Kopi TIMES

Mau Ikut Demo,  Apakah Harus Baca RUU Dulu?

Jumat, 09 Oktober 2020 - 21:38 | 172.03k
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

TIMESINDONESIA, MALANG – Sejak tahun 2019 (demo RUU KPK) dan tahun ini (demo RUU Ciptakerja) pertanyaan yang diajukan pada orang yang akan demo (demonstrasi) antara lain, “Mau demo? Emangnya udah baca RUU-nya?” Pertanyaan ini mengandung sindiran bahwa ngapain capak-capek demo kalau belum baca RUU-nya? Terus yang akan didemo bisa diberondong pertanyaan yang intinya bisa mematahkan semangat untuk ikut demo. Ini setidaknya yang saya amati.

Pertanyaan tersebut biasanya muncul dari orang yang tidak setuju kalau demo dilakukan. Selain berasal dari kelompok yang tidak suka demo, bisa berasal dari pendukung pemerintah (karena yang didemo terkait kebijakan pemerintah), kepentingan politik tertentu, atau sok ingin berbeda dari kebanyakan pendapat. Intinya tidak suka demo dengan alasan tertentu atau sudah apatis dengan keadaan.

Lalu muncul sindiran bagi para penanya, “Memangnya presiden, anggota DPR, para menteri itu juga sudah membaca detail RUU-nya?”. Sebuah jawaban dengan pernyataan untuk menyindir para kelompok yang mematahkan semangat mereka yang mau  ikut demo. Juga, “Memangnya kamu menolak demo juga sudah baca RUU-nya pula?” Lalu,siapa yang mau bersusah payah membaca draft RUU Ciptakerja yang berjumlah hampir 1000 halaman itu?”

Tak Harus

Pertanyaan lagi, apakah seseorang yang mau demo itu harus membaca RUU yang menjadi sumber permasalahan dalam demo? Ini pertanyaan menarik karena ada “kepentingan” di balik pertanyaan itu. Bukan soal apakah seseorang sudah membaca atau belum. Substansinya bukan pada masalah tersebut. Jika adil, berikan naskah RUU ke orang yang akan demo. Bisa jadi orang yang mau demo itu belum membaca. Jadi, tidak terkesan menyudutkan.

Memang, seorang demonstran harus paham apa yang didemokan. Ini sangat penting dan perlu. Jadi demonya substansial dan tak sekadar ikut himbauan orang lain saja. Apalagi hanya dilandasi suka dan tidak suka. Demo hanya pilihan. Mau demo silakan tidak juga tak apa-apa.

Jika saya ditanya seseorang apakah sudah membaca draft RUU Ciptakerja dan apakah seorang demonstran itu harus membaca draft yang menjadi masalah sebelum demo? Saya pribadi akan menjawab tidak harus. Apalagi naskahnya berjumlah 900-an halaman lebih.

Mengapa? Para demonstran tidak perlu membaca langsung daft naskah RUU. Mereka bisa mendapatkan informasi dari orang lain. Ini misalnya. Lalu muncul pertanyaan apakah informasi  dari pihak lain itu bisa dipertanggungjawabkan? Apakah mereka tidak mendapatkan informasi  bias dari media sosial yang penuh dengan kepentingan itu? Ini misalnya. Bisa jadi iya, bahwa mereka punya peluang mendapatkan informasi yang tidak akurat.

Namun demikian, bukankah mereka juga bisa mendapatkan informasi yang sangat valid? Misalnya, bukankah Muhammadiyah (MU) dan Nahdlatul Ulama (NU) juga sudah memprotes omnibus law tersebut? Bahkan ada dari tokoh agama Kristen? Juga, bukankah banyak pakar yang kredibel menyuarakan keberatan atas RUU itu, jauh sebelum disahkan oleh DPR? Sementara DPR memandang sebelah mata RUU yang diajukan pemerintah tersebut dengan tetap mengesahkan di tengah minimnya uji publik karena protes sebagian masyarakat?

Pertanyaan lain, apakah dalam MU dan NU itu hanya diisi orang-orang sembarangan yang sekadar mementingkan emosi dan rasa tidak suka? Apakah sebelum mengeluarkan pernyataan dua organisasi tersebut tidak mempelajari detail? Apakah sedemikian buruk dan gegabahnya dua organisasi Islam di atas dalam menyikapi RUU Ciptakerja?

Saya tentu yakin bahwa sebelum mengeluarkan pernyataan sudah didahului dengan mempelajari secara detail, mendiskusikan, dan mempertimbangkan untung ruginya bagi masyarakat. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang besar tentu para pimpinannya tidak akan gegabah. Apakah kita menyangsikan pernyataan dua pimpinan organisasi itu?   Dalam organisasi tersebut tentu “dihuni” oleh orang-orang yang mumpuni sebelum menentukan sikap. Karena punya massa yang banyak, tentu pernyataan itu tidak akan gegabah dikeluarkan. Masalahnya, massanya sendiri yang akan menjadi taruhan. Apalagi ini berurusan dengan kepentingan atau berlawanan dengan negara juga.

Kemudian apakah seseorang juga dengan mudahnya menyangsikan pendapat para pakar hukum, keagamaan atau sosial politik terkait RUU Ciptakerja? Ini juga misalnya. Tentu mereka berbicara dengan ilmunya yang lebih dari cukup. Meskipun juga tetap tak menutup kemungkinan sebagian pakar itu ada yang diliputi kepentingan. Asumsi ini selalu ada. Tetapi masyarakat umum tentu tetap bisa berpikir dan mempertimbangkan baik buruknya.

Ini analogi yang mungkin tidak tepat tetapi tidak seratus persen salah. Bisa juga dijadikan teladan. Misalnya begini.  Seorang santri punya kecenderungan percaya apa yang dikatakan kyai. Misalnya mengaji soal tafsir sebuah kitab. Tafsir ini tentu sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman dan bacaan kyai tersebut.

Ya, minimal pengalaman saya saja saat mengaji di PP Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta. Pengalaman teman saya juga berbeda. Kita waktu itu percaya penuh atas tafsir dan bacaan pak Kyai. Disamping dia menguasai kitab-kitab kuning juga menguasai kitab-kitab modern karena pernah belajar di Iraq. Bacaannya juga majalah Ulumul Qur’an, sebuah majalah pemikiran keislaman modern yang waktu itu punya kredibilitas tinggi. Saya dan teman-teman percaya saja pada apa yang dikatakan pak Kyai tersebut karena wibawa dan ilmunya.

Tentu orang bertanya, lha itu kan Kyai? Bagaimana dengan pakar yang menafsirkan RUU? Kyai saja bisa tetap terbuka peluang melakukan khilaf. Namanya saja manusia. Apalagi kyai yang sudah berususan dengan politik. Tetapi apakah itu lantas membuat seseorang menggeneralisasi Kyai selalu penuh dengan kepentingan? Ada memang, tetapi tak seluruhnya bisa disimpulkan begitu.

Pakar juga tak jauh berbeda. Tetap ada kesalahan tafsir dan kepentingan yang menyertainya. Sekali lagi ini sangat mungkin terjadi. Namun apakah seseorang juga salah menjadikan pernyataan seorang pakar yang kredibilitasnya bisa dipertanggungjawabkan sebagai rujukan? Para demonstran tentu sah-sah saja menjadikan pernyataan pakar dan para pemimpin keagamaan sebagai rujukan, meski tanpa membaca draft RUU-nya.

Fokus Substansi

Selalu terjadi perdebatan. Kita masih hidup di dunia dan negara yang belum mencapai konsensus yang kuat. Ini sangat mungkin terjadi karena salah satu dampak dari residu pasca   Pemilihan Presiden (Pilpres). Residu tersebut masih terbawa sampai sekarang.  Ini kenyataan riil yang tak bisa dibantah. Tidak percaya? Lihat ulah para komentator di media sosial saja. Hanya mereka yang berpikir mendalam lebih memilih diam, bukan sekadar membela kelompok atau “junjungannya” dengan membabi buta. Tak sedikit  pula yang sudah berputar haluan.

Fokus utama tulisan ini bukan mempermasalahkan demonstrasi itu perlu atau tidak. Titik tekannya pada apakah seorang demonstran itu harus membaca RUU yang sedang dipermasalahkan atau tidak. Ada asap pasti ada api. Tak banyak orang yang mau fokus pada api tetapi terlena dengan hiruk pikuk pada asapnya.

*) Penulis: Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

__________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES