Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Tiada Henti “Saling Mencintai”

Selasa, 20 Oktober 2020 - 09:40 | 47.90k
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Pengurus AP HTN-HAN.
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Pengurus AP HTN-HAN.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – “Bakat yang biasa-biasa dibarengi kegigihan luar biasa akan membuat seseorang mampu mencapai prestasi luar biasa” demikian ungkap  FX Burton, yang merupakan spirit bagi bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia untuk membangun dan menunjukkan  serta “melejitkan” prestasi.

Kita sejatinya paham, bahwa kegigihan menjadi kata kunci yang menentukan prestasi. Tanpa ada kegigihan, prestasi luar biasa tak akan bisa dicapai dan obsesi besar hanya tinggal dalam mimpi.  Kegigihan di era pandemi Covid-19 ini harus ditunjukkan dengan cara “tiada henti saling mencintai”, pasalnya dukungan dari kekuatan subyek social, ekonomi, dan lainnya dari pihak lain sangat menentukan.

Kegigihan memang menjadi syarat utama mempertemukan dan mewujudkan dunia ide (das seollen) menjadi dunia nyata (das sein). Apa yang semula hanya dalam ranah “teori” bisa beralih dan membumi ke dalam ranah realita  berkat kegigihan yang ditunjukkan setiap subyek edukasi, ekonomi, politik, agama, dan sector-sektor strategis lainnya. Meski demikian, di tengah “ujian serius” ini, semangat dan aksi “saling mencintai tiada henti” adalah nyawa yang luar biasa.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bangsa itu akan menjadi hebat, menuai kemajuan, dan pencerahannya jika setiap segmen bangsanya punya jiwa mujahadah, yakni ada usaha keras, ada kerja giat, ada sikap tidak pantang menyerah, ada kreasi, ada inovasi, dan selalu berusaha untuk mewujudkan prestasi.

Dalam upaya mewujudkan prestasi tertinggi, seseorang atau setiap bangsa tidak perlu daan tidak boleh takut jika dalam pekerjaan atau aktifitasnya itu, ternyata di ada kekurangan dan kesalahan  saat sekarang atau di kemudian hari. Beragam tantangan mesti dihadapi setiap diri manusia. Tanpa ada tantangan atau ujian, tidak mungkin ada pencapaian yang brilian atau menakjubkan.

Kekurangan dan kesalahan adalah pemicu dan tantangan untuk menggairahkan suasana kerja menjadi lebih kondusif dan progresif. Ijtihad dengan resiko salah atau keliru, masihlah tetap dihargai oleh Allah SWT dengan “satu pahala”, apalagi jika ijtihad ini menghasilkan atau memproduk nilai-nilai kebenaran dan keberpihakan terhadap kemaslahatan public, maka tentulah kadar kemanfaatannya akan sangat besar

Kenapa ijtihad salah itu masih dihargai oleh Tuhan? Karena dari ijtihad itu menunjukkan adanya pergulatan keras dan “cerdas” antara nalar (pikiran) dengan pengerahan kekuatan fisik untuk meraih sesuatu yang baik dan berguna bagi kemaslahatan publik.

Dari ijtihad itu, ada energi dan kemampuan rasio yang disinerjikan untuk melahirkan pembaharuan, membongkar kejumudan, mendekonstruksi stagnasi, dan mewujudkan reputasi.  Kalau kondisi idealitas ini bisa terlahir dan terbentk, maka akan banyak pencapaian yang bermakna bagi masyarakat dan bangsa.

Kalau seseorang atau bangsa gampang menyerah dengan tantangan, ujian, atau hambatan yang membentang, maka label bangsa prustasi demikian ini layak disebut sebagai bangsa lembek (soft-nation) atau masyarakat “miskin” kegigihan, sehingga stigmatisasi masyarakat impoten sangat logis.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bangsa dan masyarakat seperti itu akan sulit dijadikan sebagai modal atau investasi jangka panjang guna meraih pencerahan di negeri ini. Indonesia ini memerlukan banyak sumberdaya manusia yang gigih membuka peluang dan mengembangkan  (mengkreasikan) peluang yang didapatnya

Torehan tinta emas atau hadirnya orde keemasan (golden era) di umat Islam terdahulu adalah tidak lepas dari perannya yang tak kenal surut dalam melakukan ijtihad.  Dari ijtihad yang terus digalakkannya, meski diantara karya-karya pendahulu ini ada yang dipertanyakan keautentikannya oleh generasi kemudian, atau apapun hasil karyanya (meski ada kesalahan/kekurangan), tetaplah oleh sejarah ditulis sebagai manusia-manusia unggul yang sudah “memberi yang terbaik” untuk masyarakat peradaban dunia.

Kemampuan suatu negara atau bangsa untuk keluar dari krisis atau akumulasi penyakit yang mengidapnya sebenarnya sangat tergantung pada kualitas manusianya. Kalau sampai hari ini sebagian manusia Indonesia masih berkubang dalam krisis,  barangkali  mereka  harus mendekonstruksi mentalitas “lembeknya” menuju mentalitas gigihnya untuk melakukan banyak perubahan melalui penguatan kegigihannya.

Sebagai sampel, daerah-daerah yang lebih mudah disulut supaya rusuh ternyata setelah diinvestigasu berada pada daerah-daerah dengan kadar mentalitas (kinerja) penduduk lebih rendah dibandingkan yang lain. Misalnya Kerala di India, merupakan propinsi yang relatif paling aman, karena indeks pembangunan manusianya paling tinggi dibanding propinsi lainnya di India.

Kualitas moral, ketrampilan,  dan intelektual manusia di propinsi tersebut telah terbukti menjadi jaminan stabilitas social, karena masing-masing individu tidak mudah digoyahkan mentalitasnya oleh sekelompok orang yang mengemas tangan-tangan kotor dan kejinya.

Kritik atas kualitas SDM bangsa ini, seharusnya memacu kita untuk bersaing atau berlomba meninggikan prestasi dan bukan memelihara dan melestarikan sifat-sifat prustasi. Sifat prustasi atau gampang menyerah dengan tantangan hanyalah menjadi penyakit serius yang menghambat terwujudnya prestasi besar yang semestinya bisa dicapai di masa kini dan mendatang.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Pengurus AP HTN-HAN.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES