Kopi TIMES

Omnibus Law dan Kolonisasi Masa Lalu

Sabtu, 24 Oktober 2020 - 16:33 | 62.99k
Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.
Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di tengah kelesuan ekonomi Indonesia akibat wabah pandemi Covid-19, disahkannya Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi UU memberi nilai negatif publik karena dianggap tak mewakili transparansi publik.

Apalagi pembahasan UU Cipta Kerja itu dikebut cepat selama masa pandemi Covid-19 padahal baik DPR dan pemerintah semestinya mengurus upaya penyelesaian dari masalah Covid-19.

Ada sepuluh isu krusial dalam UU Cipta Kerja yang mendapatkan banyak penolakan dikalangan publik.Kesepuluh isu tersebut berkaitan erat dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sanksi pidana pengusaha, Tenaga Kerja Asing (TKA), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/ Kota (UMSK). terkait pesangon, karyawan kontrak seumur hidup, kerja kontrak atau outsourcing seumur hidup, waktu kerja, cuti dan hak upah cuti, serta jaminan kesehatan dan pensiun bagi pekerja kontrak .

Tekanan Ekonomi

Bagi publik, lahirnya Omnibus Law atau UU Cipta  Kerja  dianggap sebagai kamuflase pemerintah untuk memuluskan investasi asing secara instan. Apalagi pembahasan UU Cipta Kerja ini juga dilakukan tanpa disertai keterlibatan dari perwakilan buruh dan pekerja dalam perumusannya. Tak pelak situasi ini membuat kaum buruh merasa dibayangi oleh realitas sistem kerja paksa yang akan mengkoloni hak- hak mendasar kaum buruh.

UU Cipta  Kerja  lahir dari inisiatif pemerintah dan DPR yang memandang perlunya ‘penyederhanaan’ aturan hukum atau perundang-undangan ketenagakerjaan yang dibuat dengan tujuan mengevaluasi atau merevisi UU yang disharmoni atau tumpang tindih ke dalam satu payung hukum yang terpadu.

Ditengah kelesuan ekonomi akibat wabah Covid-19, kita tak dapat menampik bahwa hadirnya investor asing merupakan hal penting bagi Indonesia. Banyak sektor penting di Indonesia yang membutuhkan bantuan dana segar dari luar negeri.Masuknya pemodal asing ke Indonesia untuk investasi jelas memberi stimulus besar bagi ekonomi Indonesia supaya dapat tumbuh berkembang secara baik. Hadirnya UU Cipta Kerja bagi pemerintah memberi kebijakan efektif bagi lahirnya percepatan stimulus investasi secara global karena adanya produk ketenagakerjaan yang terpadu akan memberi kemudahan bagi para investor asing untuk lebih mudah menanamkan investasinya di Indonesia

Meskipun terlihat efektif, tetapi generalisasi atas nama kebutuhan investasi juga tak sepenuhnya menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk melegalisasi UU Cipta Kerja tanpa adanya partisipasi publik. Kita dapat mengambil contoh dalam penerapan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dalam realitasnya masih banyak menghadirkan penyimpangan akibat tidak adanya sanksi hukum yang tegas dan lemahnya pengawasan kepada pihak korporasi.

Intimidasi Masa Lalu

Hal yang tak dapat ditepis dalam sejarah, jika persoalan buruh, ketenagakerjaan dan kepentingan korporasi selalu berada dalam kondisi yang bertolak belakang. Pada satu sisi korporasi akan selalu berbicara soal efektivitas bisnis dan efesiensi kerja. Sedangkan pada satu sisi yang lain, kelompok buruh akan terus menyuarakan segala hak kesejahteraan dari kebutuhan komunal mereka.Terminologi sejarah seperti ini akan senantiasa memberi sudut pandang yang berbeda dalam implementasi kebijakan normatif dunia usaha.

Menyikapi dikotomis masalah ketenagakerjaan tersebut, secara rasional tanpa harus menunggu bentuk produk hukum besar bernama UU Cipta Kerja, seluruh pelaku industri di Indonesia sebenarnya dapat saja secara professional memberi keadilan bagi buruh tanpa harus mengurangi hak – hak yang selama ini menjadi kebutuhan dasar kaum buruh. 

Sayangnya banyak pengusaha dan perusahaan di Indonesia yang lebih memilih untuk menerapkan sistem kapitalisme sebagai instrumen besar dalam mendapatkan keuntungan yang sebanyak mungkin dan meminimalisir segala hak dan kepentingan buruh. Konsekuensi logisnya, buruh pada kontekstual ini menjadi pihak yang sangat tertekan akibat koloni kaum pengusaha dan perusahaan. Padahal apapun bentuk regulasi dan sirkulasi ekonomi yang akan dilaksanakan jelas tak dapat berjalan dengan baik tanpa ada peranan buruh. Karena itulah, sudah sepatutnya para pelaku ekonomi juga memenuhi hak-hak dasar kaum buruh.

UU Cipta Kerja  yang hari ini menuai banyak kritikan dari publik dan utamanya kaum buruh memunculkan bayang – bayang kekhawatiran akan marginalisasi peran kaum buruh. Formalisme hukum yang kuat dalam produk UU Cipta kerja sangat dikhawatirkan mampu menghidupkan kembali semangat domein verklaring atau Paklaring pernyataan kerja khas aturan kolonial Belanda yang memberi celah terbuka bagi setiap pengusaha dan pemilik modal untuk mengorbankan kewajiban pemberian hak pengusaha kepada para buruh.

Dalam sejarah, pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Hindia Belanda pernah menerbitkan satu aturan kontroversi tentang Koeli Ordonantie untuk dapat menjamin kelapangan berusaha bagi banyak pengusaha dalam mempekerjakan buruh dan kuli perkebunan tembakau secara paksa dan diskriminatif dengan menerapkan gaji upah yang sangat murah. 

Bayang-bayang traumatik sejarah atas diskriminasi ketenagakerjaan masa kolonial itulah yang memberi kekhawatiran besar kaum buruh. Apalagi  ditengah kelesuan dan resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19, model pembangunan yang mengedepankan kebebasan individu dalam mekanisme pasar (market driven-development) atau fundamentalisme pasar (Neoliberalisme) sangat berpotensi menyuburkan praktik sistem outsourcing (kerja kontrak) yang kapan saja memberi keleluasaan para pemilik modal untuk memecat buruh. Terlebih adanya persaingan global, yang menganggap peningkatan daya saing dan produktivitas hanya dapat dicapai bila ada kebijakan penyesuaian terhadap pasar kerja yang lebih efisien dan murah. Jelas hal ini sangat mengancam kompetensi tenaga kerja dalam negeri.

Menyikapi kontroversi Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah. Konstitusi hukum yang berlaku di Indonesia telah memberi ruang bagi kita untuk dapat menguji keputusan pengesahan UU Cipta Kerja tersebut melalui sebuah mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai publik, kita tak perlu khawatir secara berlebih jika UU Cipta Kerja yang telah disahkan tersebut nantinya akan mengkoloni semua hak ketenagakerjaan di Indonesia.

Secara rasional, Negara menjamin penuh keadilan konstitusi bagi seluruh rakyat Indonesia maka ada baiknya kontroversi Omnibus Law atau UU Cipta Kerja ini diselesaikan secara demokratis dan konstitusional.

***

*)Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES