Kopi TIMES

Santri, Kiai dan Kedaulatan NKRI

Kamis, 22 Oktober 2020 - 20:24 | 66.06k
Idris Ahmadi, Mahasiswa Universitas Nurul Jadid; Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Idris Ahmadi, Mahasiswa Universitas Nurul Jadid; Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid.

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Menurut Hans Kohn, seorang filsuf dan sejarawan Amerika, bahwa suatu bangsa terbentuk karena persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara, dan kewarganegaraan. Suatu bangsa tumbuh dan berkembang dari akar-akar sejarah yang terbentuk melalui suatu proses sejarah. 

Dalam proses lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga sangat erat kaitannya dengan santri, Kontribusi mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan ibu pertiwi telah mendapat pengakuan dari negara. Ini terbukti dengan diresmikannya Hari Santri Nasional pada setiap tanggal 22 Oktober berdasarkan pertimbangan Resolusi Jihad yang digelorakan oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari di Surabaya.  Sang kiai menggandeng santri untuk ikut berjihad melawan penjajah Belanda, Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang kembali ingin menguasai Indonesia dengan membonceng sekutunya, 

Selain KH Hasyim Asyari, KH Wahab Chasbullah juga memiliki sumbangan tinggi dalam membangun peradaban negeri. Inovasi yang dilakukan Kiai Wahab dalam membangun jiwa kebangsaan dan kenegaraan adalah dengan menggunakan kitab kuning, khususnya fiqh, ushul fiqh, dan kaidah fiqh. Atas dasar pemikiran keagamaan, mantan menteri agama RI ini menjadi rujukan terkait kenegaraan. 

Pada zamannya, Irian Barat dijanjikan oleh Belanda akan diserahkan kepada Indonesia pada tahun 1948, namun sampai tahun 1951 Belanda masih belum menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat. Kemudian Bung Karno mengadukan dan menanyakan hukum terkait kejadian di atas kepada kiai Wahab untuk mendapatkan pencerahan terkait konflik Irian Barat.

Dengan tegas, kiai Wahab menghukumi tindakan orang-orang Belanda dengan prilaku ghasab, yang berarti istihqaqu ma lil ghair bighairi idznihi (menguasai milik orang lain tanpa izin pemiliknya). Atas saran ini, Bung Karno mengadakan perundingan kembali bersama pihak kolonial, namun demikian perundingan yang dilakukan gagal dan belum juga menemukan titik terang terkait Irian Jaya.

Tanpa kehilangan patah semangat, Bung Karno mengadu kedua kalinya kepada Kiai Wahab dengan menceritakan kegagalan perundingan yang telah dilakukan dengan pihak penjajah. Kemudian tokoh agama kelahiran Jombang tersebut mengeluarkan fatwa akhodzahu qohrun, yang bermakan ambil/ kuasai dengan paksa. Fatwa tersebut bisa kita dapatkan dalam kitab Fath al-Qarib dan syarahnya, Al-Baijuri.

Jelas, pendapat Kiai Wahab merupakan kontekstualisasi kajian kitab kuning agar Irian Barat direbut (dikuasai) kembali secara paksa. Justifikasi keagamaan telah membakar semangat juang bangsa Indonesia saat itu dan terbukti dengan terbentuknya Trikora (Tiga Komandan Rakyat) untuk merebut tanah Papua. Akhirnya, pada tahun 1969 Irian Barat kembali berada dalam dekapan ibu pertiwi.

Dari kisah di atas, kitab kuning sejatinya relevan bagi kaum santri saat ini dengan cara mengaktualisasikan keilmuan yang tertuang didalamnya. Lebih jauh, keilmuan dalam kitab kuning bukan hanya sebatas tentang teologi (ilmu kalam) saja, namun juga politik, tata negara dan pembinaan ekonomi umat. Kitab kuning atau turats berbicara tentang kaidah-kaidah kunci yang bisa dirujuk sebagai pondasi penalaran dan pemikiran untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan. Dengan melakukan hal ini kaum santri memiliki kesempatan besar untuk menggerakkan perubahan sosial dan perpolitikan di Indonesia.

Merupakan sebuah keharusan bagi santri untuk ikut berperan lebih dalam hal beragama, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat,  tidak dibenarkan bagi santri jika hanya melakukan perbaikan diri sendiri saja, perlu disadari bahwa mereka juga memiliki kewajiban melakukan perbaikan lingkungan sekitar dengan berbekal pengetahuan yang mereka lahap selama berada di pondok pesantren. Jika ada santri yang tidak berjuang, maka sama halnya mereka sedang melakukan kemaksiatan.

Dari pengalaman sejarah dan pengetahuan tersebut, santri dan warga lain akan merawat negeri dalam bingkai NKRI. Berdasarkan perjalanan panjang pascakemerdekaan, rongrongan terhadap kesatuan akan senantiasa muncul untuk mengoyak persatuan. Untuk itu, kebinekaan mesti dijaga dengan merawat kebersamaan dan kedaulatan bangsa dan negara.

Melalui momentum Hari Santri kali ini, mari kita jadikan sebagai pemicu untuk terus meningkatkan kecintaan kita terhadap NKRI, berada di garda terdepan dalam mengawal perdamaian, dan berada pada posisi paling depan sebagai relawan kemanusiaan. Santri adalah masa depan cerah Ibu Pertiwi. Selamat Hari Santri, 22 Oktober 2020. Indonesia Tangguh, Senyum Santri Tetap Teduh.(*)

***

*)Oleh: Idris Ahmadi, Mahasiswa Universitas Nurul Jadid; Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES