Pemerintahan

Evaluasi 3 Tahun Gubernur Anies Baswedan, PSI Beberkan 10 Kemunduran Pemprov DKI

Jumat, 16 Oktober 2020 - 16:39 | 86.88k
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (FOTO: Suara)
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (FOTO: Suara)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sudah 3 tahun berlalu sejak Anies Baswedan dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 16 Oktober 2017. Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta menilai kepemimpinan Gubernur Anies setidaknya membawa 10 kemunduran di Pemprov DKI Jakarta.

“Yang dimaksud kemunduran bisa berarti dua hal. Pertama, kemunduran yang dinilai dari kondisi saat ini dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kedua, membandingkan apa yang telah dicapai dengan potensi yang dimiliki oleh Pemprov DKI," kata Idris Ahmad, Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta.

10 kemunduran tersebut antara lain:

1) Pembahasan anggaran terlambat, bahkan terkesan ditunda-tunda.

Pembahasan rancangan APBD 2021 sudah terlambat lebih dari 3 bulan, sehingga hanya tersisa 1,5 bulan untuk membahas puluhan ribu mata anggaran. RKPD 2021 sudah selesai diinput ke sistem e-budgeting, sehingga seharusnya tidak ada alasan untuk menunda pembahasan anggaran. Dengan situasi seperti ini, dikhawatirkan pembahasan akan terburu-buru sehingga banyak pos anggaran yang tidak sempat dibedah, lalu terjadi masalah hukum atau ketidakpuasan masyarakat di kemudian hari.

2) Transparansi anggaran buruk, pada saat perencanaan maupun realisasinya.

Sejak 2017, Pemprov DKI telah memulai tradisi yang baik dengan membuka rancangan anggaran hingga tingkat rincian harga komponen anggaran melalui website apbd.jakarta.go.id sejak fase RKPD, yaitu pada bulan Juni atau Juli tahun sebelumnya. Di situ masyarakat bisa mencermati rencana anggaran tahun depan, lalu terlibat aktif memberikan saran dan masukan selama masa pembahasan anggaran.

Namun, pada masa Gubernur Anies, dokumen anggaran hanya dibuka setelah Gubernur dan DPRD selesai melakukan pembahasan dan bersepakat. Artinya, warga hanya mengetahui anggaran setelah selesai dibahas, sehingga tidak memiliki ruang untuk menyampaikan saran dan masukan.

Selain itu, sekitar 4 bulan yang lalu Pemprov DKI mematikan website dashboard.bpkd.jakarta.go.id dengan alasan sedang maintenance. Melalui website ini warga bisa memantau realisasi anggaran tiap dinas secara real time. Karena website ini ditutup, maka kebocoran anggaran akan semakin susah terdeteksi oleh publik.

3) Nasib dana commitment fee Formula E Rp 560 M masih belum jelas.

Pemprov DKI telah menyetorkan uang commitment fee Rp 360 miliar dan Rp 200 miliar kepada panitia Formula E. Sementara, penyelenggaraan Formula E tahun 2020 dibatalkan, sedangkan untuk 2021 serba tidak pasti. Namun demikian, belum terlihat kesungguhan niat dari Gubernur Anies untuk mengembalikan uang Rp 560 miliar tersebut. Tindakan itu kontras dengan pemotongan tunjangan PNS tahun 2020 sebesar 50% karena defisit anggaran.

Perlu dipahami bahwa dibutuhkan anggaran yang cukup besar untuk menangani pandemi Covid-19. Mulai dari pelaksanaan tes swab, penyediaan tempat isolasi, pelayanan rumah sakit, hingga bantuan sosial bagi warga. Di tengah kondisi perekonomian sedang sulit akibat pandemi Covid-19, PSI menyayangkan Gubernur Anies tidak memiliki sense of urgency dan kemauan untuk mengelola anggaran secara cermat dan hemat.

4) Prioritas anggaran tidak jelas.

Di APBD 2020, contoh buruknya prioritas anggaran di Pemprov DKI bisa dilihat pada besarnya anggaran event yang mencapai Rp 1,5 triliun (termasuk Formula E Rp 1,2 triliun). Bahkan, demi Formula E, Gubernur Anies memotong anggaran pembangunan sekolah dan gelanggang olahraga masing-masing sebesar Rp 455,4 miliar dan Rp 320,5 miliar.

Di sisi lain, anggaran sangat minim untuk normalisasi dan tanggul pantai guna mengatasi banjir, pembangunan Light Rail Transit (LRT), dan infrastruktur air bersih. Bahkan, belakangan anggaran pembangunan LRT dan air bersih dihapus akibat defisit APBD.

Selain itu, di dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menggunakan pinjaman dari Kementerian Keuangan, tidak ada pula kegiatan pembangunan normalisasi sungai, tanggul pantai, LRT, dan air bersih. Padahal kegiatan-kegiatan ini sangat dibutuhkan warga Jakarta.

5) Normalisasi sungai mandek selama 3 tahun.

Program normalisasi sungai direncanakan sepanjang 33 kilometer (km). Hingga 2017, sudah dilakukan normalisasi sungai sepanjang 16 km. Akan tetapi, dari 2018 hingga 2020 tidak ada kegiatan normalisasi sungai.

Pada tahun 2020 telah dilakukan pembebasan lahan saluran air 8,2 km. Namun demikian, tidak jelas apakah pada 2021 telah dialokasikan anggaran normalisasi sungai pada lahan 8,2 km tersebut.

6) Realisasi naturalisasi sungai 0%

Pada saat kampanye Pilkada, Gubernur Anies menelurkan gagasan naturalisasi sungai yang dianggap sebagai solusi ideal untuk menyelesaikan masalah banjir. Di berbagai kesempatan, misalnya yang terbaru saat rapat pembahasan penanganan banjir bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang pada 7 Juli 2020, Gubernur Anies menjelaskan bahwa naturalisasi berarti mengganti dinding sungai dari beton menjadi kawasan hijau untuk melindungi ekosistem.

Di sisi lain, di akun instagram pada 26 September 2020, Gubernur Anies memamerkan hasil naturalisasi sungai di Kanal Banjir Barat (KBB) segmen Sudirman-Karet. Namun, proyek ini berbeda dengan konsep yang dipaparkan oleh Gubernur Anies. Pasalnya, proyek di KBB tersebut berupa perkerasan beton untuk tempat nongkrong dan spot selfie. Sama sekali tidak ditemukan aspek pencegahan banjir dan perlindungan ekosistem di situ.

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa progres naturalisasi sungai masih 0%. PSI berharap agar Gubernur Anies untuk bersikap jujur dalam menyampaikan informasi kepada publik.

7) Realisasi program DP 0 Rupiah hanya 0,26%.

Saat awal menjabat, Gubernur Anies menargetkan penyediaan 300.000 rumah selama 5 tahun (detik.com, 1 Februari 2018), atau 60.000 rumah per tahun. Namun, 3 tahun berselang hanya tersedia 780 rumah atau hanya 0,26% dari target. Dari angka tersebut, jumlah yang dihuni hanya 278 unit. PSI mempertanyakan apakah Gubernur Anies benar-benar memiliki kemauan untuk menjalankan program DP 0 Rupiah.

8) Pembangunan Light Rail Transit (LRT) fase 2 masih 0%.

Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), pembangunan LRT direncanakan sekitar 110 kilometer yang terbagi dalam 7 rute. Selain RPJMD, proyek ini juga tercantum di dalam  Peraturan Presiden (Perpres) no. 55 tahun 2018 tentang rencana induk transportasi Jabodetabek tahun 2018-2029 dan Perpres no. 56 tahun 2018 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN).

Pembangunan LRT fase 1 yang dimulai 22 Juni 2016 hingga awal 2019 telah merampungkan rute perintis Kelapa Gading-Velodrome 5,8 kilometer dan bangunan depo yang mampu menampung kereta untuk seluruh rute LRT.

Di masa Gubernur Anies, pembangunan LRT fase 2 tidak kunjung dimulai. Padahal, bisa dilihat bahwa proyek ini memiliki dasar hukum yang kuat dan sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan, sehingga tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda. Dengan demikian, PSI mempertanyakan komitmen Gubernur Anies untuk menyediakan transportasi massal berbasis rel di Jakarta.

9) Mandeknya penyusunan perda-perda tata ruang, termasuk yang mengatur pulau-pulau reklamasi.

Daftar perda tata ruang yang harus dibahas adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Selama 3 tahun, Gubernur Anies tidak menyerahkan rancangan perda-perda tersebut. Akibat dari mandeknya pembahasan perda-perda ini adalah mengganggu pengembangan Jakarta dan akan berdampak pada perizinan.

Salah satu akibat dari mandeknya penyusunan peraturan daerah (perda) ini adalah pada Juni 2019 Gubernur Anies menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk 1.000 lebih bangunan di Pulau C dan D hanya memakai Peraturan Gubernur (Pergub) no. 206 tahun 2016, padahal seharusnya izin tersebut diperkuat dengan perda tata ruang yang semestinya sudah selesai dibahas.

Sebelumnya, Gubernur Anies menarik rancangan perda yang mengatur kontribusi tambahan 15% dari pembangunan di pulau-pulau reklamasi. Akibatnya, Pemprov DKI kehilangan potensi pendapatan puluhan triliun rupiah yang bisa dipakai untuk membangun rusun bagi nelayan dan buruh. Sayangnya, pada saat menarik kontribusi tambahan 15% tersebut, Gubernur Anies tidak mengusulkan bentuk kontribusi tambahan lain sebagai alternatif pengganti.

PSI meminta percepatan pembahasan perda tata ruang dan memperjelas kontribusi pembangunan pulau-pulau reklamasi bagi warga Jakarta, terutama warga kelas bawah.

10) Kontrak Aetra dan Palyja berakhir pada 2023, namun belum ada persiapan untuk mengambil alih pengelolaan air bersih.*

Pada tanggal 10 April 2017 keluar putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 31K/Pdt/2017 yang memerintahkan pengembalian pengelolaan air bersih dari pihak swasta (Aetra dan Palyja) kepada pemerintah (Pemprov DKI Jakarta).

Salah satu persiapan yang paling penting adalah inventarisasi aset yang dikuasai pihak swasta yang bertujuan untuk mencegah hilangnya aset milik Pemprov DKI.

Sayangnya, baik Pemprov DKI Jakarta maupun PAM Jaya belum melakukan inventarisasi aset, padahal waktu semakin dekat. PSI mendesak agar Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan segera melakukan inventarisasi aset air bersih di Jakarta. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Satria Bagus

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES