Peristiwa Daerah

Mengenal MA Sentot, Tokoh Indramayu yang Ditakuti Belanda

Minggu, 11 Oktober 2020 - 18:22 | 296.18k
Muhammad Asmat Sentot atau MA Sentot. (Foto: historyofcirebon.id)
Muhammad Asmat Sentot atau MA Sentot. (Foto: historyofcirebon.id)

TIMESINDONESIA, INDRAMAYU – Tidak banyak masyarakat Indramayu yang mengetahui tentang sosok Muhammad Asmat Sentot atau yang akrab dikenal MA Sentot.

Padahal, beliau merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang sangat besar jasanya bagi perjuangan rakyat Indramayu dalam mempertahankan kemerdekaan.

Salah satu perannya yang dikenal adalah aksi heroiknya melawan penjajah Belanda dalam pertempuran di Jembatan Bangkir Indramayu. Di situ, dia dan pasukannya yang kerap disebut sebagai 'Pasukan Setan', berhasil membuat pasukan Belanda kocar-kacir dan melucuti senjatanya.

Dikutip dari jurnal 'Perjuangan MA Sentot dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan di Indramayu (1945-1949) karya Wahyu Iryana, Nina Herlina Lubis, dan Kunto Sofianto, MA Sentot merupakan tokoh sentral dalam peristiwa perang fisik untuk mempertahankan kemerdekaan di wilayah Indramayu, Jawa Barat. Dia mempunyai peranan penting untuk membangkitkan serta mengobarkan keberanian rakyat Indramayu melawan Belanda pada masa perang fisik (1945-1949).

MA Sentot lahir pada tanggal 17 Agustus 1925 dengan nama Muhammad Asmat di Plumbon Indramayu, tepatnya di Blok Lapangan Bola, Plumbon, Kabupaten Indramayu.

Dia merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari seorang ayah bernama H. Abdul Kahar dan ibu bernama Hj. Fatimah.

MA Sentot berasal dari keluarga priyayi. Sejak kecil dia lebih senang hidup merakyat daripada meninggi-ninggikan status priayinya tersebut.

Ia tidak memilih-milih dalam berkawan, serta mau berbaur bersama masyarakat yang secara ekonomi di bawah status keluarganya.

Dia menyadari benar keadaan rakyat Indonesia di bawah jajahan Belanda. Hal itu sangat mengganggu pikirannya. Namun, karena situasinya belum memungkinkan pada waktu itu, maka angan-angannya harus terpendam sambil menunggu waktu yang tepat untuk berjuang mengusir penjajah Belanda.

Masih berdasarkan jurnal yang sama, MA Sentot pernah menjalani tiga jenjang pendidikan formal yang bersifat umum. Pendidikan pertama yang dijalaninya adalah Hollands Inlandsche School (HIS), selama tujuh tahun, lulus tahun 1940. Dilihat dari angka sejarah, pada tahun kelulusan itulah tentara-tentara Jepang memasuki wilayah Indonesia.

Setelah Jepang masuk, semua sekolah yang bernuansa Belanda dibubarkan oleh mereka. MA Sentot baru menyelesaikan pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) setelah proklamasi kemerdekaan di tahun 1945. Pendidikan setingkat SMP ini ditempuh dalam waktu tiga tahun hingga lulus di tahun 1948.

Setelah itu, kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dijalaninya dengan mengambil SMA bagian A dan meraih kelulusan tahun 1954. Selain sekolah umum yang bersifat formal, dia juga sempat mengikuti pendidikan umum nonformal, yaitu kursus bahasa Inggris. Itulah sebabnya, dia cukup mampu berbahasa Inggris yang memang diperlukan dalam dinas kemiliteran.

Pendidikan militer pertama yang diikuti MA Sentot adalah Pembela Tanah Air (PETA) yang tak lain adalah bentukan Jepang. Setelah mengikuti pendidikan secara intensif, MA Sentot lulus pada tanggal 1 Desember 1943 dan memperoleh sebutan Shodantyo. Untuk pertama kalinya dia memperoleh kedudukan sebagai Dai Ni Daidang di Majalengka kemudian pindah ke Jatibarang. Setelah itu, sebagai Dai Ni Cudan di Patrol Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu.

Pasca proklamasi kemerdekaan, MA Sentot bergabung ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai Ketua BKR di Kandanghaur, Indramayu. Ketika BKR berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), maka MA Sentot pun dipercaya menjadi Komandan Kompi 3 Batalyon IV Resimen 11 Divisi II/Sunan Gunung Djati dengan pangkat Letnan Satu hingga pada puncaknya menjadi Perwira Menengah Diperbantukan Detasemen Markas Besar TNI Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel dan pensiun pada bulan September 1980.

MA Sentot merupakan sosok di balik dibentuknya Pasukan Setan pada masa kemerdekaan (1945-1947). Dibentuknya Pasukan Setan tak lepas dari dampak Agresi Belanda I. Kala itu Belanda melancarkan agresinya dengan kondisi pasukan yang prima, bersenjata lengkap, dan canggih. Demi menghindari penyerangan secara frontal oleh pihak Belanda, maka kesatuan resmi Tentara Republik Indonesia (TRI) diputuskan untuk dibubarkan.

Dalam kondisi yang demikian, seluruh prajurit dari tentara Republik diinstruksikan untuk berpencar dan melanjutkan perjuangan dengan membentuk kelompok-kelompok gerilya bersama rakyat di berbagai tempat, sembari melakukan konsolidasi antar sesama laskar-laskar perjuangan.

Karir MA Sentot bersama Pasukan Setan mulai menanjak sejak didaulat menjadi komandan kesatuan gerilya wilayah Indramayu. Beberapa pertempuran untuk menggagalkan konvoi pasukan Belanda di antaranya adalah pertempuran Bangkir, Pertempuran Sindang, pertempuran Waledan, Pertempuran Bunder dan daerah-daerah lain di Indramayu yang semuanya dimenangkan oleh MA Sentot. Pertempuran yang paling terkenal adalah yang berada di Jembatan Bangkir.

Selama Perang Revolusi Fisik 1945, MA Sentot tampil sebagai pejuang yang berada di garis depan pertempuran. Dia memimpin berbagai penyerangan ke markas-markas tentara Belanda, memutus mata rantai pasukan Belanda, menggempur pos-pos markas Belanda di setiap distrik militer di Indramayu dan menggagalkan logistik perang Belanda. Tujuannya untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan mengusir penjajah.

Perjuangan gerilya MA Sentot di Indramayu diakhiri ketika Indonesia diakui kedaulatannya secara de jure dan de facto 27 Desember 1949 oleh Belanda dan dunia Internasional. Setelah itu, MA Sentot naik pangkatnya menjadi Mayor dan menjabat sebagai Komandan Batalyon A Divisi Siliwangi.

Kemudian MA Sentot naik menjadi Komandan Detasemen Subsistensi KMKB Bandung di tahun 1951. Setelah itu, ia menjadi Staf TT III Siliwangi di tahun 1957, Siswa SSKAD di tahun 1957 dan di tahun yang sama naik pangkatnya menjadi Letkol.

Setelah lulus SSKAD, dia ditempatkan di Kalimantan Selatan, menjadi Komandan Batalyon 604 di Kotabaru Kalimantan Selatan dan menjabat Irtepe Koanda Kalimantan hingga menjadi Asisten II Deyah Koanda serta pernah mewakili Kepala Staf Deyah Koanda.

Pada Desember 1961, dia dipindah tugaskan dan ditempatkan sebagai Pamen SUAD III Mabesad di Jakarta. Pada Maret 1963, dia ditugaskan di Operasi Karya menjabat Asisten III dan Juni 1966 dipindahkan kembali ke Mabesad. Pada Oktober 1969, pangkatnya naik menjadi Kolonel, pensiun tahun 1980 dengan pangkat terakhir Kolonel.

Setelah pensiun, MA Sentot kembali ke tengah masyarakat dan tinggal di Desa Bugel, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu. Beliau wafat pada tanggal 6 Oktober 2001 di usianya yang ke 76  tahun.  Berkat jasanya sebagai pahlawan perang kemerdekaan, dia dimakamkan di TMP Cikutra Bandung.

MA Sentot tercatat memiliki sembilan orang anak. Pernikahannya yang pertama dengan Hj. Siti Aliyah pada tanggal 8 Mei 1946 telah memberinya lima orang anak. Sementara pernikahannya yang kedua dengan Hj. Faidah pada tanggal 12 Februari 1971 memberinya empat orang anak. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES