Kopi TIMES

Mempertanyakan Kembali Ruang Publik untuk Perempuan

Kamis, 01 Oktober 2020 - 21:27 | 138.26k
Indah Sari Rahmaini, Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Gadjah Mada
Indah Sari Rahmaini, Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Gadjah Mada

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTABERBICARA mengenai perempuan merupakan sebuah topik menarik dan kompleks untuk dibahas dari aspek apapun. Perempuan adalah insan yang berwarna. Keunikannya, estetika, kecantikan, kelemah-lembutan, hingga power dimiliki oleh seorang perempuan.

Sayang, indahnya perempuan dengan segala macam penghormatannya tak ayal menciderai power-nya sendiri sebagai seorang manusia. Berbagai aspek juga turut menghambat penyaluran power yang dimiliknya. Pertentangan pada ruang agama, budaya, stereotype masyarakat, pendidikan, hingga lembaga perkawinan. 

Dahulu kala, acap kali terdengar cerita pahlawan-pahlawan yang memperjuangkan hak nya sebagai perempuan. Ada Kartini atas wujudnya dalam menciptakan kesetaraan hak atas pendidikan kepada perempuan. Ada pula Rohana Kudus yang terkenal akan keberaniannya melawan ketidakadilan di Minangkabau. Banyak bukti atas aktualisasi manifestasi power dari seorang perempuan.

Perjuangan itu ternyata tidak cukup mampu untuk mendobrak gap perempuan di ruang publik hingga sekarang. Perempuan masih tersekat oleh dogma perspektif fungsionalis dalam membatasi gerak perempuan yang sejatinya didasari atas pembagian fungsi dalam sebuah keluarga pada masyarakat tradisional. Ayah bertugas untuk mencari nafkah dan bergerak untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sedangkan ibu bergerak pada aspek domestik. Ibu terlibat dalam pengasuhan anak, pemberian fungsi proteksi, afeksi, dan mengatur kebutuhan rumah tangga. 

Hari ini kita telah hidup pada era modernitas yang memberikan ruang selebar-lebarnya untuk perempuan. Epitisme tentang keterbatasan perempuan sudah dinormalisasi oleh reproduksi pengetahuan dalam memberi tempat yang layak bagi perempuan. Ruang agama juga sebenarnya menafsirkan bahwa perempuan memiliki hak untuk mengakses sarana publik disamping tetap konsisten pemenuhan aspek domestik. 

Kesadaran di Atas Kertas

Sayangnya, hal ini hanya merupakan sebuah teori diatas kertas. Masyarakat cukup ahli dalam melakukan deklarasi kesetaraan, namun masih terjerat dengan kekangan atas apa yang dianggap menjadi sebuah kodrat bagi perempuan itu sendiri. Ketika membahas ruang publik, secara otomatis kita setuju bahwa hingga saat ini perempuan hanya memiliki keleluasan sebagai second gender.

Kesetaraan gender, emansipasi wanita, serta wacana besar lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan akan akses ruang publik bagi perempuan sudah sangat banyak diwacanakan secara struktural. Tetap saja perempuan mengalami kendala pada aspek remeh temeh yang menyebabkan tujuan struktural tak terpenuhi. Atas kendala itulah yang membuat ruang berkekspresi untuk perempuan masih jauh dari semangat kesetaraan sehingga potensi besar yang dimiliki perempuan tidak tersalurkan. Perempuan terhegemoni oleh laki-laki. Pemain utama tetaplah laki-laki, perempuan hanya diberikan akses jika sudah tidak ada laki-laki yang bisa, atau lebih buruknya hanya mendapat pekerjaan yang lebih rendah daripada laki-laki. 

Menurut Foucalt, pengetahuan lebih menjadi produk dari kekuasaan. Kekuasaan menciptakan realitas. Realitas menjadi pegangan hidup masyarakat yang telah teroganisir secara baik. Budaya patriarkhi yang masih kental pada banyak aspek membuktikan hegemoni laki-laki terhadap perempuan, perempuan yang menjadi subordinasi dari laki-laki, dan perempuan hanya sebatas obyek dan kurang sarana untuk berpartisipasi secara baik. Anggapan untuk wanita karir yang bobrok norma, perempuan yang bekerja diranah pekerjaan laki-laki bukanlah perempuan ideal.

Pengetahuan tersebut membuat perempuan seakan tidak berhak untuk berekspresi atas ikhtiar yang dilakukan. Setelah lama berusaha untuk orientasi hidup, perempuan tetap saja hanya sebatas “rumah” bagi laki-laki. Perempuan seringkali tidak mendapat dukungan social. Di jalan, perempuan yang sering dijadikan obyek godaan oleh laki-laki. Bukan laki-lakinya yang menjadi sumber masalah, namun gestur perempuan yang disalahkan. Maraknya kasus kekerasan dan pemerkosaan, perempuan dianggap sebagai penyebab daripada orang yang memperlakukan.

Padahal kenyataannya, perempuan yang menjadi korban karena dianggap lemah dan terhegemoni oleh kekuasaan laki-laki. Mirisnya, sesama perempuan juga tidak memberikan dukungan sosial kepada korban. 

Sayangnya hegemoni laki-laki atas perempuan dianggap normal dan merupakan hal yang wajar dalam masyarakat. Kadangkala penundukan dan penguasaan memang dilakukan melalui cara-cara yang represif, menekan sehingga tampak begitu jelas berlangsungnya proses dominasi itu.

Akan tetapi, penundukan melalui cara-cara represif tidak selalu otomatis menghasilkan reaksi perlawanan karena berlangsungnya relasi kekuasaan yang asimetris. Di lain sisi, penundukan dan penguasaan tidak dilakukan melalui cara-cara kekerasan, tetapi secara hegemonik.

Artinya penundukan tidak dirasa sebagai suatu penundukan. Berlangsungnya proses itu hanya dapat diketahui melalui efek-efeknya. Ia beroperasi pada level kesadaran. Beroperasinya kekuasaan tertanam dalam tubuh individu atau dengan kata lain, proses penundukan telah dinormalisasikan. Penundukan terhadap tubuh tidak dilakukan tanpa kepentingan, melainkan sebagai suatu usaha untuk melakukan kontrol sosial demi kepentingan tertentu. Kontrol sosial itu mengandaikan adanya penundukan dan pengawasan perilaku individu dan masyarakat.

Berlangsungnya kekuasaan yang hegemonik tidak lagi menghadirkan pengawasan secara eksternal karena ia telah diinternalisasikan dalam diri objeknya. Jadi, memang tidak mudah menganggap ini menjadi suatu masalah ketika ia dianggap given, taken for granted, dan hadir seolah sebagai suatu yang normal.

Pada era demokrasi seperti sekarang, setidaknya demokrasi dan feminisme memiliki kesamaan, yakni mendobrak pintu diskriminasi menuju masyarakat yang adil dan terbuka. Kehadiran feminisme juga beriringan dengan demokrasi yang diagungkan masyarakat millennial dalam mengemukakan pendapat. Namun, sepertinya feminisme tidak mampu untuk melunturkan pengetahuan masyarakat untuk bisa juga memiliki keterbukaan atas hak perempuan karena sudah benar-benar terbentuk sejak ratusan tahun lalu sekaligus menjadi kesulitan dan tugas besar dari berbagai pihak.

Perempuan dalam perjalanannya berangkat dari pembahasan bagaimana menunjukkan aspek fungsionalis tidak dapat memadai dalam membahas realitas sosial gender. Lebih dari itu, masalah yang paling besar dan tertanam kuat adalah penormalisasian sesuatu yang sebenarnya abnormal karena epitisme dalam irisan apa yang terjadi hari ini dan berpengaruh terhadap hal-hal yang telah diproduksi menjadi sebuah pengetahuan sejak dulu. Produksi pengetahuan yang telah memakan waktu yang cukup lama tidaklah mudah tercabut hanya karena sebuah kebenaran telah ditemukan. Hal ini dikarenakan kekuasaan sepenuhnya adalah milik dari sebuah pengetahuan yang telah mengikat tubuh subjektif dari pengetahuan itu sendiri.

***

*) Penulisn Indah Sari Rahmaini adalah Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Gadjah Mada.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

________
*)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES