Kopi TIMES

Penduduk Miskin Istimewa di Daerah Istimewa

Jumat, 16 Oktober 2020 - 20:43 | 112.76k
Eri Kuntoro, SST, M.Si, Fungsional Statistisi Muda, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.
Eri Kuntoro, SST, M.Si, Fungsional Statistisi Muda, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.

TIMESINDONESIA, BANTUL – Angka kemiskinan dan ketimpangan saat ini sering digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Penurunan capaian dari dua indikator tersebut berpotensi menganggu proses pembangunan. Bahkan menurut penelitian Bank Dunia (2016) di Indonesia, daerah dengan ketimpangan tinggi mempunyai potensi konflik 1,6 kali lebih tinggi dibandingkan daerah dengan ketimpangan rendah.

Provinsi DI Yogyakarta yang identik dengan provinsi yang nyaman, kondusif dan berbudaya sudah selayaknya mewujudkan pembangunan yang berkeadilan untuk mengentaskan kemiskinan. Namun ternyata angka ketimpangan dan kemiskinan DIY masih tergolong tinggi.

Dari rilis Badan Pusat Statistik Provinsi DIY (15/07/2020) diketahui bahwa ketimpangan pengeluaran Provinsi DIY pada bulan Maret 2020 merupakan yang tertinggi di Indonesia dengan nilai rasio gini sebesar 0.434. Begitu pula dengan persentase penduduk miskin DIY juga merupakan yang tertinggi se-Pulau Jawa yaitu sebesar 12.28 persen. Kondisi tersebut diperkirakan akan kembali memburuk karena angka tersebut dikumpulkan pada awal-awal pandemi covid-19.

Setelah bulan Maret dipastikan pandemi akan memberikan dampak lebih buruk terhadap ketimpangan dan kemiskinan. Berkurangnya pendapatan akibat pandemi sudah jelas berdampak negatif pada kualitas penghidupan masyarakat di semua kelas ekonomi. Apabila penurunan pendapatan di masyarakat kelas bawah (kuintil 1 dan 2) lebih cepat dan besar dibandingkan kelas atas maka dipastikan ketimpangan akan semakin melebar. 

Miskin namun SDM berkualitas dan Bahagia

Tingginya ketimpangan dan kemiskinan di Provinsi DIY merupakan sebuah ironi karena beberapa indikator sosial ekonomi yang lain menunjukkan performa yang baik seperti indeks kebahagiaan, IPM, tingkat pengangguran dan rata-rata upah buruh.  Dari hasil SPTK (Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan) yang dilakukan BPS pada tahun 2017 terlihat bahwa Indeks kebahagiaan Provinsi DIY sebesar 72,93 dari skala 0-100, sekaligus menjadikan DIY provinsi dengan penduduk paling bahagia ke -8 di Indonesia.

Apabila dilihat dari kualitas sumber daya manusia, Provinsi DIY merupakan yang terbaik kedua secara nasional dibawah DKI Jakarta. Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) DIY pada tahun 2019 sebesar 79,99, jauh diatas nilai rata-rata nasional yang hanya sebesar 71,39. Tingkat pengangguran terbuka di DIY juga paling rendah diantara provinsi-provinsi di Pulau Jawa yaitu hanya 3.38 persen pada bulan Februari 2020. Rata-rata upah buruh juga telah mencapai 2,46 juta rupiah, jauh diatas UMR yang hanya sebesar 1,7 juta rupiah. 

Spekulasi penyebab Ketimpangan dan Kemiskinan Tinggi

Ketimpangan dan kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang saling terkait. Jarak ekonomi antara penduduk miskin dengan kelas diatasnya yang lebar bisa berdampak pada tingginya angka ketimpangan. Kondisi inilah yang terlihat di Provinsi DIY dimana pola konsumsi penduduk ekonomi bawah cenderung stagnan tidak linear dengan pendapatan yang diperoleh.

Hal ini berbeda dengan pola konsumsi kalangan atas yang cenderung meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup. Kondisi ketimpangan yang tinggi di Provinsi DIY memunculkan sejumlah spekulasi mengenai penyebab fenomena ini. Beberapa argumentasi mencoba menjelaskan tingginya ketimpangan di Jogja dari sudut pandang budaya. 

Budaya masyarakat asli Jogja yang cenderung hemat (bahasa Jawa:"gemi") dan gemar berinvestasi (menabung) sering menjadi alasan penjelas dari tingginya angka kemiskinan. Saat ini garis kemiskinan yang memisahkan penduduk miskin dan tidak miskin diukur dari konsumsi makanan dan non makanan, tidak memperhitungkan tabungan yang dimiliki.

Sementara itu penjelasan pola konsumsi dari kalangan atas dapat dilihat dari status Yogyakarta sebagai kota pelajar yang menyebabkan masuknya pendatang (mahasiswa) dengan status ekonomi tinggi. Pendatang ini cenderung mempunyai gaya hidup yang konsumtif (hedonis) dibandingkan penduduk asli Jogja. Bahkan kemunculan hotel-hotel bintang di Jogja juga dijadikan kambing hitam penyebab ketimpangan yang lebar antara si kaya dan si miskin. 

Sudut Pandang Metodologi Penghitungan

Ketimpangan selayaknya memang diukur melalui pendekatan pendapatan. Namun di negara berkembang hal tersebut sulit dilakukan karena berkaitan dengan status pekerjaan penduduknya yang umumnya adalah berusaha sendiri tanpa dibantu pekerja (self-employment) dengan lapangan kerja sektor pertanian dan berjenis informal. Pendapatan penduduk dengan status pekerjaan self employment tersebut cenderung sulit diukur. Selain itu pengumpulan data pendapatan pada suatu survei cenderung underestimate, umumnya masyarakat lebih terbuka menjawab pertanyaan pengeluaran yang dilakukan dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. 

Memang terkadang suatu metode relatif tajam mengukur suatu fenomena pada suatu daerah namun cenderung tumpul di daerah lain terutama di daerah dengan karakteristik khusus. Sama halnya dengan kasus penghitungan ketimpangan yang diukur dari sisi pengeluaran yang diterapkan di Provinsi DIY. Umumnya pengukuran ketimpangan dan kemiskinan cenderung lebih baik dilakukan dengan pendekatan pengeluaran. Namun pada kasus Provinsi DIY, pendekatan pengeluaran rupanya kurang bisa menangkap budaya hemat yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat DIY. 

Budaya hemat yang dilakukan masyarakat DIY biasanya juga diikuti dengan tingginya investasi yang dilakukan. Bahkan pada rumah tangga miskin, mereka rela untuk menekan konsumsinya demi bisa membiayai perawatan ternak mereka yang merupakan tabungan masa depan.

Investasi atau aset berupa ternak, tanah dan barang berharga ini tidak masuk dalam penghitungan kemiskinan dan ketimpangan. Untuk melihat data ketimpangan dan kemiskinan di daerah dengan pola konsumsi masyarakatnya yang unik seperti Provinsi DIY memang perlu hati-hati dan perlu menyandingkan dengan data-data pelengkap seperti data kepemilikan aset penduduk.

***

*)Oleh: Eri Kuntoro, SST, M.Si, Fungsional Statistisi Muda, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES