Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Birokrasi, Pilkada, dan Sepak Bola

Jumat, 16 Oktober 2020 - 12:21 | 53.63k
Moh. Muhibbin, Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum pada PPS Universitas Islam Malang (UNISMA).
Moh. Muhibbin, Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum pada PPS Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Kalau mau dibayangkan, seseorang yang diberi tugas membangun dan melaksanakan birokrasi itu sama artinya dengan membangun jagad sepak bola, suatu tim yang dibangun atas dasar profesionalisme, kerelaan berkorban, kedisplinan dan kekompakan kerja, dan menjunjung tinggi etika atau moralitas kerja.

Tanpa dasar itu, suatu tim akan sulit menuai kesuksesan. Betapapun hebat dan mahalnya seorang pemain dibeli dan dihonor, tetap saja mustahil ia bisa memasukkan bola ke gawang lawan sendirian. Ia tetap butuh rekan kerja, petunjuk kerja dan  dukungan kerja sama  secara apik atau terencana untuk menggiring cita-cita  supaya terwujud menjadi realitas kerja yang manis (gol), suatu kemenangan yang didambakan oleh suatu tim yang solid, bukan kemenangan yang diperoleh dengan menunggu keberuntungan..

Sepak bola merupakan salah satu jenis olah raga yang disukai masyarakat local, nasional, dan internasional. Tim-tim yang sukses di dunia ini kalau kita baca dalam sejarahnya,  menunjukkan kalau dirinya (manajemennya) mampu menggabungkan, menyatukan, dan mengharmoniskan segenap elemennya, sehingga menjadi tim elegan yang disegani dan layak jual di pasar global.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Birokrasi pun demikian, ia bukan dikendarai atau dipimpin oleh  satu seorang, tetapi berbagai unsur, yang kesemua unsur ini mewarnai dan menentukan wajahnya.

Seseorang yang menjadi pemimpin pemerintahan setelah meraih jabatan pimpinan daerah (gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota) pasca pilkada,  memang memegang kunci secara dominan  dalam jagad birokrasi, tetapi apapun yang diperbuatnya sebagai pemain depan, tetaplah harus mendapatkan dukungan penuh dari pemain sayap, tengah, gelandang, dan belakang, yang intinya harus menyadari, bahwa pilkada masihlah terbatas “pesta”, sementara dunia yang sesungguhnya terletak pada tatkelola pemerintahan, bagaiman seharusnya mengelolanya supaya menjadi “organidsasi” yang kuat dan hebat dalam melayani kepentingan rakyat.

Semua pemain dalam birokrasi itu harus menunjukkan kerjasama tim yang kompak, terorganisir, dan berbasis fair play. Kalau dari unsur tim ini ada yang lebih menonjol dalam pertandingan atau dikenal dengan man of the match, maka ia memang berhak mendapatkan penghargaan, namun ketika yang terjadi adalah berbagai bentuk bentuk pelanggaran, maka hukuman atau sanksi disiplin pun layak diterimanya, seperti dalam sepak bola: ada peringatan, kartu kuning, dan kartu merah.

Daryl Koehn dalam bukunya The Ground of Professional Ethics Koehn (1994) menyebut bahwa birokrasi bukanlah ciptaan asal-asalan masyarakat atau pelaku yang berburu kekuasaan, melainkan merupakan praktik yang dengan teliti disusun untuk mengabdi pada kepentingan klien atau masyarakat secara legal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Standar yang diberikan oleh Koehn tersebut dapat dipahami, bahwa dunia birokrasi merupakan dunia kaum professional, yang kinerjnya harus mencapai maksimalitas dengan ukuran pertanggungjawaban moral, ada inovasi, kreasi, dan produktifitas kerja, serta evaluasi kerja, yang kesemuanya ini ditujukan demi  layanan publik (public service).

Kalau ada seseorang dalam suatu birokrasi itu menunjukkan kerja asal-asalan, tidak mengikuti dimensi moral kerja, dan suka melakukan provokasi kepada publik secara destruktif, maka seseorang ini tidak lebih hanyalah “penyakit” yang membahayakan keharmonisan birokrasi.

Kondisi demikian itu tidak boleh dibiarkan menjadi akut, karena yang terancam bukan hanya keutuhan tim, tetapi publik (umat) yang seharusnya mendapatkan layanan prima pun ikut dikorbankan. Keterlibatan dalam pilkada dalam merebut “jabatan umat” di Pilkada nanti harus mencerdaskan setiap calon pemangku kekuasaan, bahwa dirinya adalah sosok pemimpin yang menyerahkan hidupnya untuk rakyat, dan bukan untuk menyerahkan dirinya dalam kesibukan membahagiakan diri sendiri dan keluarganya.

Khalifah Umar bin Khattab dapat mengantarkan negerinya menjadi negeri yang kuat yang ditandai dengan harmonisasi bangunan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat secara merata adalah berkat  dukungan elemen atau sosok pegawai (birokrat) yang benar-benar memahami apa urgensi sejati (fungsional) kehadiran dirinya sebagai pelayan umat.

Ibarat sebuah tim sepak bola, khalifah Umar  bukan hanya bisa membangun sepak bola (birokrasi) demi kepentingan legal negara, tetapi benar-benar melahirkan birokrasi yang menyejahterakan dan memuaskan psikologis masyarakat. Masyarakat tidak hanya diberi tontonan  dari sepak terjang birokrat, tetapi benar-benar diberi tuntunan yang bisa dijadikan sumber keteladanan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Moh. Muhibbin, Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum pada PPS Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES