Kopi TIMES

Dari Tewasnya Aktivis Hingga Tak Dapat Keadilan: Catatan Setahun Tragedi Sedarah

Selasa, 29 September 2020 - 22:02 | 123.55k
Falihin Barakati, Tim Kaderisasi Nasional PB PMII yang juga kader PMII Sulawesi Tenggara.
Falihin Barakati, Tim Kaderisasi Nasional PB PMII yang juga kader PMII Sulawesi Tenggara.

TIMESINDONESIA, SULAWESI – Tewasnya seorang aktivis dalam sebuah pergerakan dan perjuangan menyuarakan aspirasi seperti menjadi hal yang biasa di Indonesia.

Di zaman orde baru misalnya, tinggal memilih: diculik-hilang, ditangkap, dipenjara bahkan dibunuh. Misalnya, Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari), aksi demonstrasi mahasiswa yang mendapat tindakan represif dari aparat pada tahun 1974 yang berujung pada kerusuhan massa dan ditahannya banyak aktivis saat itu.

Kemudian, ada Tragedi Trisakti, peristiwa penembakan terhadap mahasiswa pada saat melakukan demonstrasi pada 12 Mei 1998 yang berujung pada tewasnya beberapa mahasiswa. Belum lagi peristiwa penculikan terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi, sebut saja Widji Tukul.

Rentetan kejadian itu terjadi di era dimana kebebasan bersuara masih dibungkam. Lalu, bagaimana di zaman reformasi, dimana kran demokrasi mulai terbuka lebar? Ternyata masih saja ada. Mulai dari intimidasi, kekerasan hingga pembunuhan. Sekalipun, tak seseram di zaman orde baru.

Beberapa diantaranya adalah kasus pembunuhan Munir sang aktivis HAM pada tahun 2004. Selain itu ada juga pembunuhan Salim Kancil sang aktivis anti tambang pada tahun 2015. Dan, yang paling baru adalah tewasnya Randi-Yusuf, dua orang aktivis mahasiswa yang tertembak saat sedang melakukan aksi demonstrasi di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 2019 yang dikenal dengan tragedi “Sedarah” (September Berdarah).

Tentu, selain itu masih banyak lagi. Menurut data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) setidaknya ada 52 orang meninggal dalam demonstrasi sepanjang tahun 2019.

Mungkin inilah yang dimaksud oleh Munir dalam pernyataannya, bahwa karir tertinggi seorang aktivis bukan jabatan, tetapi mati. Sehingga mati bagi seorang aktivis di Indonesia adalah sebuah konsekuensi teringgi bagi perjuangan seorang aktivis. Tapi, hemat penulis ini adalah sebuah sinyal bahwa negara kita belum siap menghadapi suara-suara kritik para aktivis.

Negara dan aparatnya belum cukup bijak dalam menghadapi gerakan jalanan para aktivis. Para aktivis masih dipaksa untuk menghadapi tameng, pentungan, gas air mata bahkan senjata aparat hingga kekerasan fisik.

Selain negara dan aparat kita yang belum siap dan tidak cukup bijak, yang paling menyedihkan lagi adalah pengungkapan kasus tewasnya para aktivis tidak selalu tuntas. Terlalu kokoh tembok besar yang menghalangi. Sehingga korban dari pejuang keadilan ini, sulit rasanya mendapat keadilan di negara hukum ini. Ini juga yang terjadi pada kedua korban tewas dalam Tragedi Sedarah, Randi dan Yusuf. Sudah menjadi korban hingga tewas dalam menyuarakan kritik dan keadilan, ditambah sulit juga mendapat keadilan.

Tepat tanggal 26 September 2020, setahun sudah tragedi ini berlalu. Tetapi, belum ada titik terang yang menunjukkan siapa yang melakukan penembakan terhadap korban. Untuk sementara masih satu orang anggota kepolisian yang ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus penembakan Randi. Sementara untuk tewasnya Yusuf, masih tandatanya besar. Hampir tidak tersentuh. Keadilan belum ada bagi kedua almarhum. Bagi keluarga kedua almarhum. Bagi para aktivis secara umum.

Lalu, apakah hanya karena negara dan aparat belum siap dan belum cukup dewasa dalam menghadapi aktivis maka suara-suara kritik akan berhenti? Apakah hanya karena keadilan bagi para pejuang keadilan sulit didapatkan akan membuat aktivis berhenti dalam pergerakan menyuarakan keadilan? Saya rasa tidak.

Mengutip kata Widji Tukul sang aktivis korban penculikan, “pernah bibir pecah ditinju, tulang rusuk jadi mainan tumit sepatu, tapi tak bisa mereka meremuk kata-kataku”. Begitu pula kata Tan Malaka sang revolusioner Indonesia, “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi”. 

Belum selesai saya menulis catatan ini, saya kembali mendengar kabar, bahwa aksi peringatan setahun Tragedi Sedarah, Sabtu tanggal 26 September 2020, di depan Mapolda Sultra dibubarkan dengan menggunakan Helikopter kepolisian yang terbang rendah tepat di atas massa aksi peserta unjuk rasa. Massa aksi berhamburan akibat angin yang dihembuskan oleh baling-baling Helikopter tersebut. Ini merupakan cara dan gaya baru dalam mengendalikan dan membubarkan massa.

Makin kuat dugaan penulis, memang negara dan aparat kita belum siap dan belum cukup bijak dalam menghadapi aktivis di jalanan yang menyuarakan kritik dan keadilan. Ini adalah PR besar bagi negara dan aparatnya.

***

*) Oleh: Falihin Barakati, Tim Kaderisasi Nasional PB PMII yang juga merupakan kader PMII Sulawesi Tenggara.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES