Kopi TIMES

Dinastokrasi Memupuk Korupsi

Kamis, 15 Oktober 2020 - 14:20 | 93.41k
Janwan Tarigan, Pegiat Antikorupsi & Demokrasi. (Grafis: TIMES Indonesia)
Janwan Tarigan, Pegiat Antikorupsi & Demokrasi. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Esensi demokrasi berkenaan dengan kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan rakyat, sebagaimana makna harfiahnya demos dan kratos. Semangat demokrasi mengutamakan kebebasan, kesetaraan, dan kesejahteraan yang adil bagi semua warga Negara; berorientasi pada rakyat.

Oleh karenanya, partisipasi masyarakat menjadi “roh” dari demokrasi. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat berupa perumusan kebijakan publik mulai dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan pembuatan hukum. Begitu mulia cita-cita demokrasi. 

Namun belakangan pemaknaan demokrasi di Indonesia semakin sempit, layaknya demokrasi prosedural. Demokrasi yang dititikberatkan pada legitimasi perwakilan rakyat yang diperoleh dari Pemilu dan Pilkada. Tidak sedikit pemimpin terpilih justru tidak mewakili kepentingan rakyat sebagaimana idealnya. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat, justru banyak juga yang terjerat korupsi. Demokrasi yang terpusat pada pemilihan semata atau prosedural adalah sebuah kekeliruan. Demokrasi begitu luas yang menginginkan adanya partisipasi dan kebebasan bermoral. Pemilu dan pilkada hanya salah satu produk demokrasi. Demikian halnya Pikada 2020 mendatang.

Di Indonesia demokrasi prosedural cukup kental. Salah satu indikasinya tampak dari maraknya dinasti politik, selayaknya kerajaan (monarki). Politik dinasti dijadikan alat untuk membangun kerajaan dinasti politik. Data ICW tahun 2017 menunjukkan ada 6 kepala daerah dengan dinasti politiknya berada dalam pusaran korupsi (Rilis ICW, 2017). Pada Pilkada 2020, MCW mencatat ada 6 pasang calon yang berkerabat dekat dengan pemerintah pusat, dan 12 pasang calon berkerabat dengan pemerintah daerah. 

Dalam konteks ini, demokrasi kita diperhadapkan dengan dua pilihan, yaitu memperjuangkan “hak politik” atau memelihara “dinasti politik” (Hasan, 2019). Inilah kompleksitas demokrasi. Kedua pilihan mengandung unsur kepentingan demokrasi. Hak politik dalam konteks ini berarti setiap orang berhak dipilih (mencalonkan). Sementara memelihara dinasti politik berarti membenarkan calon dapat dipilih walaupun memiliki kekerabatan dengan petahana (sumber daya publik rentan disalahgunakan).

Faktanya, Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan politik dinasti, alasannya jika dilarang justru dinilai melanggar hukum karena membatasi hak untuk dipilih atau dianggap diskriminasi (Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945). Hasil tersebut setelah dilakukan uji materi untuk menghapus pasal pembatasan larangan keluarga petahana atau politik dinasti dalam UU Pilkada tahun 2015. Meski sudah lama disahkan, hingga kini tetap hangat diperbincangkan publik menjelang Pilkada tahun 2020, karena ada banyak calon kepala daerah yang berkerabat dengan petahana. 

Sejarah mencatat, dinasti politik di Indonesia juga berlangsung saat zaman kerajaan sekaligus era kolonialisme. Dalam Buku Max Havelar karya Multatuli atau Dowes Dekker menggambarkan pemerintahan di Lebak Banten dipimpin oleh seorang “demang” atau bupati. Pada saat itu sewajarnya berbagai sektor pemerintahan diisi oleh keluarga bangsawan.

Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa politik dinasti membawa kesengsaraan bagi rakyat kala itu, seolah hanya demi kepentingan penguasa semata. Itu keresahan yang diungkapkan Multatuli selama menjabat sebagai asisten kerasidenan di Lebak Banten. Keadaan di masa lampau ternyata linier dengan dinasti politik teraktual di Banten, yakni Ratu Atut. Menariknya, polarisasi kekelaman dinasti politik di masa lampau serupa dengan dinasti politik teranyar; dinasti Ratu Atut kandas akibat jejaring praktik korupsi. Ujung-ujungnya rakyat yang merugi dan sengsara. 

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa dinasti politik tidak hanya berlangsung pada zaman kerajaan, pun tetap subur di era demokrasi. Menandakan bahwa dinasti politik tetap eksis di bermacam iklim. Maraknya dinasti politik belakangan ini membuat muncul istilah “Dinastokrasi” sebagai plesetan dari demokrasi yang tak esensial.

Fenomena politik dinasti belakangan ini dinilai bukan lagi dalam konteks memenuhi hak politik warga negara untuk dipilih. Melainkan lebih kepada politik dinasti yang cenderung destruktif karena mengutamakan kepentingan feodalisme dan oligarki. Demokrasi dijadikan alat melanggengkan kekuasaan segelintir elit.

Akibatnya ketimpangan sosial semakin tinggi. Data menunjukkan “1 persen orang terkaya di Indonesia mengausai lebih dari 50 persen aset nasional”. Disisi lain kemiskinan tak kunjung teratasi. R. William Liddle berasumsi bahwa korupsi di Indonesia justru dibangun melalui demokrasi. Dengan kata lain bahwa korupsi diselundupkan melalui proses politik di lembaga-lembaga demokrasi sehingga korupsi bisa dilakukan atas nama undang-undang yang telah ditetapkan secara demokratis –prosedural (Muhtadi, 2020). Maraknya dinastokrasi kini terbukti turut memupuk praktik korupsi.

Ada beberapa faktor penyebab semakin maraknya politik dinasti di Indonesia, terlebih menjelang Pilkada 2020. Pertama, karena memang hukum melegalkan politik dinasti Kedua, kelembagaan partai politik belum demokratis, minim transparansi, dan cenderung elitis dalam rekrutmen dan pengambilan keputusan, serta hegemoni keuangan partai yang dikuasai segelintir orang.

Selain itu, ongkos politik berbiaya tinggi turut memperbesar peluang politik dinasti dan oligarki. Ketiga, rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mengevaluasi politik dinasti. Pendidikan bagi pemilih belum optimal dilakukan, sehingga pemilihan sifatnya pragmatis (Perludem, 2020).

Bahaya dari politik dinasti, yakni kekuasaan berpotensi dipimpin orang yang tidak kompeten. Fungsi check and balance menjadi timpang, serta kekuasaan elit pemerintahan semakin mutlak/absolut. Kondisi ini sarat menyuburkan perilaku kolutif dan koruptif. Sebagaimana tesis Lord Acton “Kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen”.

Sejalan dengan pendapat di atas, Robert Klitgard menjelaskan bahwa korupsi terjadi ketika diskresi dan monopoli tinggi sementara akuntabilitas rendah. Kekuasaan mutlak membuat monopoli atas sumber daya ekonomi negara mudah diakali. Misalnya dalam proses penganggaran tidak lagi memiliki proses pengawasan ketat dan bahkan alokasi anggaran sebatas kesepakatan elit dinasti. 

Dalam waktu dekat untuk mencegah salah pilih pemimpin daerah, masyarakat harus diberi pemahaman akan esensi demokrasi dan Pilkada agar sadar bahkan mampu berpartisipasi secara rasional. Agenda jangka panjang diperlukan reformasi partai politik untuk mendorong transparasni pengelolaan partai, meningkatkan kualitas kaderisasi, dan menciptakan keuangan partai yang sehat. Tidak kalah penting membangun kultur demokrasi esensial, proses Pilkada mengutamakan merit sistem (basis prestasi). (*)

***

*)Oleh: Janwan Tarigan, Pegiat Antikorupsi & Demokrasi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES