Peristiwa Daerah

Fasilitas Publik Rusak Akibat Demo UU Cipta Kerja, Ini Catatan Akademisi IAIN Ternate

Minggu, 11 Oktober 2020 - 09:35 | 128.04k
Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, Rinto Taib. (Foto: Iwan Marwan/TIMES Indonesia)
Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, Rinto Taib. (Foto: Iwan Marwan/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, TERNATE – Perusakan fasilitas publik di Kota Ternate saat aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja pada, Kamis (08/10/2020) kemarin, menuai pro dan kontra. Pasalnya, ada sebagian masyarakat yang  mengecam perusakan fasilitas tersebut dengan nada rasis.

Akademisi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, Rinto Taib mengatakan, apakah mahasiswa memang diinstruksikan untuk melakukan perusakan fasilitas publik saat aksi demonstrasi? atau perusakan itu bagian dari ekspresi yang dilakukan secara spontanitas.

Menurutnya, mahasiswa yang ikut aksi tersebut sebenarnya terpanggil secara moral. Mahasiswa tak sekedar menjadi scholar (di balik meja) namun juga harus mampuh menjadi aktivis (parlemen jalanan).

"Sejak menjadi dosen pada tahun 2001 hingga sekarang. Pilihan meliburkan mahasiswa yang hendak mengikuti mata kuliah saya, saat bertepatan dengan aksi demonstrasi sudah menjadi hal wajib. Karena mengingat latar belakang saya pribadi semasa menjadi mahasiswa juga demikian," jelas Rinto kepada TIMES Indonesia, Jum'at (09/10/2020).

Ia menilai, persoalannya adalah ketika aksi di lapangan, mahasiswa sering melakukan aksi perusakan fasilitas dan sejenis (itupun jika benar mereka mahasiswa). Maka, serentak mahasiswa disalahkan dengan berbagai kecaman dan tuduhan. Dari predikat kampungan, gagal paham substansi aksi, hingga biang keresahan jika tak mau disebut kerusuhan.

Dia mengungkapkan, sebagai orang yang pernah bergumul dalam tradisi aktivisme, ada beberapa alasan sosioiogis yang mendorong seseorang atau sekerumunan masa aksi mengekspresikan amarah dan kekesalan mereka.

"Kesemuanya adalah mengerucut pada satu tujuan yaitu merindukan kejayaan dan tatanan yang lebih baik meskipun yang dilakukan tersebut dinilai anti mapan, anarkis (seperti pengrusakan taman kota) bahkan subversif," imbuhnya.

Walaupun begitu, ia mengatakan dirinya tak bermaksud memposisikan diri sebagai pribadi yang membela atau memihak mahasiswa dalam aksi demonstrasi yang diwarnai tindakan perusakan yang terjadi di Ternate. Namun, menurutnya akumulasi kerugian itu tak sebanding dengan keputusan DPR RI yang fatal terkait dengan UU Cipta Kerja tersebut.

"Tentu tak seberapa nilai kerusakan pohon dan tempat duduk jika disandingkan dengan biaya kuliah yang mahal khususnya rakyat kelas bawah dan penderitaan rakyat akibat regulasi yang diciptakan. Karena tak hanya buruh atau kelas pekerja yang jadi korban, melainkan alampun dikorbankan demi investasi dan akumulasi pemilik modal kapital," ucapnya.

"Mereka yang berjuang demi rakyat banyak tak berpikir soal nyawa yang dipertaruhkan. Tubuh yang bersimbah darah, bahkan memori kolektif kita pun masih terekam jelas tragedi penculikan, pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu dan kontroversial hingga kini semata-mata untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa tanpa penindasan," tambah Ketua PA GMNI Kota Ternate itu.

Dia menganggap, benturan aparat keamanan dengan masa aksi dengan tindakan represif yang terjadi adalah juga bukan sebuah kapantasan pemegang otoritas yang bernama Negara. Hal itu dapat dinilai seolah cenderung melindungi pejabat yang menyengsarakan rakyat dibalik UU Cipta Kerja yang ditetapkan DPR RI dan Pemerintah.

"Negara kita secara perlahan bahkan gencar telah dikuasai korporasi. Tak hanya buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota dan desa melainkan bisa diprediksi akan merambah secara perlahan ke seluruh lapisan sosial termasuk aparatur Negara," katanya.

Bisa saja suatu saat para PNS akan mengalami nasib yang sama. "Demi investasi dan keinginan para pemilik modal, para abdi Negara (termasuk ASN) siap sedia digiring ke gerbang kesengsaraan, berdalih berbasis kinerja dan restrukturisasi ala swasta. Maka kita bisa bayangkan dana pensiun kita ditiadakan karena dianggap pemborosan alias mubazir," ujarnya..

"Tidak ada cuti termasuk masa cuti melahirkan yang dibatasi mungkin berlaku hanya dua hari. Bagaimana jika yang melahirkan menjalani prosesi operasi yang butuh waktu lama untuk pemulihan. Atau tunjangan ditiadakan termasuk TTP, termasuk gaji 13 dan 14. Dan juga penggajian didasarkan per jam dan catatan kinerja yang terkontrol dan diawasi ketat," katanya menyoal akibat UU Cipta Kerja ini.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES