Kopi TIMES

Pemerataan Pendidikan di Era New Normal: Sudahkah Tut Wuri Handayani ?

Senin, 26 Oktober 2020 - 21:00 | 282.91k
Indah Sari Rahmaini, Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Gadjah Mada.
Indah Sari Rahmaini, Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Gadjah Mada.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Setelah pandemi menjadikan isi bumi serasa ditimpa bom besar tak kasat mata, masyarakat dunia mulai membenahi kembali sisi kehidupan yang terpinggirkan karena virus ini. Walau mengundang banyak kritik dan perdebatan, new normal menjadi satu-satunya jalan yang mesti ditempuh untuk kembali menyalakan roda kehidupan. Walaupun tetap tidak menghentikan penyebaran virus, kehidupan baru dijalani dengan catatan untuk mematuhi protokol kesehatan. 

Sejatinya kondisi new normal yang telah diterapkan di seluruh dunia termasuk Indonesia memiliki dampak yang sangat signifikan pada setiap lini kehidupan, termasuk Indonesia. Kita kerap kali mendengar keluhan di beragam media sosial mengenai sulitnya pembelajaran daring. Tidak hanya kesulitan dalam komunikasi tatap muka dan memahami pelajaran, pembelajaran daring juga dipengaruhi oleh kekuatan jaringan internet yang dimiliki.

Sayangnya, pemenuhan kebutuhan telekomunikasi dan akses informasi masih menjadi permasalahan yang belum kunjung mendapat titik temu bagi masyarakat terpinggir Indonesia. Meski selalu membunyikan semboyan pemerataan pembangunan, realitas yang terjadi masihlah jauh daripada harapan. 

Sejak covid-19 menyebar di Indonesia dan sekolah dialihkan ke rumah dengan metode daring, kita banyak mendengar berita mengharukan perihal usaha agar tetap mengikuti kegiatan pembelajaran. Dikutip dari berita kompas 1 Agustus 2020, siswa nekat untuk memanjat pohon demi mencari sinyal dan ada yang bahkan mendaki bukit. Di tempat lain, ada siswa yang harus meminjam ke rumah tetangga karena tidak punya smartphone.

Kita juga mendengar kabar guru yang mendatangi siswa dari rumah ke rumah karena kondisi ekonomi siswa yang tidak banyak memiliki smartphone. Serta masih banyak isu lainnya yang menyadarkan kita bahwa pemerataan pendidikan masih menjadi PR besar bagi bangsa Indonesia untuk tetap mampu menghadapi kondisi segenting apapun, termasuk dalam melawan wabah pandemi ini. 

Sudahkah Tut Wuri Handayani ?

Tut Wuri Handayani merupakan sebuah semboyan yang diperkenalkan oleh Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara. Istilah ini memiliki arti “di belakang mendorong”. Kalimat itu adalah bagian dari semboyan “ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri handayani” yang berarti di depan, seorang pendidik harus bisa menjadi teladan di tengah murid, di tengah memberikan ide, dan di belakang mendirikan dorongan. Pendidikan bukan hanya sekedar proses memberi dan menerima ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, pendidikan juga bagian dari sosialisasi pembentukan kepribadian, etika, dan cara pandang. 

Pembelajaran jarak jauh menjadi ujian yang berat untuk memenuhi hakikat dari pendidikan. Berbagai kebijakan dan himbauan tentu sudah diusahakan secara maksimal, walau terkadang banyak sekali aral melintang. Proses belajar mengajar yang sejatinya dibumbui dengan semangat, motivasi, dan juga ikatan emosional antara guru dan siswa, sekarang hanyalah tinggal tugas-tugas ataupun tutorial yang bahkan sudah bebas didapatkan melalui internet. Siswa juga jenuh selalu menatap monitor untuk kembali mengikuti kelas virtual yang terkadang diforsir dalam satu hari. Khususnya, siswa sekolah dasar yang belum melek smartphone masih harus mendapat bantuan dari walinya, itupun jika dilakukan pengawasan dari guru dan orangtua. 

Polarisasi permasalahan dalam pembelajaran daring hanyalah bagian kecil dari kebutuhan perhatian semua pihak dalam menyoal pemerataan kualitas pendidikan. Pendidikan yang tidak merata malah akan memunculkan trickle down effect seperti kemiskinan, ketimpangan, masalah pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain yang berpengaruh terhadap visi SDG’s untuk Indonesia pada tahun 2030. Melihat dari satu faktor saja dirasa belum cukup memadai untuk melihat akar permasalahan dari pemerataan ini. 

Merekognisi Masyarakat yang Multikultur 

Apakah upaya pemerataan itu sendiri memerlukan cara-cara yang didasarkan atas prinsip keadilan walau sering menghadapi masalah pada asas ini (Mubyarto, 1991). Pemerataan tidak diartikan sama atau seragam. Ada porsi yang harus dipenuhi sesuai dengan kebutuhannya dan tentunya tidak sama antara satu dengan lain. Kegagalan modernisasi pembangunan pada periode sebelumnya juga terletak pada penyamaan pembangunan itu sendiri tanpa mempertimbangkan kondisi sosio-historis. Modernisasi pembangunan hanya menyebabkan masyarakat bergantung kepada bantuan, bersifat semu karena tidak didasari kebutuhan masyarakat, dan rendahnya sense of belonging masyarakat itu sendiri. 

Upaya dasar yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi pemerataan pendidikan pada era new normal adalah dengan merekognisi multikulturalisme. Istilah multikultur tidak hanya berprinsip plural saja. Indonesia dikatakan telah mampu merekognisi multikulturalisme jika telah memiliki kesadaran penuh akan keberagaman, serta mengakui kehadiran baik mayoritas maupun minoritas. Menurut Charles Taylor, merekognisi multikulturalisme merupakan suatu kebutuhan manusia agar tidak ada lagi konsep “orang yang terpinggirkan” (Blums, 1998). Taylor melihat secara lebih demokratik bahwa manusia harus diakui dalam relasi etik di hadapan apapun. Manusia itu berbeda dan unik, begitu juga setiap kelompok dalam masyarakat etnis, ras, maupun agama. 

Pembelajaran daring mungkin menjadi sebuah solusi bagi masyarakat daerah perkotaan, namun menjadi masalah besar bagi masyarakat dari daerah pinggiran. Belum lagi jika kita menelisik lebih lanjut tenaga pendidik yang tidak seluruhnya melek teknologi. Fasilitas yang diberikan negara kepada guru di daerah terpencil dirasa masih belum layak sehingga juga menjadi masalah dalam pengelolaan pembelajaran. Siswa dari daerah tersebut juga umumnya berasal dari kelompok rentan dengan ekonomi yang tidak memadai untuk membeli kebutuhan tersier seperti smartphone dan data internet. Jika kita tetap abai dalam menghadapi kondisi ini, pemerataan pendidikan hanyalah utopis dan dirasakan masyarakat tertentu saja. 

Solusi dari mengatasi keadaan ini bisa dimulai dengan menerapkan regulasi yang tidak hanya merujuk koorporatisme. Saat seperti inilah pentingnya kreatifitas berbagai daerah untuk menerapkan kebijakan sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Kerjasama pemerintah daerah dan pihak sekolah sangat membantu dalam mencapai pemerataan kualitas pendidikan tidak hanya melalui daring secara konvensional saja. Pembelajaran daring juga harus diiringi dengan evaluasi berteknologi baik dari guru, siswa, maupun wali murid mengingat tingkat literasi di desa masih rendah. Fasilitas seperti layanan internet masuk desa menjadi salah satu faktor pendukung dalam mewujudkan hal tersebut. Kesadaran kecil seperti itu telah mengindikasikan mengenai kesadaran multikulturalisme di Indonesia. 

Memperkuat Solidaritas di Tengah Pandemi

Berbagai komunitas mulai menginisasi gerakan sosial dalam menumbuhkan semnagat solidaritas dalam membangun kembali Indonesia pada new normal, khususnya Pendidikan. Saat ini gencar sekali dilakukan berbagai webinar, diskusi online, maupun gerakan langsung membantu siswa dalam beradaptasi dalam pendidikan era new normal. Orang mulai sadar untuk bertahan dengan keadaan yang penuh dengan ketidakpastian. Tidak hanya dengan saling memberi bantuan masker, penyemprotan disinfektan, pemberian sembako, memperhatikan kebutuhan kuota, aliran listrik dan kebutuhan wifi di daerah pinggiran juga menjadi perhatian khusus. Banyak pemerintah daerah yang mulai sadar akan kebutuhan pemerataan pendidikan era new normal dengan memasang wifi gratis agar siswa tetap bisa mengikuti proses kegiatan belajar mengajar. 

Pada skala inidividu, semua orang memberi influence bagi komunitasnya tidak peduli seberapa besar followers-nya di media sosial untuk tetap menjaga kesehatan pada era new normal. Himbauan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan saat beraktivitas juga merupakan bagian dari pendidikan informal yang menjadi kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat saat ini. Berbagai bentuk sosialisasi baik secara formal maupun non formal lambat laun akan menjadi sebuah pengetahuan dan kebenaran baru.

Berbagai pengetahuan serta nilai lokal juga turut menjadi ciri khas solidaritas masyarakat komunitas. Warga dalam masyarakat komunitas secara sukarela mengkarantina daerahnya sendiri dengan berbagai himbauan melalui lisan maupun tulisan yang tidak kalah kontributif. Masyarakat juga menjadi pengamat sosial di lingkungannya dengan melapor kepada tenaga kesehatan jika menemukan gejala virus hadir di sekitarnya. 

Sejatinya, pembangunan tidak hanya didasari atas kuantitas dari sesuatu yang dicapai. Kualitas dalam saling memanusiakan manusia serta mewujudkan pemerataan seperti yang diusung dalam visi SDG’s menjadi komponen utama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu pintu utama pembuka jalan kesejahteraan dengan mempertimbangkan dampak keberlanjutannya. Poin di atas dalam mengelaborasi permasalahan pemerataan pendidikan menjadi penting untuk menghantarkan Indonesia ke depan gerbang keberhasilan SDG’s walaupun tengah dihadapkan dengan wabah pandemi Covid-19 yang masih saja penuh dengan ketidakpastian.

Optimisme semacam ini perlu disebarkan lebih cepat hingga output yang diterima masyarakat menjadi lebih memberikan energi yang baik seiring dengan do’a agar kondisi cepat pulih kembali. 

***

*)Oleh: Indah Sari Rahmaini, Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Gadjah Mada.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES