Kopi TIMES

Budi Tinggi Alumni Gontor

Kamis, 22 Oktober 2020 - 16:00 | 412.05k
Yanuardi Syukur, Presiden Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia, Alumni Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta (1993-1999)
Yanuardi Syukur, Presiden Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia, Alumni Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta (1993-1999)

TIMESINDONESIA, JAKARTAKETIKA mendengar kepergian selamanya KH. Abdullah Syukri Zarkasyi (1942-2020), Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, saya jadi teringat masa-masa nyantri di Darunnajah, satu dari sekian banyak pesantren yang didirikan oleh alumni Gontor.

Di Darunnajah, nama Gontor, pesantren modern yang berdiri sejak 20 September 1926, sering sekali kita dengar. Bahkan, selain menghafal dan mempelajari mahfuzhat berbahasa Arab seperti man jadda wajada, "Siapa bersungguh-sungguh dapatlah ia", kita juga hafal mati kata-kata trimurti (satu dari tiga pendiri) Gontor KH. Imam Zarkasyi, "Hidup sekali, hiduplah yang berarti."

Warisan Budi Tinggi

Apa sebenarnya yang hendak dicapai lewat pendidikan modern seperti Gontor? Satu hal menurut saya adalah: budi tinggi. Bahasa umumnya: akhlak mulia. Sebesar keinsyafanmu, kata KH. Imam Zarkasyi, sebesar itu pula keuntunganmu. 

Insyaf berarti sadar diri, tahu diri, yang dengan itu seseorang mengembangkan kapasitas dirinya. Semakin tinggi kapasitas semakin tinggi juga keberuntungan seseorang. Siapa ingin beruntung, maka dia harus tahu diri yang dari situ akan mendorongnya untuk berbudi tinggi. 

Budi tinggi itu tercermin adalah motto Gontor nomor 1 yang itu menjiwai karakter 'manusia ideal' lainnya, yakni berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas. Empat karakter ini menjadi warisan nilai yang luar biasa dalam mencetak 'manusia gontor' yang siap berkontribusi pada dunia setelah tamat pendidikan. 

Berbudi tinggi disebut nomor satu sebagai lansadan utama agar semua orang--dari bawah sampai atas--mencontoh perihidup dari manusia mulia, Rasulullah saw. Kisah hidupnya menjadi teladan mulia tidak hanya bagi umat Islam tapi juga buat semua manusia. 

Berbadan sehat adalah nilai penting dalam diri seorang muslim. Jika sakit-sakitan pastinya seseorang tidak akan maksimal. Berbadan sehat dapat diwujudkan lewat olah raga rutin sesuai dengan minat masing-masing. Pas seperti kata penyair Romawi Decimus Junius Juvenalis, Mens sana in corpore sano, "di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat."

Santri Gontor juga harus berpengetahuan luas. Di Darunnajah yang juga menggunakan kurikulum Gontor, kita diajarkan untuk berwawasan luas. Kita tidak hanya belajar yang klasik tapi juga modern, tidak hanya tahu satu bidang tapi diajarkan untuk membuka wawasan pada berbagai bidang. Kita diajarkan untuk tahu banyak tapi tidak lepas dari budi tinggi, akhlak mulia.

Warisan berpikiran bebas juga sangat menarik. Tapi tidak diartikan bebas sebebas-bebasnya. Kebebasan dimaknai sebagai lambang kematangan dan kedewasaan berkat pendidikan yang diterangi oleh hidayatullah, petunjuk Allah swt. Kematangan itu membuat seorang alumni mampu hidup di mana saja, bisa beradaptasi, bahkan dapat menjadi yang terbaik pada bidangnya. 

Terkait ini, cerita novelis alumni Gontor Ahmad Fuadi menarik untuk dikutip: "Ketika saya nyantri di Gontor 1988-1992, petuah KH. Abdullah Syukri Zarkasyi selalu kami tunggu-tunggu. Temanya macam2: visi ke depan, nilai, travelogue melawat ke Amerika dll." 

Pidatonya itu bagai buayan bagi jiwa kami, kata Fuadi, dan "...ceritanya mengalir deras, menyetrum, menyemangati." Seingat saya, lanjut penulis Negeri 5 Menara tersebut, "Pak Syukri selalu membanggakan santrinya, membesarkan hati kami, dan kami selalu dianggap anak-anak terbaiknya." 

Di sini terlihat, bagaimana budi tinggi dipraktikkan oleh kiai kepada santrinya. Dia menyemangati para santri untuk mempraktikkan apa yang ditulis Asrul Sani dalam 'Surat dari Ibu': 

"Pergi ke dunia anak-anaku sayang
pergi ke hidup bebas!
Sesama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau."

Dan, setelah berhasil dalam perantauan, tak lupa para santri itu kembali untuk berbuat untuk negerinya, seperti kata Asrul Sani lagi:

"Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku!"

Membangun Indonesia dengan Pesantren

Pada sebuah pagi, dari Kramat Senen saya naik taksi ke Ulujami Raya 86 untuk bertemu Pimpinan Pesantren Darunnajah, KH. Mahrus Amin untuk wawancara. Ada satu hal yang beliau sampaikan dan masuk ke dalam kepala dan hati saya, yakni keinginan beliau untuk mendirikan 1000 pesantren. 

Walau belum tentu angka 1000 itu tercapai selama hidup, beliau meyakini bahwa angka itu adalah cita-cita untuk berdakwah lewat pesantren. Sebagai alumni Gontor, Kiai Mahrus Amin juga pasti terinspirasi dari ucapan Syekh Al-Azhar ketika berkunjung ke Gontor yang berharap di Indonesia ada 1000 Gontor. 

Saat ini, Gontor dengan segenap alumni dan pesantren alumni yang tersebar di mana-mana sesungguhnya telah mencukupi untuk disebut dengan angka 1000 dalam arti cita-cita. Tokoh bangsa Indonesia juga cukup banyak dari alumni Gontor dengan jaringannya. Dikenal atau tidak sebagai alumni Gontor di publik, mereka berkontribusi pada bidangnya masing-masing. 

Perjuangan lewat pesantren adalah kunci bagi kemajuan bangsa. Para pendiri Gontor yakin bahwa pendidikan merupakan kunci tegaknya marwah sebuah bangsa. Jika pendidikan bagus, lambat laun orang juga akan jadi bagus. Pekerjaan ini memang seringnya tidak terliput oleh media, akan tetapi dampaknya terasa dalam jangka panjang. 

Patah Tumbuh Hilang Berganti

Wafatnya KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, mengingatkan kita pada pepatah 'patah tumbuh hilang berganti' yang berarti 'mati satu tumbuh seribu'; 'seorang pimpinan wafat tidak meruntuhkan kepemimpinan tapi malah menginspirasi bagi lahirnya seribu pemimpin lainnya'. Gontor sebagai pesantren modern tertua di negeri ini sangat kaya dengan pemimpin. 

Ilmu merupakan hal penting yang perlu hadir dalam diri para pemimpin. Saat ini para alumni Gontor belajar di berbagai benua dan beraktivitas di berbagai sektor. Dengan ilmu dan pengalaman tersebut mereka dapat bermobilitas vertikal, menjadi pemimpin yang menyebarkan nilai budi tinggi dari Gontor. Pun dalam manajemen kepemimpinan pesantren yang semakin berkembang. 

Keikhlasan tidak bisa dilepaskan dari diri pemimpin. Ikhlas itu tidak terlihat tapi terasa. Orang ikhlas terasa banget bedanya dengan tidak ikhlas. Alumni Gontor diajarkan untuk ikhlas menjalani hidup dengan menjaga spirit perjuangan untuk membangun diri dan negeri. Mereka tidak bisa hanya pintar untuk dirinya. Mereka harus berkontribusi buat kampungnya, negerinya, bangsa dan negaranya. 

Belajar dari Alumni Gontor

Saya senang mempelajari karakter positif dari alumni Gontor untuk kemudian saya kembangkan. Saya melihat bagaimana sikap positif dari alumni Gontor seperti KH. Mahrus Amin dan KH. Sofwan Manaf--keduanya adalah pimpinan Darunnajah, serta teman-temanku. 

Waktu ikut AIMEP ke Australia, saya bersama Ahmad Saifulloh, pengajar Gontor yang tenang dan solutif. Rendah hati dan humoris, begitu karakter yang saya temukan dalam dirinya. Juga, tipikal petarung yang jarang mengeluh. Kini Saifulloh sementara menyelesaikan studi S3-nya di Sydney. 

Saat kuliah di Unhas, saya juga berguru pada Dodik Susanto, alumni Gontor yang bahasa Inggris Arab-nya luar biasa. Dodik satu tingkat di bawah saya akan tetapi lebih senior dari usia dan wawasan. Hafizh juga. Waktu tinggi di BTN Wesabbe, Tamalanrea, saya sering makan masakan buatan Dodik. Dia senang masak, dan senang berbagi masakannya. Hampir sama dengan Ahmad Saifulloh waktu di Sydney yang pernah buatin saya indomie.

Kesan personal dengan alumni Gontor tersebut mungkin bisa diteruskan juga yang lebih panjang. Bahkan, adik saya yang alumni Darunnajah juga menikah dengan alumni Gontor yang kini mengajar di pesantren di kampung kami, Tobelo, ibukota Kabupaten Halmahera Utara. 

Alumni Gontor atau alumni pesantren yang didirikan oleh alumni Gontor adalah aset berharga Indonesia yang harus terus tumbuh dan berkembang. Mereka telah dididik lewat pendidikan agama terbaik di negeri ini. Maka mereka harus tunjukkan kapasitasnya sebagai alumni yang tidak hanya siap memimpin tapi juga memancarkan budi tinggi pada semua tempat di mana mereka hidup.

Kepribadian Survival

Karakter survival juga harus ada dalam diri mereka sebagai kelanjutan dari pendidikan pesantren. Jangan seperti monyet makan manggis, begitu nasihat KH. Mahrus Amin tiap tahun dalam Khutbatul 'Arsy. Monyet itu jika makan manggis dia hanya merasakan kulit manggis yang pahit dan pekat, kemudian nggak sabaran dan bilang: manggis itu rasanya nggak enak. 

Padahal dia tidak tahu kalau dibuka lagi buah berwarna ungu kehitaman itu, ada daging buah yang tersusun dalam bentuk bilah kayak jeruk yang lezat. Daging buah berwarna putih susu itu rasanya enak banget; manis, asam, dan menyegarkan. Hidup juga begitu, selalu ada yang manis yang menunggu para pejuang. 

Mereka yang berkarakter survival itu bisa dan hanya bisa survive lewat rasa cinta kepada orang saleh, meski dirinya belum seutuhnya saleh. Rasa cintanya itu membuatnya terus belajar dan mengubah diri menjadi versi dirinya yang sempurna, versi insan kamil sebagaimana yang dipelajarinya dari ajaran agama. 

Karakter yang cinta pada orang saleh itu juga selayaknya menjadi nilai budi tinggi para alumni Gontor, santri semua pesantren, bahkan buat kita semua. Maka, menarik sekali untuk merenungkan senandung syair Imam Syafi'i--yang relevan untuk kita semua: 

أُحِبُّ الصَّـالِحِينَ وَلَسْتُ مِنْـهُمْ                     لَعَلِّي أَنْ أَنَـالَ بِـهِـمْ شَـفَاعَــــهْ
وَأَكْرَهُ مَنْ بِضَـاعَتُـهُ الْمَعَـاصِي                    وَإِنْ كُـنَّـا سَـوَاءً فِي الْبِـضَـاعَـــهْ

"Aku mencintai orang-orang saleh, 
meskipun aku bukan termasuk di antara mereka. 

Semoga bersama mereka 
aku bisa mendapatkan syafa’at kelak.

Aku membenci pelaku maksiat, 
meski aku tak berbeda dengan mereka." 

Depok, 22 Oktober 2020

 

***

*) Penulis adalah Yanuardi Syukur, Presiden Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia, Alumni Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta (1993-1999)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES