Kopi TIMES

Pengelolaan Eksternal Publik Lembaga Pemerintah

Senin, 26 Oktober 2020 - 15:28 | 98.57k
Frida Kusumastuti; Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Frida Kusumastuti; Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Kita semua menyayangkan demonstrasi  yang disertai dengan kekerasan dan tindakan pengrusakan fasilitas. Tapi memang sebuah demonstrasi yang dilatar belakangi dengan kekecewaan karena aspirasi yang diabaikan, dan penghalauan yang berlebihan berpotensi anarkis.  Seperti demonstrasi penolakan pengesahana Omnibus Law beberapa waktu lalu.

Anarkhi dan pengrusakan fasilitas terjadi hampir di semua daerah yang dijadikan titik demonstrasi. Sayang sekali, niat yang baik menjadi ada noda untuk memukul balik simpati masyarakat pada para demonstran. Namun, penulis melihat dari sisi yang lain. Pemerintah agaknya perlu banyak instropeksi diri dalam mengambil keputusan.

Kita semua tahu bahwa sebuah kebijakan, program pemerintah, dan peraturan negara itu memiliki konsekwensi yang luas karena menyangkut jumlah orang dan kelompok yang besar. Maka kemampuan mengakomodasi kepentingan dan peka terhadap respon atau reaksi negatif mestinya menjadi perhatian tersendiri bagi pengambil keputusan (pemerintah).

Terlepas dari muatan politis dalam setiap kebijakan, program, dan aturan negara, perlu disadari bahwa seringkali semua itu sulit dijelaskan pada semua kelompok masyarakat.

Namun, pemerintah tidak bisa menutup mata untuk memahami bahwa selalu ada kelompok-kelompok penghalang atau blocking publics yang tidak boleh diremehkan. Yaitu publik yang memang begitu intens melakukan kajian dan studi tentang isu yang diperjuangkan. Mereka adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompok cendekia.

Suara LSM dan Cendekia sebagai External Public

LSM biasanya lahir karena suatu keprihatinan dan panggilan hati terhadap suatu keadaan yang belum tertangani dengan baik oleh negara atau pemerintah. Kadang, pemerintah mungkin tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengatasi suatu interest dan isu di masyarakat.

Kehadiran LSM menjadi sesuatu peluang bagi  pemerintah untuk menutupi kekurangan sumber daya tersebut. Begitupula dengan cendekia. Kegelisahan sebagai cendekia untuk mengabdi pada ilmu, profesi, dan masyarakat menjadi pendorong utama mengapa kaum cendekia merasa harus bersuara terhadap persoalan masyarakat. Hal inilah yang perlu disadari oleh para pejabat pemerintah. Hanya memerlukan scanning tersendiri untuk melihat mana saja LSM dan kaum cendekia yang memiliki track record oportunis.

Omnibus Law sejak mula sebenarnya juga tidak luput dari perhatian LSM dan kaum cendekia. Kontroversi Omnibus Law menyangkut prosesnya yang serba cepat pada situasi pandemi, dan ketebalan kitab tersebut karena memuat banyak produk UU sebelumnya. Ketika wacana Omnibus Law sudah tercium di luar istana dan gedung parlemen, LSM dan para cendekia segera melakukan studi atau kajian terhadap pasal-pasal yang menjadi interest perjuangan mereka. 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebuah LSM yang memiliki jaringan luas dan sangat berpengalaman, telah  mengaji, meneliti, dan menyuarakan kritik pada pasal yang menyangkut Lingkungan Hidup.  Berdasarkan pelacakan berita, penulis melihat WALHI sudah melakukan reaksi keras terhadap Omnibus Law sejak Januari 2020. Terutama berkaitan dengan penyederhanaan perizinan dan persyaratan investasi yang dikaji berpotensi mengancam keselamatan Sumber daya alam dan lingkungan.

WALHI tidak sendirian fokus pada kajian ini. Sejumlah LSM Lingkungan di tingkat daerah seperti Genesi di Bengkulu, juga aktif. Mereka juga menggandeng kaum cendekia bidang hukum dan lingkungan untuk studi kajian pasal tersebut. Kajian WALHI bukan disembunyikan. Mereka secara masif menyuarakan itu melalui website WALHI, juga menggelar sejumlah konferensi pers, dan bahkan mengirim surat terbuka kepada DPR.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) juga telah bersuara sejak Februari 2020 tentang draft RUU Omnibus Law. Terutama berkaitan dengan pasal-pasal yag membawa efek perlindungan dan kesejahteraan buruh. Kajian LSM buruh ini nampak kontinyu disuarakan tiap bulan. Termasuk pada Mei 2020 di hari Buruh Nasional.

Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) sebuah kelompok gabungan akademisi dan pegiat masyarakat sipil, termasuk para aktivis pers yang peduli penyiaran di  Indonesia agar adil dan demokratis, juga telah lama melakukan kajian Omnibus Law. Terutama berkaitan dengan pasal-pasal yang menyangkut investasi dan perijinan yang melemahkan semangat UU Penyiaran sebelumnya. Yakni berkaitan dengan pengaturan frekwensi publik, keragaman konten dan keragaman kepemilikan lembaga penyiaran, dan hak publik (akses dan partisipasi). Melalui kajian mendalam KNRP juga menyuarakan hasil kajiannya itu secara terbuka sejak Juli 2020 melalui webinar dan konferensi pers.  

Tidak hanya tiga LSM itu saja tentu yang bersuara terhadap RUU Omnibus Law. Begitupula para cendekia atau akademisi yang mewakili individu maupun profesinya. Bahkan hingga menjelang disahkannya Omnibus Law, semua komponen masyarakat tsb.melakukan kampanye penolakan dan seruan turun jalan. 

Pengelolaan Public Eksternal

Kita semua menyayangkan peristiwa demonstrasi dengan anarkhi tersebut terjadi. Kekecewaan kepada pemerintah juga wajar. Pengelolaan external public agaknya harus menjadi fungsi tersendiri di lembaga-lembaga pemerintah, termasuk kompetensi yang harus dimiliki oleh para pejabat pemerintah. Exstenal public yang menentang  bukan harus dianggap sebagai “musuh” atau ancaman, melainkan bisa juga sebagai peluang mengatasi kelemahan sumber daya pemerintah dan negara. Ketika kelompok masyarakat secara terbuka melakukan blocking terhadap kebijakan, program, dan aturan perundangan, itu artinya mereka tidak main-main dan memiliki dasar kuat dalam pengkajian atau studi. 

Disamping kuat dalam hal kajian, External Public yang menentang semacam itu juga memiliki basis massa yang besar dan loyal. Oleh karena itu sudah semestinya pemerintah lebih perhatian pada mereka. Membangun hubungan untuk mencapai saling pengertian, dan saling percaya menjadi keharusan. Melalui komunikasi dan kolaborasi sangat memungkinkan untuk menemukan konsensus. Hal itu memang tidak bisa tergesa-gesa. Perlu sumber daya waktu dan energi serta kemauan baik kedua belah pihak. Demi Indonesia lebih baik. 

***

*)Oleh: Frida Kusumastuti; Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES