Kopi TIMES

Ruang Parlemen Mahasiswa dan Catatan untuk Para Demonstran

Selasa, 20 Oktober 2020 - 17:16 | 44.64k
Galan Rezki Waskita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang)
Galan Rezki Waskita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang)

TIMESINDONESIA, MALANG – Berbicara mahasiswa memang tidak akan ada habisnya. Mereka adalah kader masyarakat yang memikul tanggung jawab atas Tri Dharma perguruan tinggi. Keberadaannya merupakan bagian penting yang harus tetap hidup dalam keberlangsungan bernegara. Ruang kelas dan jalanan merupakan kantor akademik yang tidak boleh mereka ditinggalkan. 

Dunia mahasiswa adalah periode keilmuan yang terwariskan. Di dalamnya berkembang pesat diskusi dan empati perkara sosial politik. Sangat wajar bila tradisi ini akhirnya menjelma sebagai sebuah parlemen di luar sisitem kenegaraan. Kesamaan hak dalam demokrasi menuntut mereka lantang berbicara, tegas dalam gagasan dan ideal dalam gerakan. 

Sebagaimana sebuah dewan perwakilan bergerak, mahasiswa sudah semestinya matang dalam bacaan  konflik sosial. Sehingga manakala kritik dimunculkan, mereka akan datang berbarengan dengan solusi. Tentunya untuk melancarkan hal ini, mekanisme aksi harus mampu diberlakukan dengan cara yang benar.

Namun rupanya untuk beberapa hari terakhir, terjadi kekeliruan dalam menjalankan sikap politik ditengah masyarakat. Mosi tidak percaya terhadap DPR yang menolak undang-undang cipta kerja berujung ricuh. Banyak fasilitas umum yang rusak dan dibumi hanguskan.

Pada 8 Oktober kemarin, Halte Transjakarta Sarinah dibakar massa. Di hari yang sama penjarahan terjadi di Kantor Kementrian ESDM. Sementara di Yogyakarta, Malang, Makassar dan beberapa kota yang lain, kantor DPRD dikepung sampai mengalami bentrokan.

Jika berada pada hitungan rasio, kondisi demikian berpotensi menjadi bumerang bagi masyarakat. Tentunya untuk melakukan revitalisasi, pemerintah akan memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar. Sementara pembiayaan tersebut juga akan dibebenkan pada rakyat. 

Kenyataannya, tidak ada keadilan yang bisa diperoleh dengan cara melanggar hukum. Pasal 406 KUHP juga sebenarnya telah menegaskan ancaman pidana. Barang siapa melakukan pengrusakan fasilitas umum maupun hak milik orang lain akan dikenakan kurungan penjara maksimal 2 tahun 8 bulan. 

Mahasiswa sebagai negarawan muda harus benar-benar mengerti tekait persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, gerakan sosial yang digalang akan memiliki pondasi yang kuat. Utamanya bahasan hukum, landasan cultural dan ideologis perlu digali untuk menemukan substansi hukum itu sendiri. Takaran ini perlu dipahami sebagai tolak ukur suatu tindakan. 

Rapat paripurna mahasiswa perlu menciptakan keterbukaan pikiran sehingga melahirkan  kesatuan  pandangan. Haruslah diperjelas bahwa rakyat bermasalah pada anggota dewan secara personal. Masyarakat harusnya bersoal pada kebijakan, bukan pada kebendaan. DPR adalah nama sebuah lembaga dan gedung serta fasislitas lain adalah infrastruktur. 

Memang benar bahwa banyak orang di DPR tidak bergerak atas nama lembaga melainkan atas kepentingan individu dan golongan. Maka tuntutlah mereka sebagai individu dan golongannya masing-masing. Tidak mungkin jika rakyat tidak mengenal figur-figur yang mereka pilih dengan sendirinya.

Namun dari yang terjadi, nampaknya ada catatan notulen yang tertinggal di ruang sidang mahasiswa. Tulisan itu sekiranya berbunyi “no vandalisme,  no anarkisme and don’t doing crime”. 

Jika menarik ke belakang, Undang-Undang Cipta Kerja telah lama dibahas oleh DPR. Selama itu pula pemerintah tidak cukup baik dalam memberikan penerangan pada masyarakat. Terlebih pengesahan undang-undang ini terkesan memanfatkan situasi covid yang menganggap tidak akan ada penolakan massa akibat PSBB.

Dalam rentang waktu tersebut, demonstrasi tetap berlangsung. Namun gerakan yang terbentuk masih terjadi dalam skala kecil. Kondisi inipun bisa dianggap bahwa sebagian masyarakat tidak benar-benar melihat undang-undang ini sebagai ancaman. Oleh karena itu, dapat dipertanyakan pula terkait ledakan massa yang seolah menunggu waktu pengesahan. 

Lebih jauh, praktik ini secara tidak langsung menegaskan bahwa sebagian dari mereka yang turun jalan belum memahami materi tuntutan. Akhirnya, seorang puber nasionalis lebih senang disebut sebagai demonstran dibandingkan aktivis pembawa perubahan. Perangai ini sangat memungkinkan pemerintah mengeluarkan mosi tidak percaya pada rakyatnya. 

Sebuah pemikiran psikologi komunikasi menyebutkan bahwa massa adalah kelompok orang yang sangat mudah terprovokasi. Kondisi lapangan yang memanas sangat rentan menjadi tindakan anarkis. Jika satu ajakan melakukan pelemparan dilontarkan, maka secara psikologi orang yang lain akan turut  melakukannya.

Untuk itulah suatu pembacaan menjadi begitu penting sebelum melancarkan aksi, termasuk mengenal  potensi masalah dan siapa massa yang dibawa. Mahasiswa harus mengedepankan sisi akdemisnya sebagai sebuah identitas dan jati diri. (*)

***

*) Oleh : Galan Rezki Waskita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES