Kopi TIMES

"Memainkan" Kejahatan Pilkada

Kamis, 01 Oktober 2020 - 20:28 | 73.45k
Bambang Satriya, Guru Besar Universitas Merdeka Malang dan penulis buku Pancasila.
Bambang Satriya, Guru Besar Universitas Merdeka Malang dan penulis buku Pancasila.

TIMESINDONESIA, MALANG – Siapa tidak kenal Albert Enstein, kimiwan kenamaan yang jasanya di bidang keilmuan tidak sedikit. Ide-ide dan temuan-temuannya telah banyak dikutip, dijadikan rujuan, atau sumber pencerahan keilmuan, termauk di Indoensia, meski dalam tataran realitas, masih banyak yang belum mengamalkannya. 

Dan senyatanya, terkadang pertimbangan-pertimbangan politik dan ekonomi, mudah mengalahkan pertimbangan rasional-keilmuan atau konsiderasi etik, yang semestinya dalam kehidupan bangsa manapun di dunia, termasuk Indoneis, wajib dikedepankan.

Esntein pernah mengajarkan pada kita, bahwa “dunia ini semakin tidak aman dan damai untuk dihuni bukan karena ulah penjahat, melainkan akibat sikap kita yang membiarkan kejahatan terjadi (berjaya)”. Kejahatan tidak akan menjadi berdaya dan berjaya, jika tidak kita biarkan merajalela dan “menggurita”.

Pernyataan itu sebenarnya mengajarkan kepada kita supaya tak menjatuhkan sikap diam, acuh, atau bisu terhadap kejahatan yang terjadi di masyarakat.  Kita berkewajiban menyuarakan dan kalau perlu melakukan gerakan ”oposisi” terhadap setiap bentuk kejahatan yang terjadi, apalagi terhadap jenis kejahatan yang jelas-jelas menjadi racun yang mematikan masyarakat.

Oleh Enstein itu, kita diharuskan “melek”, cepat tanggap, gampang merespon, atau cerdas terhadap berbagai bentuk perilaku kejahatan, pasalnya membiarkan kejahatan unjuk gigi dan berdaya, sama halnya dengan membuka kran bersemainya kejahatan-kejahatan serius seperti kejahatan yang terbilang istimewa (extra ordinary crime).

Salah satu jenis kejahatan yang tergolong istimewa adalah kejahatan politik (political crime). Kejahatan ini bisa saja menjangkiti  pesta demokrasi lokal pemilihan umum kepala daerah (pilkada) akhir 2020 (jika tidak ditunda) ini,. pasalnya pihak-pihak yang bermain-main atau mencoba  mengail keuntungan besar dari pilkada sangatlah banyak, khususnya kalangan oportunis politik yang suka “memainkan” sesuatu yang jahat, ilegal atau tidak benar, yang nota bene berpola bermoral rendah atau yang memaksakan kemenangan atau kepentingan eksklusifnya  dengan segala macam cara.

Perlu kita sadari bersama, bahwa akar penyebab utama menguat, memberdaya, dan barangkali membudayanya kejahatan pilkada, di samping karena kehebatan dan kepiawaian pemain politiknya dalam menjalankan aksi-aksi kriminalisasi sistemiknya, juga akibat sikap kita yang mentolelir, cuek, kurang kritis, dan tidak benar-benar memelekkan mata “membisukan” diri untuk mengawasi sepak terjangnnya (penjahat pemilu). 

Apa yang dilakukan oportunis itu sebenarnya menjadi cermin wajah penyelenggara pilkada kita selama ini (di masa lalu), yang memang masih rentan membiarkan dan memberi lobang menganga  “penyakit oportunis pilkada” berjaya dan sukses menjalin kolaborasi, bahkan network  yang sistemik dan diduga kuat kriminalistik.

Para oportunis pilkada itu tidak akan berani melebarkan sayap-sayap kekuataan dan “keperkasaannya”, manakala sikap dan geraknya terus berada dalam pengawasan kita secara kritis dan militan. Potret negara-negara lain yang terkenal sebagai negara bersih dan berwibawa, khususnya ketika menyelenggarakan pemilu, tidak lepas dari partisipasi publik yang tidak bisu atau membisukan diri dalam mengawasi dan menilai tingkat akuntabilitas kinerja pemerintah, khususnya saat menjadi penyelenggara suksesi di tingkat apapun.

Sayangnya, akibat sikap diam dan budaya “bisu” kita selama ini terhadap akselerasi kejahatan politik, konstruksi riil produk pilkada lebih sering diragukan. Kita gampang menunjukkan sikap yang salah dalam memilah atau memilih perlakuan terhadap pelaku kejahatan politik, padahal seharusnya kita memperlakukannya secara egaliter dan berkeadilan. 

Misalnya kalau kepada pencuri ayam, sandal, sepatu, dan barang-barang yang tingkat kerugiannya kecil, kita langsung mereaksinya dengan memperlakukan penjahat ini sebagai  penjahat yang pantas dihabisi (dihukum pukul secara beramai-ramai), sedangkan kalau kepada sekumpulan pelanggar norma pemilu atau “orang-orang bayaran”,  yang bisa membalik data atau angka, kita terkadang kurang ambil peduli.

Menyikapi kemungkinan terjadinya akelerasi dan bahkan booming kejahatan bernama kecurangan atau manipulasi dalam pilkada ini, rakyat tidak boleh hanya diam atau “membisu” usai menjalankan hak mencontrengnya. Rakyat wajib melek terus untuk mengawasi setiap tahapan pilkada, bukan semata-mata demi kandidat yang didukungnya, tetapi demi terjaganya pesta demokrasi yang sakral dan mewujudkan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan sekelompok  orang, golongan, dan partai  penggembos kejujuran pemilu.

Rakyat harus bersuara lantang atau “berteriak sekeras-kerasnya” ketika mengetahui ada tanda-tanda atau menemukan bukti permulaan terjadinya kejahatan pemilu, kecuali rakyat memang mau ikut tergelincir mengamini kejahatan sebagai bagian dari realitas perjalanan kesejarahan bangsa ini. 

***

*)Oleh:  Bambang Satriya, Guru Besar Universitas Merdeka Malang dan penulis buku Pancasila.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES