Kopi TIMES

Melihat Jejak Konsolidasi Incumbent

Jumat, 16 Oktober 2020 - 11:06 | 52.38k
Mahatva Yoga Adi Pradana, Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Grafis: TIMES Indonesia)
Mahatva Yoga Adi Pradana, Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pemilukada atau Pilkada 2020 akan berjalan dalam dinamika pandemic Covid-19. Sebagai bentuk antisipasi penganggulangan wabah, negara sudah berjanji untuk mengurangi adanya klaster pilkada nantinya. Ketidakmampuan masyarakat untuk dapat mengiyakan keinginan negara saat ini telah menimbulkan kekhawatiran.

Banyaknya elit politik yang maju dalam kontestasi adalah muka-muka lama. Sejatinya mereka semua adalah para pemilik otoritas sebelumnya. Para Bupati, Walikota hingga Gubernur petahana tentu saja punya otoritas lebih ketika mencalonkan diri kembali dalam arena kontestasi.

Salah satu strategi yang kerap kali digunakan yakni menggunakan Aparatus Sipil Negara sebagai mobilitas kampanye senyap.

Penggunaan mesin birokrasi bagi para petahana merupakan hal yang sangat memungkinkan.

Proses pergerakan politik yang massif dari awal menjabat sangat layak untuk ditebak bagaimana mesin politik berjalan. Keterlibatan birokrasi pada awalnya hanya sebatas dukung mendukung, berusaha memilih dan tetap memberikan jasa berkampanye di lingkungan sekitar.

Dalam pemilu yang mengedepankan asas LUBERJURDIL tentu saja dapat di lihat. Namun seringkali para ASN ini sengaja sukarela terlibat demi menegaskan bahwa dirinya mendukung para incumbent.

Fenomena menarik muncul di Kabupaten Malang. Otoritas kekuasaan yang merupakan penguasa dadakan sejatinya ingin mendapatkan panggung pemilihan. Ketika bentuk kendaraan tidak sesuai dengan besaran harapan. Sang pemilik otoritas rela untuk berganti mesin. Sosok incumbent yang merupakan tokoh religious Kabupaten Malang, nyatanya tetap mempertahankan tradisi lama dengan dalih dekat kaum yang selama ini mendukung.

Popularitas serta elektabilitas mumpuni menjadi modal dasar dirinya ditunjuk partai penguasa parlemen. Dan tentu saja saat ini, kedudukan parlemen seluruhnya menyerahkan bukti dukungan. Berbeda dengan partai yang memang dapat mengajukan pasangannya sendiri secara langsung.

Keindahan dinamika politik lokal memang dapat mempengaruhi kualitas politiknya. Relasi politik anatara politisi dengan birokrasi sejatinya adalah modal yang kuat, belum lagi di dukung dengan image agamis.

Dualisme kekuasaan yang hadir di Kabupaten Malang, tentu saja tidak lepas dari netralitas ASN yang dimaksud. Latar belakang Pemimpin Daerah dengan mantan Sekretaris Daerah memang telah diakui oleh para ASN dapat menciptakan polarisasi dukung mendukung.

Peta politik di Malang raya ini sebagai contohnya, sudah bergerak kearah yang lebih stabil. Dengan diikutsertakannya pasangan independent untuk dapat berkontestasi menunjukkan masyarakat sudah paham dengan demokrasi.

Ketika suara rakyat dapat di jadikan syarat untuk mendukung calon yang akan maju. Dinamika politik lokal meski tak bisa dilepaskan dari kepemimpinan politik nasional tetap saja membutuhkan sentuhan internal dari para mantan kolega di pemerintahan. Koalisi penuh dukungan dengan keyakinan satu partai hingga polemik verifikasi ktp nyata juga dapat mempengaruhi kecenderungan pemilih.

Berdasarkan survei internal dari salah satu lembaga survey lokal menunjukkan bahwa dalam setiap kontestasi politik daerah, isu netralitas ASN sudah menjadi topik lama yang dihangatkan. Ini identik kaitannya dengan para mantan pemilik otoritas yang maju kembali. Meminjam tentang konsepsi awal birokrasi menunjukkan bahwa kenetralan birokrasi sudah sering dibicarakan pakar.

Tentang incumbent yang memanfaatkan dana bansos Covid-19, tentang incumbent yang masih menggunakan fasilitas negara dalam kampanye, atau bahkan incumbent yang melakukan rotasi jabatan untuk mengamankan dukungan.

Ketika Hegel menjelaskan bahwa birokrasi merupakan suatu jembatan bagi masyarakat dengan negara dengan dasar perwujudan itu merupakan bagian dari kepentingan umum, secara tidak langung incumbent bebas memanfaatkan peluangnya sebagai mantan pemilik otoritas.

Namun akan sangat berbeda ketika pemikiran Marx nanti diadposi oleh para pemimpin, birokrasi tidak mewakili negara melainkan kepentingan khusus dari kelas dominan.

Modalitas dalam pemilihan juga tidak dapat di lupakan begitu saja. Kekuatan peran serta figure kepemimpinan menjadi modal sosial terbesar untuk mendapat dukungan politik dan ekonomi. Semua itu di dasari oleh kebutuhan pemilukada yang tidak sedikit ketika mengumpulkan massa.

Paradigma netralitas ASN dan kepatuhan politik era kini nampaknya menjelaskan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan merupakan hasil tawar-menawar antara beragam elemen kepentingan.

Ketika incumbent dapat mengakomodir tujuan para ASN hingga disepakati dalam aturan hukum tertentu, jelas saja faktor kesukaan itu akan naik. Perilaku demikian nyatanya mampu menarik simpati ASN untuk memilih kembali sang pemimpin. Bagi para birokrat, incumbent sebagai aktor yang dominan tidak mampu berdiri sendiri.

Upaya ini sangat terlihat ketika incumbent hanya bagian terkecil dari sistem partai dalam menjalankan kaderisasi. Sangat nampak nantinya dari hasil bargaining dan kompromi politik.

Model-model kampanye incumbent juga nampak dari adanya kebijakan publik yang dominan.

Dimana dengan pemikiran yang tanggap, memanfaatkan birokrasi publik sebagai instrument politik. Agenda birokrasi dijadikan agenda politik, tebar senyum dan tebar bantuan. Fenomena ini nampak nyata terjadi apabila H- 2 bulan pemilihan akan dilaksanakan. Fatsoen politik yang mengedepankan kebaikan bersama memang sudah berjalan sebagaimana mestinya, kebaikan yang dijalankan memang punya dampak luar biasa, namun satu hal yang dapat dipahami.

Apakah netralitas itu dapat digadaikan demi sebuah kepatuhan. Netralitas birokrasi memang tidak mudah dibentuk dan di jalankan dengan mudah. Ideliasme dan identitas ASN sebagai pelayan dalam masyarakat memang menunjukkan bahwa ASN tidak boleh memihak kepada siapapun karena apabila terdapat penggunaan politik praktis di dalamnya terdapat punishment yang berat.

Tapi yang harus di ingat dalam politik semuanya itu sah dan punya hak yang sama, asal dengan catatan tahu diri dan tahu waktu. Hambatan yang dihadapi dalam menciptakan birokrasi yang netral tentu saja harus membutuhkan kemauan internal dan eksternal.

Kecenderungan ASN dimanfaatkan dalam momentum pilkada ini jangan sampai menjadi isu yang sering dibicarakan ketika incumbent maju kembali ke arena kontestasi Pilkada 2020. (*)

 

*) Penulis: Mahatva Yoga Adi Pradana, Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES