Kopi TIMES

Mengapa Omnibus Law UU Cipta Kerja menjadi Kontroversi?

Kamis, 22 Oktober 2020 - 18:39 | 215.86k
Dr. Lestari Nurhajati, M.Si.​​​​​​​, Dosen/Peneliti Institut Komunikasi Bisnis LSPR; Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).
Dr. Lestari Nurhajati, M.Si.​​​​​​​, Dosen/Peneliti Institut Komunikasi Bisnis LSPR; Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).

TIMESINDONESIA, JAKARTAOmnibus Law  pada UU Cipta Kerja akhirnya mendapatkan penolakan dari masyarakat Indonesia yang diekspresikan dengan tagar #tolakomnibuslaw di media sosial dan demonstrasi besar di berbagai kota di Indonesia yang melibatkan banyak elemen masyarakat, khususnya buruh,  mahasiswa dan para aktivis. Penulis mencatat ada beberapa faktor yang membuat Omnibus Law UU Cipta Kerja ini rentan penolakan.

Isu pertama Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah proses pembuatannya yang relatif sangat pendek. Hanya satu tahun. Gagasan pertama disampaikan idenya oleh presiden Joko Widodo pada  6 Oktober 2019, dan pada 4 Oktober 2020 sudah di ketok palu di DPR.  Masyarakat bertanya soal naskah akademik yang biasanya cukup rumit, namun prosesnya kok bergitu cepat. Apalagi tebalnya UU yang hingga 800 halaman lebih. Versi yang beredar di masyarakat pun berubah-ubah. Versi pertama 1028, yang awal ada di website DPR, lalu versi 905 halaman yang beredar sehari setelah DPR pada tanggal 4 Oktober malam. Kemudian ada versi 1052 halaman, dan juga ada versi 1035.

Kedua adalah  proses pembahasan yang juga sangat cepat, meskipun pengakuan anggota DPR mengatakan intensitasnya luar biasa. Namun lagi-lagi menimbulkan banyak pertanyaan ketika  dilakukan ketok palu tengah malam. Proses rapat dengar pendapat yang melibatkan masyarakat dan akademisi pun tidak terekspose di media, padahal dari sisi isi UU-nya sangatlah menarik untuk di beritakan media. Sehingga kondisi tersebut  diragukan transparasinya. 

Ketiga, berkaitan dengan konten. Omnibuslaw sendiri merupakan upaya untuk melakukan proses perubahan/amandemen UU yang sudah ada. Kali ini Omnibuslaw yang dibahas berkaitan dengan persoalan investasi, seperti gagasan presiden dari awal, untuk membuka lapangan kerja lebih luas. Pasal investasi ini menjadi sangat luas relevansinya. Semua unsur yang mengandung  upaya pengembangan investasi  jadi pembahasan, dan melibatkan berbagai kementerian yang ada di pemerintahan. Namun lagi-lagi tidak semua kementerian tampak paham atas keberadaan UU Cipta Kerja ini.

Keempat soal proses komunikasi publik yang berkaitan dengan latar belakang mengapa UU diperlukan. Termasuk kemampuan pemerintah melalui berbagai kementeriannya untuk  memberikan penjelasan pasal-pasal kontroversial.

UU Penyiaran yang Tak Kunjung Selesai

Kali ini penulis ingin menyoroti kontroversi Omnibus Law bagi dunia penyiaran Indonesia. Sejak tahun 2016 di DPR komisi I sudah ada pembahasan tentang RUU Penyiaran untuk menggantikan UU penyiaran No 32 tahun 2002. Berbagai kepentingan, termasuk kepentingan industri  media, menjadikan UU ini sangat lama, dan alot dalam proses pembahasannya. Tarik ulur antara pihak pemerintah dan DPR tampak kuat mewarnai upaya penyelesaian UU Penyiaran ini. Detil isian UU penyiaran No. 32 tahun 2020 dirasakan sudah tidak up to date lagi karena tidak adanya pembahasan berkaitan dengan sistem digital pada penyiaran Indonesia. Sehingga memang perlu diubah segera agar tidak ketinggalan zaman. 

Pada awal tahun 2020 RUU penyiaran oleh Komisi I DPR dinyatakan masuk dalam prioritas Program  Legislasi Nasional (Prolegnas), dan ini didukung oleh berbagai elemen sipil masyarakat yang melihat perlunya memperbaharui UU Penyiaran dengan memasukan tentang pentingnya aturan kepemilikan media yang akan mempengaruhi keragaman isi penyiaran, pengaturan tentang Iklan rokok di media penyiaran, pengaturan sistem penyiaran jaringan, dan berbagai peraturan  lainnya. 

Namun pada bulan Juni 2020, Badan Legislasi (Baleg) DPR menyatakan bahwa perlu dikaji ulang penting tidaknya RUU penyiaran ini masuk dalam Prolegnas. Situasi ini sudah jelas-jelas menunjukan betapa banyak kepentingan yang seolah-olah tidak menghendekai keberadaan UU Penyiaran yang demokratis dan memperhatikan kepentingan rakyat. Namun tiba-tiba dalam Omnibus law UU Cipta Kerja, masuk UU penyiaran yang diatur dengan sangat mendadak dan menghilangkan semua masukan dan gagasan dari masyarakat dan organisasi sipil penyiaran yang sangat concern atas isu ini.

Spirit keberadaan UU Penyiaran harusnya dilihat sebagai UU yang tidak sekadar membahas kepentingan industri medianya, namun lebih penting lagi pada kepentingan masyarakat Indonesia. Secara natural industri penyiaran harus dibedakan dengan keberadaan industri  barang/jasa secara umum lainnya. Bahkan seorang Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Hitler pada tahun 1933 sudah menyatakan pentingnya menguasai media penyiaran saat itu (radio) untuk menguasai dunia. Hingga saat ini pun terbukti para pemilik kekayaan terbesar di dunia adalah para penguasa media.

Penyiaran yang menggunakan ranah publik (public domain), menggunakan frekuensi milik publik,  haruslah benar-benar mengutamakan kepentingan publik. Apabila konglomerasi dan monopoli dari kepemiliki media penyiaran bisa dicegah maka penyiaran kita akan berhasil menciptakan keragaman kepemilikan (diversity of ownership). Semakin beragam pemilik media penyiaran maka keragaman isi (diversity of content), dan kebergaman pendapat di media(diversity of voice) dapat kita rasakan bersama. Di sinilah pentingnya fungsi regulator (pemerintah dan KPI) sebagai pengatur sistem kepemilikkan media,  yang dituangkan secara jelas dalam UU. Namun apa lacur, nilai-nilai ideal ini justru hilang tak berbekas di UU Cipta Kerja 2020 tersebut.

Pada akhirnya upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah melihat kembali keberadaan omnibus law dalam bentu UU Cipta  Kerja tersebut. Mengkaji ulang atas berbagai pasal yang dianggap memiliki potensi sangat kontroversial. Selain itu proses komunikasi, sosialisasi atas UU tersebut haruslah dilakukan secara terbuka, transparan, termasuk dengan segera menghadirkan bentuk UU tersebut yang bisa dikaji lebih mendalam oleh berbagai stakeholder yang memiliki kepentingan atas keberadaan UU Cipta Kerja tersebut.

***

*)Oleh: Dr. Lestari Nurhajati, M.Si., Dosen/Peneliti Institut Komunikasi Bisnis LSPR; Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES