Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Republik Retorika

Rabu, 14 Oktober 2020 - 13:17 | 49.26k
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA), Pengurus AP-HTN/HAN, dan penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA), Pengurus AP-HTN/HAN, dan penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Di dunia ini, manusia tidak boleh berjalan atau mengarungi “Samudra” kehidupan dengan cara “buta”. Kalau cara (“buta”) ini dilakukan, maka akan banyak menemukan kondisi yang menyesatkan. Diasharmonisasi atau ketidakadaban akan banyak diperoleh manusia yang  menjalaninya/ Allah berfirman “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, ia pun akan buta di akhirat dan bahkan lebih sesat perjalanannya” (QS 17: 72),

Firman Allah SWT itu sebenarnya mengingatkan manusia supaya dalam hidup ini tidak tersesat dalam membutakan, membisukan, atau mematikan jalan mengalir derasnya dan tegaknya kebenaran.  Ayat yang bermuatan prinsip kausalitas ini memberi pelajaran, bahwa apapun yang terjadi, yang menimpa masyarakat atau negara, tidaklah lepas dari ragam perilaku manusia.

Siapa saja yang tersesat atau menyesatkan dirinya di dunia ini, maka kelak tidak akan menemukan jalan kebahagiaan di sisiNya. Jalan kebahagiaan tidak akan diperolehnya di akhirat akibat jalan kebahagiaan di dunia tidak dikonstruksinya. “Investasi”-nya selama di dunia lebih banyak yang bercorak menabur dan menyemaikan jalan yang sesat atau menyesatkan, merugikan atau menghancurkan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kita dalam ranah itu sebenarnya dituntut oleh agama untuk tidak menjadi pelaku sejarah yang “buta”, yang secara a contrario berarti harus menyegerakan atau berkompetisi dalam membuka kran mengalirnya ajaran kebenaran dan dan kemanusiaan dan penegakannya di muka bumi ini. Bumi yang merupakan tempat mencari dan memperjuangkan kebahagiaan untuk diri dan sesama akan menentukan apa yang akan diraih sesudah mati.

Selain itu, kita juga mendapatkan regulasi norma untuk menjalankan kewajiban melawan segala bentuk praktik yang bermodus mengorbankan keadilan atau mengamputasi kebenaran. Kita dituntut menjadi subyek yang aktif dalam mewujudkan apa yang memang merupakan hak-hak public. Bagaimana kita bisa menciptakan “warna” membahagiakan rakyat kalua kita tidak berusaha maksimal untuk memperjuangkannya,

Ibaratnya, kalau ini dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hukum tidak boleh hanya menjadi kumpulan norma-norma dalam buku atau law in books, tetapi juga harus menjadi norma-norma yang berlaku (law in actions) tegas, pasti, egaliter, dan berkeadilan di negeri ini. Maksudnya lagi, bagaimana yang adil dalam teks atau norma, tidaklah sebatas retorika.

Itu juga menuntut supaya ettika penyelenggaraan kekuasaan (bernegara( pun tidak boleh menjadi macan kertas dalam aksesoris struktural, tetapi harus menjadi aturan main yang hidup dan menjaga tegaknya peradaban. Kondisi berubah yang mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang bisa dinikmati dalam fakta, adalah kondisi yang sudah sekian lama menjadi kerinduan masyarakat.

Republik kita berwajah retorika juga disebabkan tak diberdayakanya etika sebagai ruh yang mengisi dan mewarnai kinerja elemen elit. Ada diantara para elit kekuasaan yang memilari lembaga-lemaga strategis tidak menggunakannya sebagai opsi utamanya.  Mereka yang memilih jalan ini, apalagi sampai membanggakannya, merupakan “pendosa serius”, pasalnya mereka memilih jalan yang benar-benar mengkhianati kepentingan asasi rakyat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Mereka takut menjadikannya jadi substansi untuk melakukan reformasi, pasalnya kalau ini dilakukan, mereka merasa akan kehilangan banyak kepentingan yang menyenangan dan memuaskan.

Tatkala ada seseorang atau sekelompok orang, yang mereka ini berasal dari kekuatan elitis negara ditunjukkan mengenai kebenaran moral atau rambu-rambu dalam berperilaku, berkreasi, atau berbudaya, mereka sontak menyebutnya sebagai bentuk rambu-rambu yang menghambat  dan mematikan. Mereka yang demikian ini merupakan penoda serius terwujudnya bkonstruksi negara yang kuat.

Kekuatan elitis yang “nakal” adalah tampilan sekelompok orang itu tidak mau berfikir lebih mendalam tentang esensi dan filosofi berlakunya ajaran kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan bagi manusia (rakyat), yang salah satu dimensi fungsionalnya adalah membahagiakan, menyejahterakan, mendamaikan, dan menciptakan tertib sosial (social order).

Mereka yang berada di jalur itu jelas lebih memilih negara ini modelnya kian keluar dari misi sakralitas konstititusi daripada membentuk negara ini mewujudkan misi besarnya: membahagiakan dan menyejahterakan rakyat tanpa kecuali. Negara ini semestinya harus ditopang dan dikembnagkan terus supaya tidak menjadi republic retorika.

Deepak Copra dalam Freeman Potential Movement menuturkan “kepada siapa saja yang masih menginginkan kedamaian, kejayaan, dan kesejahteraan di republik ini”, kita katakana “your attitudes create the world, atau “sikap mental andalah yang akan mengubah dunia”   

Atas pemikikiran Copra itu, pemimpin di negeri ini jelas dituntut menunjukkan sikap agungnya, jika mengidealkan dan mengidolakan perubahan bisa terwujud di tengah masyarakat, termasuk perubahan dari atmosfir supremasi kejahatan menuju supremasi masyarakat cinta damai.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA), Pengurus AP-HTN/HAN, dan penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-15 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES