Kopi TIMES

Covid-19 dan Ujian Ketangguhan Mental

Selasa, 29 September 2020 - 23:17 | 117.91k
Deni Darmawan, Dosen Universitas Pamulang.
Deni Darmawan, Dosen Universitas Pamulang.

TIMESINDONESIA, PAMULANG – Enam bulan sudah masyarakat Indonesia berjibaku melawan terpaan keganasan Covid-19. Sekitar ratusan ribu orang yang sudah terinfeksi dan puluhan ribu yang meninggal. Cukup mencengangkan dan mengernyitkan dahi karena jumlah yang terus melonjak tanpa batas. Dampaknya pun sangat serius dari berbagai sektoral, terutama sektor kesehatan yang melumpuhkan semua sektor lainnya, tak terkecuali sektor ekonomi dan sosial. 

Indonesia terus berpacu melawan pandemi, agar ekonomi dan kesehatan seiring sejalan. Jumlah penduduk miskin makin meningkat seiring munculnya orang miskin baru karena banyak di PHK dan usaha yang gulung tikar. 57.000 kasus perceraian meningkat tajam khususnya di Jawa Barat. Faktor ekonomi menjadi hal yang utama terjadi perceraian. Memakai narkoba seolah-olah menjadi jalan pintas agar beban yang dialami semakin mereda. Sejumlah artis pun ditangkap dengan berbagai alasan, mulai karena tidak ada jadwal shooting atau manggung di masa pandemi, maka alasan memakai narkoba untuk menghilang kepenatan di rumah, depresi dan stres yang tak berujung. 

Harus kita akui, hantaman keras karena Covid-19 membuat mental kita terguncang, tekanan demi tekanan hingga muncul kepenatan, depresi, dan stress berkepanjangan karena Covid-19 tak kunjung usai. Masalah yang lama belum selesai ditambah lagi masalah pandemi, hingga semakin terpuruk dan rentan hingga mengalami paronoia, dan akhirnya ingin mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.

Kompleksnya masalah yang dihadapi, ditambah munculnya Covid-19 menambah beban berat dalam hidup. Covid-19 bukan satu-satunya masalah yang dihadapi, tapi masalah-masalah sebelumnya yang semakin berat di masa pandemi hingga bunuh diri menjadi opsi terakhir. Bagi pasien positif Covid-19 tentu menjadi ujian yang sangat berat. Terpuruknya mental para pasien akan sulit berfikir positif dan ini bisa menyebabkan lama untuk sembuh. Pasien Covid-19 yang masih dalam perawatan mengakhiri hidup umumnya melompat dari ruang perawatan yang tinggi. 

Bunuh diri juga dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tidak terinfeksi Covid-19 karena tekanan hidup yang semakin menjadi. Selama PSBB diberlakukan, himpitan ekonomi membuat dada terasa sesak. Tumpukan masalah yang sudah semakin berat, dan masalah yang semakin komplek, maka bunuh diri menjadi jalan terakhir untuk mengakhiri segala permasalahan. Mental kita semua diuji, seberapa tangguh kita bisa bertahan menghadapi Covid-19. Pandemi menjadi sumber stress dan depresi yang lengkap bagi masyarakat.    

Penyebab bunuh diri umumnya berasal dari gabungan persoalan. Persoalan biologi, psikologi, ekonomi, dan sosial. Secara biologi, seseorang rentan bunuh diri ketika ketidakseimbangan zat kimia di otak dengan senyawa kimia dalam tubuh yang bertugas untuk menyampaikan pesan antara satu sel saraf ke sel saraf target yang memainkan peran otak dalam mengatur kinerja berbagai sistem tubuh (neurotransmitter) jadi terganggu, terutama pada hormon serotonin, yaitu hormon yang memberikan suasana hati yang tenang dan nyaman. Jika hormon ini hilang maka akan suasana hati akan semakin kacau dan depresi semakin dalam. Ketidakseimbangan serotonin memiliki pengaruh gangguan suasana hati yang mengarah pada stress bahkan depresi.

Permasalahan itu akan bersinggungan secara psikologi, akan muncul rasa marah, rasa cemas, rasa kecewa hinga stress dan depresi. Permasalahan ekonomi serta beban hidup yang semakin berat seperti  kehilangan pekerjaan, biaya hidup yang semakin tinggi, penyakit yang tak kunjung usai, hingga terputusnya kontak fisik dan tidak adanya dukungan sosial membuat resiko peluang bunuh diri semakin besar. Selama Covid-19 bercokol di Indonesia, malaikat Izrail sudah mencabut nyawa sekitar sembilan ribu lebih manusia. Tempat pemakaman di TPU Pondok Ranggon Jakarta Timur sudah mulai penuh, dan akan dicari tempat pemakaman lain sebagai alternatif jika di TPU Pondok Ranggon penuh.

Dikala pendemi saat ini, beban hidup semakin bertubi-tubi dan semakin kompleks. Tuhan sedang menguji hambanya, seberapa tangguh mentalnya dalam menghadapi pandemi. Dukungan serta kepedulian keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan bagi pasien positif Covid-19 dan orang-orang yang mengalami kesusahan. Mental mereka akan terpuruk jika diberikan stigmatisasi dan dijauhkan. 

Bunuh diri merupakan masalah yang kompleks, bukan saja masalah kurang iman. Pemicu bunuh diri bukan disebabkan karena masalah tunggal, namun selama pandemi kasus bunuh diri bermunculan dan semakin banyak, tidak hanya didalam tapi juga luar negeri. Covid-19 hanyalah salah satu penyebabnya.

Buruknya sistem bunuh diri di Indonesia tidak ada data yang pasti berapa jumlah bunuh diri, baik selama pandemi maupun sebelum pandemi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2016 memperkirakan kematian akibat bunuh diri di Indonesia mencapai 3,4 per 100.000 penduduk. Jika penduduk Indonesia pada tahun 2019 lalu mencapai 267 juta jiwa, diperkirakan sekitar 9.000 orang bunuh diri atau satu orang setiap jam.

Tanda peringatan bunuh diri seseorang jika mental sudah terpuruk maka akan terlihat pada dirinya yang selalu membicarakan tentang bunuh diri, menyakiti diri, membenci dirinya, merasa putus asa jika terjebak pada masalah, menarik diri dari keluarga dan lingkungan sosialnya, bertindak merusak diri dengan memakai narkoba dan minuman keras, emosi yang tak terkendali, memberi barang-barang pribadinya ke orang lain, dan mengucapkan perpisahan atau selamat tinggal kepada orang-orang seolah-olah tak bertemu lagi.

Memaknai Hidup

Hidup dikala pandemi bukanlah akhir dari kehidupan, walaupun belum ada kejelasan kapan akan berakhir. Indonesia harus lebih waspada terhadap bunuh diri dan gangguan kesehatan mental dimasa pandemi. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dari hasil kuesioner yang disebar selama pandemi bahwa sekitar 56,7 persen responden mengalami gejala depresi, sekitar 58,9 persen responden berfikir tentang kematian dan menyakiti diri sendiri, bahkan sekitar 15,4 persen mengalami pikiran itu setiap hari.

Pandemi memang menjadi pukulan hebat hingga mengalami depresi dan stress berat. Enam bulan sudah kita lalui, harusnya mental kita sudah jauh lebih kuat dan tahan banting. Sejatinya, hidup di tengah pandemi merupakan ujian dan cobaan. Sisi spiritualitas juga menjadi penopang dalam menghadapi ujian Covid-19. Memaknai hidup di tengah pandemi merupakan sebuah hikmah dan pelajaran hidup yang bisa kita ambil. Karena pada hakikatnya, manusia juga akan mati tanpa disegerakan. Dengan memaknai hidup maka hidup kita akan berarti walaupun hidup hanya sekali.  

***  

*)Oleh: Deni Darmawan, Dosen Universitas Pamulang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES