seharusnya bisa menjadi ruang yang mempertemukan gagasan yang beragam, terutama aspirasi dari kelompok yang paling lemah.

Hal serupa juga saya temukan di beberapa media lokal Cirebon di mana narasi yang dibangun kerap menyudutkan para demonstran. Pemilihan diksi seperti “perusuh”, “berhasil dikendalikan”, “diamankan” “kekacauan”, merujuk pada kesan demonstran adalah pelaku kriminal.

Juga cara-cara yang dilakukan oleh aparat di beberapa daerah  yang saya kira berlebihan dalam penanganan para demonstran. Kita tahu misalnya ratusan pelajar yang dijemur di lapangan, dipukuli, di teror, disirami gas air mata, hingga menyebabkan ratusan demonstran ditangkap dan luka. Tak heran jika tagar #policebrutality menjadi trending dunia. 

Lantas bagaimana seharusnya media bersikap? Di tengah situasi maraknya kekerasan atas nama Negara, saya melihat media justru turut melanggengkannya. Sedikitnya porsi pemberitaan dari pihak demonstran, media menggiring opini dari suara Negara dalam hal ini kepolisian. Narasumber yang dihadirkan kebanyakan dari suara pemerintah. Yang acapkali aksi demonstran adalah suatu kekeliruan.

Minimnya media menghadirkan cover both side menciptakan diskursus yang tidak imbang. Media harusnya menyajikan liputan cover both side, check and recheck serta balancing reporting. Tentu beralasan. Karena media memiliki kekuatan  mulai dari proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan angle, penambahan atau pengurangan foto dan gambar serta lainnya. 

Mari kita simak bagaimana hadir sebagai suara rakyat dari fenomena omnibus law yang belakangan tengah ramai dan memunculkan gelombang pergolakan. Sudahkah media  memberi porsi yang imbang dalam membuka ruang  bagi anggota dari perserikatan buruh atau mahasiswa.  Jika pemberian panggung justru lebih besar bagi pemerintah, ini menunjukkan kecenderungan peran media seolah bertugas sebagai “humas pemerintah”.

Penulis mengingat Winston ang  membolak-balikkan realitas dengan mengubah dan membentuk kebenaran sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Keadilan dan kebebasan di dunia 1984 sangatlah dibatasi oleh penguasa. Penggambaran situasi masyarakat di dalam dunia Orwell sangat abu-abu. Manakah yang benar atau keliru? Masyarakat berhadapan dengan  gejolak di mana peperangan telah menjadi kebiasaan dan rutinitas. Kondisi masyarakat tanpa henti dari hari ke hari semakin suram. Tapi di tangan Winston, semua kesuraman itu tampak gembira. Semua kekeliruan adalah benar bagi penguasa.

Hal serupa kembali terjadi di sini.  Harapan bahwa dunia memiliki pers dan media yang benar-benar independen maupun netral, seakan menjadi sebuah realita yang utopis. Bermacam bentuk kepentingan acapkali berbenturan dengan prinsip jurnalisme. Kita diingatkan oleh  Ross Tapsell dalam bukunya "Kuasa Media di Indonesia" mengajak kita berdialektika tentang struktur hubungan antara oligarki, warga negara dalam mendorong sebuah perubahan dalam sistem yang demokratis.

Haruskah kita masih berharap? Di iklim demokrasi yang kian riuh ini, tentu saja media punya peran sentral dalam pengetahuan harian warga: menyodorkan apa yang perlu/tidak perlu dibicarakan (agenda setting) dan bagaimana membincangkannya (framing). Sudah seharusnya dalam perannya itu media memiliki agenda pemberitaannya sendiri yang disusun secara independen dan berorientasi untuk melayani warga.

 Media harus bicara dan punya suara atas kekerasan yang kerap dilakukan oleh Negara. Media bisa merekonstruksi realitas , tapi juga bisa menghadirkan hiperrealitas atau realitas semu yang dapat membingungkan publik. Ia tidak hanya menentukan what to think, tetapi what to think about

***

*)Oleh: Nissa Rengganis, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Cirebon.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES