Kopi TIMES

Sebuah Nama Setelah 21, HUT Maluku Utara dan Bapakku

Senin, 12 Oktober 2020 - 23:29 | 70.33k
Salah satu pejuang Provinsi Maluku Utara, Kiai Arifin Assagaf. (Foto: Amato Assagaf)
Salah satu pejuang Provinsi Maluku Utara, Kiai Arifin Assagaf. (Foto: Amato Assagaf)

TIMESINDONESIA, TERNATE – Seperti pada tahun-tahun yang telah lalu, tahun ini kami kembali menerima undangan dari Pemerintah Daerah Maluku Utara untuk menghadiri acara ulang tahun ke-21 Provinsi Maluku Utara. Dan seperti juga pada tahun-tahun yang telah lalu, undangan itu ditujukan pada sebuah nama yang telah menjadi abadi dalam jiwa kami, Arifin Assagaf. Bapakku dan bapak dari enam saudaraku yang lain.

Ada dua kakakku yang menjadi warga Maluku Utara, seorang di Ternate dan seorang lagi di Jailolo. Mereka selalu mewakili bapakku untuk hadir dalam acara yang sama di tahun-tahun sebelum ini. Tapi tahun ini, oleh satu dan lain alasan,  tampaknya tak ada dari keduanya yang bisa memenuhi undangan itu. Gundah atas hal itu dan tak ingin mengecewakan pengundang, aku membuat tulisan ini sebagai ganti kehadiran kami.

Sebuah nama...

Dalam kerangka pembicaraan mengenai Maluku Utara, Arifin Assagaf mungkin hanya sebuah nama yang tidak terlalu penting ketika yang kita bicarakan adalah masa depan Maluku Utara sebagai bagian dari sebuah republik yang tengah bergerak maju di antara bangsa - bangsa di dunia. Tapi nama yang sama bisa punya banyak arti ketika yang kita bicarakan adalah harapan yang sekali pernah hidup dalam imajinasi setiap orang yang memandang Maluku Utara sebagai bagian yang terus menjadi dari dirinya sendiri. Setidaknya, seperti itulah Maluku Utara dalam kepala sang kyai yang telah meninggal pada tahun 2015 itu.

Tapi itu juga berarti aku tidak akan bicara tentang Maluku Utara sebagai apa saja yang obyektif, aku hanya akan bicara tentang Maluku Utara dalam isi kepala bapakku, Arifin Assagaf, sebagaimana yang aku tahu lewat penggal demi penggal obrolan kami dalam rentang 30-an tahun.

Demikian pula, tidak ada bukti obyektif apapun yang bisa aku gunakan untuk mendukung apa yang akan aku bicarakan sebagai apa yang benar-benar berasal dari kepala almarhum kecuali kenyataan, yang bisa dibenarkan oleh banyak pihak, bahwa aku adalah anak kandung almarhum yang paling sering membicarakan hal-hal seperti ini dengan beliau. Terakhir, apa yang akan aku tuliskan ini hanya penggalan kecil dari pemikiran almarhum yang jauh lebih luas dan menyeluruh.

Untuk itu, kita bisa mulai dari sebuah pertanyaan sederhana, seperti apakah Maluku Utara di dalam kepala seorang Arifin Assagaf? Ada banyak cerita dengan romantisme dan sentimentalitas yang kentara dari almarhum mengenai Maluku Utara.

Bagaimanapun juga, beliau dilahirkan di tanah kie raha itu dan terikat di situ dalam cara yang nyaris mustahil; setelah bertahun-tahun tinggal di Manado, beliau tidak bisa sepenuhnya melepaskan ungkapan-ungkapan khas Maluku Utara dari lidahnya. Ketika menjadi dirinya yang paling pribadi, ungkapan seperti 'os' untuk menyebut ‘kamu’ atau 'biskotu' dan berbagai istilah sejenis akan sering terdengar keluar dari mulut almarhum. Dan itu diucapkan dalam logat Maluku yang cukup alamiah bagi orang yang telah terlalu lama meninggalkan Maluku Utara. Artinya, seperti yang telah aku katakan, Maluku Utara adalah apa yang terus menjadi dari dirinya sendiri.

Tak ada yang terlalu umum dalam cara beliau menggambarkan Maluku tetapi juga tidak pernah terlalu mendetail. Jika bisa aku simpulkan, Maluku Utara di dalam kepala sang kiai adalah sebuah kenyataan yang diterimanya sebagai takdir. Sesuatu yang begitu subyektif hingga tidak bisa direduksi menjadi semata peta geografis atau entitas kultural secara apa adanya.

Baginya, Maluku Utara selalu adalah kosmos kenangan dan harapan yang saling tumpang tindih. 'Masa depan Maluku Utara adalah sejarahnya,' kata beliau suatu kali. Dan sejarah Maluku Utara baginya, bisa aku simpulkan dengan yakin, adalah sejarah yang bergerak keluar dari catatan resmi yang bisa kita baca dalam buku - buku yang ada. Sejarah Maluku Utara adalah juga rangkaian mitologi yang membentuk apa yang beliau sebut sebagai orang Maluku Utara yang unik pada dirinya sendiri. Dan sebagai mitologi, almarhum memiliki tafsirannya sendiri atas Maluku Utara.

Kita tentu harus memaafkan bias Islam dalam tafsiran beliau. Bias yang melihat Maluku Utara sebagai serangkaian narasi yang sudah begitu saja Islam. Bias yang menyulitkan bukan hanya bagi catatan sejarah yang lebih ilmiah tapi bahkan bagi pengenalan mitologis kita atas Maluku Utara sebagai bagian dari milieu Nusantara.

Sedemikian sehingga saya sering menggoda beliau dengan pertanyaan, “Apakah aba (baca: ayah) pikir Maluku Utara adalah bagian dari jazirah Arab yang pindah ke Timur Nusantara?” Almarhum tentu saja tidak berpikir seperti itu tapi, barangkali, ingin berpikir bahwa keislaman Maluku Utara adalah realitas yang sudah seperti itu.

Atau, jika harus memperhitungkan argumen beliau yang sangat subyektif soal itu, apapun yang mungkin mendahuluinya, kita mengenali Maluku Utara sudah seperti itu. Terlebih lagi, beliau adalah orang yang percaya bahwa Maluku Utara jauh lebih dulu Islam daripada Aceh dan Malaka.

Sebuah Indonesia...

Lalu datanglah Indonesia, sebuah proyek kebangsaan yang dipercaya almarhum merupakan bagian utuh dari sejarah Maluku Utara. Dan pada titik inilah gagasan beliau mengenai Maluku Utara menjadi lebih jelas. Satu pokok menarik soal itu adalah pandangan beliau, yang telah saya bahasakan kembali, bahwa yang pertama harus kita pahami dari keberadaan Maluku Utara di dalam proyek kebangsaan ini adalah hubungan unik antara Maluku Utara dan Indonesia.

Dalam gagasan almarhum, tidak cukup jika kita hanya melihat Maluku Utara sebagai bagian dari Indonesia. Meminjam Emha Ainun Nadjib, kita juga harus melihat Indonesia sebagai bagian dari Maluku Utara.

Jika yang pertama adalah kenyataan terberi, das Sein yang kita nyatakan sebagai komitmen politik, maka yang kedua adalah soal penghayatan, das Sollen yang hanya bisa kita realisasikan dengan menjadi orang Maluku Utara yang terus disituasikan dalam suatu keindonesiaan. Dalam kasus ini, hal pertama yang harus diingat, beliau melihat Indonesia sebagai sebuah proyek atau, lebih tepatnya, sebuah proses yang baru dimulai pada tahun 1945 tapi bertopang pada eksistensi keberbagaian yang membentuknya.

Apa yang memberikan masa lalu bagi proses ini adalah Maluku Utara dan semua daerah lain yang membuat kita bisa menemukan Indonesia di dalam peta. Dan apa yang akan menjadi masa depan Indonesia adalah juga Maluku Utara dan semua daerah lain yang membuat kita masih akan menemukan Indonesia yang sama.

Dan sebagaimana masa lalunya yang unik pada dirinya sebagai masa lalu Maluku Utara, begitu juga masa depannya yang mestinya juga unik pada dirinya sendiri sebagai masa depan Maluku Utara. Artinya, dalam gagasan almarhum, kita tidak harus mengejar abstraksi masa depan Indonesia tapi realitas kongkret masa depan Maluku Utara dengan Indonesia sebagai bagian darinya.

Dipahami dalam cara ini, aku sering tergoda untuk melihat hubungan Maluku Utara dengan Indonesia dalam gagasan almarhum bapakku sebagai hubungan antara yang-banyak (the many) dengan yang-satu (the one) dalam Platonisme. Yang-satu adalah Indonesia sebagai forma dari apa yang tampak sebagai keberbagaian dari yang-banyak, yakni Maluku Utara dan berbagai daerah lain. Maluku Utara berasal darinya – abstraksi arkais dari forma keindonesiaan di masa lalu adalah Nusantara; tapi ini bukan gagasan almarhum.

Dan Maluku Utara akan kembali kepadanya, dalam arti tersituasikan dalam sebuah Indonesia. Ini tidak berarti Maluku Utara akan menjadi Indonesia. Pertama, karena Indonesia selalu adalah forma, idealitas dari yang-banyak. Kedua, karena Indonesia – yang-satu – hanya bisa dikenali sebagai yang-banyak – Maluku Utara dan semua daerah lainnya.

Tapi ada yang menarik adalah refleksi radikal pandangan ini di kepala seorang Arifin Assagaf. Maluku Utara sendiri hanyalah nama dari ikhtiar politik dalam sebuah sistem kenegaraan yang diperjuangkan olehnya dan oleh banyak orang lain demi pengakuan akan keberagaman Indonesia.

Apa yang sesungguhnya nyata adalah bagian-bagiannya yang unik dan beragam. Almarhum tidak pernah menganggap Ternate dan seluruh isinya sama begitu saja dengan, misalnya, Tidore. Kenyataan Moloku Kie Raha adalah kenyataan empat kesultanan yang menggambarkan keragaman identitas Maluku Utara. Artinya, Maluku Utara adalah representasi nomenklatur dari yang-banyak, seperti misalnya Sulawesi Utara adalah nama bagi keberbagaian yang mencakup Minahasa, Bolaang Mongondow, Sangir dan seterusnya.

“Maluku Utara adalah apa yang kami perjuangkan secara politis bagi adanya pengakuan akan keberagaman Indonesia,” kata beliau, “Selanjutnya, Maluku Utara mestinya bisa menjadi nama bagi perjuangan generasi berikut secara kultural, bahkan spiritual untuk mempertahankan keberagaman itu. Karena apa yang bisa kita bayangkan dari sebuah Indonesia tanpa keberagaman itu. Ungkapan terakhir ini adalah refleksi gagasan almarhum tak lama setelah beliau kembali dari perjalanannya ke Papua. Dan itu adalah perjalanan jauh terakhir almarhum sebelum akhirnya beliau terlelap damai dalam rapuh tubuh berusia 84 tahun ketika kami menitikkan air mata untuk kepergiannya.

Beliau adalah bapakku, sebuah nama yang terkenang kembali ketika Maluku Utara merayakan ulang tahunnya yang ke-21. Maka mewakili bapakku, aku dan seluruh keluarga besar Arifin Assagaf mengucapkan selamat ulang tahun untuk Maluku Utara.

***

 

* Penulis Amato Assagaf

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES