Kopi TIMES

Aksi Massa, Saat Ideologi jadi Mimpi

Rabu, 14 Oktober 2020 - 17:05 | 92.59k
Ichwan Arifin adalah Alumnus Pasca Sarjana UNDIP. Mantan Ketua GMNI Semarang
Ichwan Arifin adalah Alumnus Pasca Sarjana UNDIP. Mantan Ketua GMNI Semarang

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTAMALAM itu suasana rapat mencekam. Para aktivis mahasiswa dari beragam kampus dan organisasi yang berkumpul di Semarang mulai gelisah. Suasana itu muncul dari informasi adanya intel-intel yang berkeliaran. Isu penangkapan para aktivis mahasiswa berhembus. Baik di Jakarta maupun kota-kota lain seperti Semarang.

Meski diliputi keberanian dan heroisme, namun sejumput kekhawatiran tetap ada. Penulis termasuk yang khawatir.

Pada masa itu, bukan hal yang sulit untuk “menghilangkan” orang. Apalagi bagi Penulis, hanya salah satu mahasiswa. Bukan tokoh penting dalam konstelasi politik nasional maupun lokal. Tentu mudah “dihilangkan”. Jika itu terjadi, mungkin juga tidak ada kegaduhan politik. Tidak yang mencari, kecuali keluarga sendiri.

Saat itu perdebatan berlangsung alot. Bukan sekadar bicara tentang pengerahan massa untuk demonstrasi. Tapi substansi gerakan sebagai bagian dari aksi massa (massa actie). Dinihari rapat baru selesai. Sebagian besar memilih bertahan di kampus, sebagian kecil pulang ke rumah atau ke sekretariat organisasi masing-masing. Penulis termasuk yang memilih bertahan di kampus. Selain rasa penat yang luarbiasa, juga merasa lebih aman.

Dinamika sosial politik dimasa kekuasan Soeharto relatif stabil. Tercipta bukan karena tatanan yang demokratis tapi cengkeraman rejim hingga ke denyut nadi kehidupan rakyat. Termasuk kehidupan para aktivis. Meminjam istilahnya Pramoedya Ananta Toer, kuasa represif rejim Orba membuat rakyat seperti hidup dalam “Rumah Kaca". Segala gerak gerik rakyat diawasi oleh aparat kekuasaan. Aktif dalam organisasi yang selalu bersikap kritis pada pemerintah bukan pilihan mayoritas mahasiswa. 

Demonstrasi akhirnya dibubarkan aparat. Sebagian aktivis ditangkap, namun saat itu tidak terjadi perusakan fasilitas publik apalagi kerusuhan sosial. 

Mungkin ada pihak yang menyebutnya tidak revolusioner dan tidak heroik. Tapi Penulis meyakini bahwa kerusuhan sosial bukanlah heroisme, apalagi ukuran revolusioner atau tidak revolusioner. Kerusuhan sosial juga bukan aksi massa. 

Tan Malaka dalam “Aksi Massa; Perkakas Revolusi Kita,” menulis selama seorang percaya bahwa kemerdekaan (kalau dalam konteks saat ini dapat dibaca sebagai cita-cita politik) akan tercapai dengan jalan "putch" atau anarkisme, hal itu hanyalah impian seorang yang lagi demam. Dan pengembangan keyakinan itu di antara rakyat merupakan satu perbuatan yang menyesatkan. "Putch" itu adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak.

Aksi massa (massa actie) dan aksi massal (massale actie) sangat berbeda maknanya. Menurut Bung Karno, menggerakan ribuan orang atau ratusan ribu orang berdemonstrasi tanpa dilandasi kesadaran ideologis dan teori perjuangan bukanlah aksi massa tapi aksi massal.

Aksi massa mensyaratkan beberapa aspek penting, yaitu: pertama, kesadaran ideologis massa. Organisasi massa aksi harus dapat mendidik massa yang belum sadar (onbewust) menjadi massa yang sadar (bewust). Kedua, aksi massa harus dibimbing oleh teori perjuangan. Tidak ada tindakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Teori itu harus masuk dalam urat nadinya massa. Dilakukan melalui kursus-kursus politik, propaganda massif, dan sebagainya. Ketiga, aksi massa juga harus bisa mengubah "kemauan massa" menjadi "tindakan massa."

Dalam pidato pembelaan di pengadilan kolonial berjudul “Indonesia Menggugat”. Bung Karno menjelaskan, aksi dengan perbuatan. Tapi tidak dengan bom, bedil, dinamit dan apa-apa yang dilarang hukum. Caranya adalah mengadakan rapat-rapat umum untuk mempengaruhi dan menggugah pendapat umum. Melakukan kursus-kursus politik, menulis propaganda di media massa dan sebagainya. 

Dari sudut kerangka kerja gerakan, demonstrasi hanya salah satu bagian dari rapat-rapat umum untuk mempengaruhi pendapat umum. Secara pararel juga harus melakukan kerja-kerja politik lainnya, seperti; secara terus menerus mendidik kesadaran ideologis massa melalui pendidikan politik. Melakukan pengembangan wacana publik dengan cara menggelontarkan gagasan melalui beragam saluran komunikasi, seperti; media massa. Penggalangan sekutu, baik taktis dan strategis wajib dilakukan, termasuk pendekatan dengan para pengambil kebijakan publik.

Pasca reformasi, demonstrasi menjadi hal "lumrah". Namun melihat karakteristiknya, sebagian besar lebih mengarah ke aksi massal daripada aksi massa. Jadi melihat fenomena kegaduhan demonstrasi saat ini, termasuk protes UU Cipta Karya, rasanya patut membaca kembali referensi aksi massa. Menyisakan sejumput pertanyaan, apakah ada kesadaran ideologis massa? Apa basis teori perjuangan yang melandasi aksi tersebut? Dan beragam pertanyaan lainnya terkait konsepsi aksi massa.

Wajah politik kita memang penuh anomali. Karena itu pergulatan politik harus dibaca cermat. Dibalik isu populis bisa jadi tersembunyi kepentingan elite dan para oligark pemburu rente. 

Kita dapat temukan dengan mudah kekuatan politik yang berseberangan dalam "ideologi" bisa bergandengan tangan untuk kepentingan pragmatis dan sesaat. Sementara pada saat yang sama, rakyat menjadi korban dalam bentrokan ditingkat aksi massal.

Ah, penulis jadi ingat catatan diskusi dengan para aktivis lintas angkatan. Paradigma pasar dalam politik. Yaitu; tindakan politik yang berorientasi pada kepentingan pemilik modal serta “pasar politik” yang sedang banyak peminat. Meskipun bertentangan dengan ideologi yang diyakini organisasinya, selama itu menguntungkan, tetap akan dilakukan.

Mungkin benar, situasi seperti itu yang tengah terjadi saat ini. Akhirnya, ideologi pun hanya menjadi mimpi saat tidur. (*)

* Oleh : Ichwan Arifin, Alumnus Pasca Sarjana UNDIP dan Mantan Ketua GMNI Semarang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES