Kopi TIMES

Problematika UU Cipta Kerja di Sektor Ketenagakerjaan

Rabu, 21 Oktober 2020 - 05:16 | 188.46k
Anggi Alwik Juli Siregar Funder Partner The Jurisprudence Partner (TJP)  Law Firm  dan Wakil Ketua LPBHNU Kabupaten Tangerang
Anggi Alwik Juli Siregar Funder Partner The Jurisprudence Partner (TJP) Law Firm dan Wakil Ketua LPBHNU Kabupaten Tangerang

TIMESINDONESIA, TANGERANG – Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-undang oleh DPR pada Senin (5/10/2020) mendapat protes keras dari banyak kalangan.

Sebab UU Omnibus Law Cipta kerja akan merugikan rakyat banyak, terutama buruh/pekerja, merusak lingkungan, mengabaikan Hak Asasi Manusia dan lain sebagainya. Bahkan, Sejumlah lembaga dan aktivis mengeluarkan Mosi Tidak Percaya kepada Pemerintah dan DPR RI setelah disahkannya UU Cipta Kerja tersebut. 

Jika ditelisik lebih jauh, semangat meningkatkan iklim investasi dan perluasan kesempatan/lapangan kerja oleh pemerintah dengan disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja ini, belum diimbangi upaya peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh. Wajar, sejak awal banyak kalangan masyarakat sipil khususnya organisasi serikat buruh hingga kini menolak tegas UU tersebut.

Hal ini terlihat dalam UU Cipta Kerja cenderung lebih merugikan buruh/pekerja dibandingkan regulasi sebelumnya. Misalnya, dalam UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, ada puluhan pasal dicabut/dihapus atau diubah lewat UU Cipta Kerja ini.

Undang-undang Cipta Kerja ini menyasar banyak sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, salah satunya adalah sektor  ketenagakerjaan, dengan tiga Undang-undang yang terdampak. Tulisan ini hanya fokus kepada Sektor Ketenagakerjaan. Ada banyak norma yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja tersebut, tetapi beberapa point saja yang akan saya uraikan.

Pertama, Uang pesangon dikurangi. Dalam UU Cipta Kerja tersebut uang pesangon maksimal hanya dibayar 19 kali oleh pengusaha dan sisanya 6 bulan lewat Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, dalam UU 13 tahun 2003 uang pisah kerja yang diberikan bisa mencapai 32 kali. Pengurangan terhadap nilai pesangon, jelas-jelas merugikan kaum buruh.

Ketentuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar 6 bulan upah tidak logis. Dari mana sumbernya? Selain itu, karena dalam UU Cipta Kerja buruh kontrak dan outsourcing  bisa seumur hidup, maka besar kemungkinan tidak ada pengangkatan karyawan tetap. Dengan sendirinya pesangon akan hilang, tidak lagi didapatkan buruh.

Kedua, UMP, UMK, UMKS dan UMSP dihapus. Padahal Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengatur hal tersebut. Jika UMSK dan UMSP dihapus, tidak adil. Sebab semua sektor perusahaan nilai upah minimumnya sama. Itulah sebabnya, di seluruh dunia Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara. hal lain dalam UU Cipta kerja tersebut adalah UMK ditetapkan bersyarat yang diatur kemudian dalam peraturan yang lebih rendah. 

Hal ini hanya alasan bagi pemerintah untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di pemerintah. Padahal dalam UU 13 tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat. 

Ketiga, Hak Cuti hilang dan tidak ada kompensasi. Dalam UU 13 Tahun 2003 Pasal 79 ayat (2) huruf d diatur secara tegas, bahwa pengusaha harus memberikan hak cuti panjang selama dua bulan kepada buruh yang sudah bekerja selama 6 (enam) tahun. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, cuti panjang tidak lagi menjadi kewajiban pengusaha. Begitupun dengan cuti haid, Pasal 81 UU 13 tahun 2003 mengatur pekerja/buruh perempuan bisa memperoleh libur pada saat haid hari pertama dan kedua saat haid.

Sementara itu dalam UU Cipta Kerja tidak mencantumkan ha cuti haid bagi perempuan. Bahkan di UU Cipta kerja tersebut tidak memberikan cuti hamil-melahirkan, padahal dalam UU 13 tahun 2003 Pasal 82 mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran.

Keempat, outsourcing bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan tanpa terkecuali. Di dalam Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 Outsourcing harus memenuhi syarat-syarat yaitu, dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Sedangkan UU Cipta Kerja justru menghapus Pasal 65 UU 13 Tahun 2003 yang memberikan batasan outsourcing, sehinga outsourcing bisa bebas di semua jenis pekerjaan.

Hal lain, dalam UU 13 Tahun 2003, outsourcing hanya dibatasi di 5 (lima) jenis pekerjaan, sesuai dengan Pasal 66 Ayat (1): Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Tetapi dalam UU Cipta Kerja, Pasal 66 ayat (1) tersebut dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan bisa di outsourcing. Seharusnya Outsourcing dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu, dan tidak boleh seumur hidup, atau kembali sesuai UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ketika outsourcing dibebaskan, berarti tidak ada job security atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Hal ini menyebabkan hilangnya peran negara untuk melindungi buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.

Tahun 2020 saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sekarang berkisar 70 persen sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, bisa saja karyawan tetap hanya tinggal 5 persen.

Kelima, Karyawan Kontrak tidak ada lagi batasan waktu. Dalam perubahan Pasal 59 UU 13 2003 di UU Cipta Kerja, tidak lagi diatur mengenai berapa lama kontrak (PKWT) harus dilakukan. Sehingga bisa saja terjadi PKWT seumur hidup. Seharusnya tetap ada batas waktu kontrak bagi pekerja kontrak atau PKWT. Jika hal ini diterapkan, maka buruh Indonesia tidak memiliki kepastian terhadap masa depan. Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi karyawan tetap, karena pengusaha cenderung akan mempergunakan karyawan kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja.

Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sebesar 60 persen hingga 75 persen tanpa kepastian kerja, upah rendah, tidak ada jaminan sosial. Data ini hasil survei FSPMI bersama lembaga nirlaba jerman FES di tiga propinsi yaitu Jabar,  Jatim, Kepri.

Keenam, Perusahaan bisa mem-PHK kapan-pun secara sepihak. Hal yang paling krusial adalah perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak, dalam UU Cipta Kerja tidak lagi dikategorikan batal demi hukum dan upah selama proses perselisihan PHK tidak dibayar. Hal ini bisa terjadi karena ketentuan tersebut sudah dihapus dan tidak ada lagi di UU Cipta Kerja.

Padahal Pasal 55 UU 13 tahun 2003 menjelaskan; (1) pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum, (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

UU Cipta Kerja juga mempermudah PHK, hal ini terlihat dalam Pasal 154 A, khususnya ayat (1) huruf b dan i. pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: perusahaan melakukan efisiensi, dan pekerja/buruh mangkir. Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi sudah memberikan putusan bahwa PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen.

Dengan pasal ini, bisa saja perusahaan melakukan PH dengan alasan efisiensi meskipun tidak bangkrut. Selain itu, dalam omnibus law PHK bisa dilakukan karena buruh mangkir (tanpa dijelaskan berapa lama mangkir, sehingga bisa hanya 1 hari) . Padahal dalam UU 13 Tahun 2003 PHK karena mangkir hanya bisa dilakukan setelah mangkir 5 hari berturut-turut dan dipanggil minimal 2 kali secara tertulis.

Ketujuh, UU Cipta Kerja menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin. Di mana dalam Pasal 42 Ayat (1) UU 13 tahun 2003 disebutkan: Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Tetapi dalam UU Cipta Kerja diubah dengan hanya memiliki pengesahan RPTKA. Tidak lagi memerlukan izin seperti dalam aturan sebelumnya. Jelas ini akan mempermudah Tenaga Kerja Asing (TKA) masuk. Apalagi praktiknya, saat ini saja Tebaga Kerja Asing unskill sudah banyak yang masuk.

Tetapi Omnibus Law dalam perubahan terhadap Pasal 42 Ayat 1UU 13 Tahun 2003 hanya mewajibkan pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat.

Melihat beberapa permasalahan yang terdapat di dalam UU Cipta Kerja terhadap sektor Ketenagakerjaan, maka sudah seharusnya pemerintah mencabut/membatalkan UU tersebut karena tidak memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak perlu di Judicial Review Ke Mahkamah Konstitusi, percuma. Sebab Presiden saat mengajukan Omnibus Law, meminta dukungan MK, dengan demikian tidak mungkin MK mau mengabulkan JR tersebut.

Salah satunya jalan adalah mendesak Pemerintah dan DPR untuk mencabut UU tersebut, kalau tidak gerakan sosial masyarakat sipil terus masif, Pembangkangan Sipil perlu dilakukan. 

***

*)Oleh: Anggi Alwik Juli Siregar Funder Partner The Jurisprudence Partner (TJP)  Law Firm  dan Wakil Ketua LPBHNU Kabupaten Tangerang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES