Kopi TIMES

Sosialisme dan Kapitalisme: Quo Vadis Demokrasi?

Senin, 12 Oktober 2020 - 12:34 | 162.29k
Frederikus Magung, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere.
Frederikus Magung, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere.

TIMESINDONESIA, MAUMERE – Pada hakikatnya manusia adalah makluk sosial, yakni makluk yang bisa melakukan hubungan timbal balik dengan manusia lain. Di sana ada struktur sosial masyarakat yang dibangun atas dasar organisme hidup. Karena itu, semua masyarakat dituntut menjaga stabilitas, kekompakan, agar tidak mengalami kemandekan struktur sosial-kemasyarakatan, struktur ekonomi, perusahan maupun industri. 

Paham yang menganut ilmu sosial disebut sosialisme. Dalam konteks negara, sosialisme dipahami sebagai suatu ke(negara)an dan ekonomi yang berusaha supaya harta benda, industry, dan perusahan menjadi milik negara. Sosialisme meyakini bahwa pemerintah berhak mengendalikan sistem sumber daya dan kekayaan suatu negara untuk mensejahterakan rakyatnya sendiri. 

Salah satu kelompok yang menentang pemahaman sistem sosialisme adalah kapitalisme. Kapitalisme mengambil kebijakan kontradiktoris bahwa hanya pemilik modal yang bisa mengendalikan negara. Negara bisa maju dan berkembang, makmur dan sejahtera ketika  diintervensi oleh kaum kapitalis.

Persis pada opsi ini, perseteruan manusia sebagai makluk sosial telah mengalami kemerosotan nilai. Kemerosotan ini terjadi, ketika sistem kapitalisme menguat serta menguasai sistem sosialisme. Terjadi pemisahan blok Barat dan blok Timur di Rusia diakibatkan perdebatan verbalisme yang sangat sengit serta peperangan massal atas perserteruan sistem sosialisme dan kapitalisme.

Ketika blok Barat berada dalam posisi menang, blok Timur akhirnya mundur. Sistem kapitalisme lebih kuat dibandingkan sistem sosialisme. Ide-ide sosialisme bukan lagi menjadi tameng dalam mengubah dan mempertahan tatanan sosial, masyarakat bahkan hukum negara, tapi direnggut habis-habisan oleh sistem kapitalisme. 

Menanggapi hal demikian, seorang pemikir sosialis Jerman, J. C. L Simonde meyakini bahwa kapitalisme akan menghasilkan penderitaan dan pengangguran dalam skala besar dan ada banyak lagi pemikir sosial yang ingin mengubah Sistem kapitalisme (Lantreth dan Colander, 94). 
Opsi yang sama juga diungkapkan oleh Robert owen, menyatakan bahwa kapitalisme adalah sistem yang kejam dan dia menyarankan perusahan-perusahan diganti dengan koperasi. 

Hemat penulis, konsep kapitalisme yang dikemukakan oleh Simonde dan Robert Owen menjadi acuan pragmatis dalam konteks Indonesia umumnya, sistem demokrasi local khususnya. Negara Indonesia menganut dua sistem paradoksal. Pada satu sisi, negara secara gamblang konseptual menganut sistem kapitalisme, segala sesuatu diatur oleh pemilik modal.

Namun, pada sisi lain negara menganut sistem sosialisme, yang mana kebijakan ekonomi, perusahan, dan industry dikelola secara lansung oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Tapi persoalannya adalah negara (baca: pemerintah) mengalami kemerosotan berpikir sosialis. 

Kebijakan pemerintah dimonopoli, direduksi secara sistematik oleh relasi produksi atau komoditas kapitalipstik. Karena bagi kaum kapitalis, laba (uang) bisa menghalalkan segala cara. Maka demikian, uang atau laba sebagai relasi produksi adalah kunci kesuksesan kapitalisme. Boleh jadi, penguatan konsep sosialisme dan kapitalisme dapat memecahkan NKRI sebagai negara demokrasi. 

Demokrasi: Quo Vadis?

Disposisi negara demokrasi (Indonesia) di tengah pusaran pergolakan sistem yang parasoksal, demokrasi kehilangan faedahnya. Kesadaran sosialis demokratis ditumpangtindihkan oleh produktivitas nilai kapitalisme. Kapitalisme mendestruksikan gebrakan naif, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek fundamental suatu negara demokrasi. 

Lantas, Quo Vadis demokrasi? Demokrasi merupakan gabungan dari dua kata dalam Bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang artinya pemerintah. Dalam bahasa Inggris demos dan cratos diserap menjadi democracy. Dan menurut KBBI, demokrasi dalam istilah demokrasi berari pemerintahan dakyat. 

Atas dasar pengertian di atas, penulis mencoba mengambil benang merah dengan konsep sosialisme, yakni segala sumber daya diatur oleh negara atas dasar nilai demokrasi. Jadi, kapitalis atau kaum berjouis tidak bisa sewenang-wenang mengatur sistem demokrasi.  

Asumsi dasar sosialisme adalah masyarakat kelas, yakni kaum berjouis dan kaum proletar. Kedua kelas itu sama secara eksistensial ontologis bahwa mereka adalah sama-sama rakyat. Yang membedakan kedua kelas itu hanyalah status sosial. Tapi apakah nilai-nilai demokrasi dibangun atas dasar status sosial. Tentu, bukan? Nah, di sinilah problemnya. 

Tindakan menindas kelompok minoritas adalah kecendrungan kaum berjouis. Menindas pekerja dengan memberi upah yang minim, tidak sesuai dengan tingkatan pekerjaan. Kaum berjouis bekerja hanya untuk mendapatkan keutungan, laba, profit dari suatu perusahan, atau industry. 
Di dalam sosilisme, property pribadi akan diganti dengan kepemilikan bersama, kekuatan politik dan ekonomi akan dimiliki oleh negara, pajak yang tinggi akan diterapkan dan perusahan akan dikuasai oleh negara (Angresano, 1991). 

Persis, konsep demokrasi mengalami kemandekan. Negara (baca: pemerintah) tidak bisa merealisasi demokrasi praktis yang terafiliasi dalam konsep sosialisme, atapun sebaliknya. Mines kesadaran sosialisme berdampak pada kemerosotan nilai demokrasi suatu bangsa. Karena itu, keduanya mesti bergandengan “tangan”, berjalan bersama satu arah dalam satu konsep yakni demokrasi.

Kesadaran sosialisme tidak mengabaikan sistem demokrasi, pemerintahan yang merakyat, tetapi mengalienasi serta meminimalisir pergerakan kapitalisme. Kapitalisme yang berusaha mengubah sistem demokrasi akan digodok oleh kesadaran sosialisme. 

Maka demikian, pemerintah mesti me-review kembali, membuat pemetaan yang jelas dalam suatu sistem. Hal ini esensial, agar kapitalisme tidak mewanti-wanti masuk dalam tatanan negara, tapi berusaha meminimalisasi aliansi kapitalisme. 

Akhirukhalam, kesadaran sosialis demokrasi praksis menjadi tameng keutuhan sebuah negara demokratis. Apa yang menjadi milik negara akan dijaga demi kesejateraan kehidupan msyarakat Indonesia. Mari berpikirlah yang sosialis, bukan kapitalis. 

***

*)Oleh: Frederikus Magung, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES