Kopi TIMES

Memori dari Praha

Selasa, 29 September 2020 - 11:23 | 69.84k
Ichwan Arifin adalah Alumnus Pasca Sarjana MIP Undip, pegiat Sanggar Kebangsaan (Grafis: TIMES Indonesia)
Ichwan Arifin adalah Alumnus Pasca Sarjana MIP Undip, pegiat Sanggar Kebangsaan (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Saat itu, musim panas pada Juni beberapa tahun silam. Kebetulan, kami ada agenda di Wina, Austria. Namun, sejak dari awal sudah direncanakan selepas urusan di Wina, kami akan lanjutkan perjalanan ke beberapa negara di Eropa Timur. Praha, ibu kota Republik Ceko menjadi salah satu destinasi yang dipilih.

Perjalanan dari Wina ke Praha ditempuh dengan bus. Lebih hemat tapi juga tetap nyaman.  Meski perjalanan antar negara, tapi “shuttle” pemberangkatan bus tidak seperti terminal internasional. Lebih mirip kantor agen tiket/travel.

Perjalanan ke negara-negara anggota Uni Eropa (UE) memang sangat mudah. Tidak perlu mengurus visa dari banyak negara. Cukup 1 visa yang sering disebut dengan visa Schengen. Berbekal visa itu kita bisa bebas pergi ke sebagian besar negara-negara anggota UE (20 dari 28).

Perjalanan Wina-Praha ditempuh sekitar 5 jam. Menyusuri kawasan “countryside” yang cantik pemandangannya. FlixBus yang kami naiki sangat nyaman membuat perjalanan tidak melelahkan. Bus berhenti di Florenc, Praha. Terminal bus itu tidak besar tapi bersih dan tak nampak pula calo tiket, pedagang asongan dan pengamen. 

Pilihan transportasi publik di Kota Praha beragam. Metro bawah tanah, trem, bus dan taksi. Hampir semua sudut kota dijangkau moda transportasi publik. Rata-rata beroperasi dari pagi hingga tengah malam. Membuat nyaman bepergian tanpa kendaraan pribadi. Tarif relatif murah, kecuali taksi. Kalau tidak mendesak jangan naik taksi. Selain mahal, sopir nakal juga banyak disini.

Jalan di tengah kota tidak terlalu lebar. Sebagian diantaranya dikonstruksi dari batu hitam yang ditata sedemikian rupa. Ditengahnya terdapat jalur trem. Area pejalan kaki tersedia di kanan kiri jalan. Lebar, bersih dan nyaman. Pemandangan kota dipenuhi dengan bangunan gaya gothic dan baroque. Menjulang gagah, menambah cantik wajah kota. Praha sangat tepat dijuluki kota seribu menara karena banyaknya bangunan kuno dengan ciri khas menara. Tidak terlihat banyak billboard iklan yang menyiksa mata.

Suhu relatif hangat saat musim panas. Jadi tidak perlu baju hangat berlapis-lapis. Matahari baru sepenuhnya tenggelam sekitar jam 9 malam. Karena saat itu Ramadhan, cukup berat juga bagi yang menjalankan puasa.

Sisi menarik lainnya dari Praha adalah melihat proses transformasi politik, sosial dan ekonomi. Beragam peristiwa dalam sejarah disikapi sebagai “gemblengan kehidupan”. Elemen bangsa semakin kuat dan dewasa dalam merespon perubahan.

Mozaik persitiwa itu diawali dari terbentuknya negara Cekoslovakia selepas Perang Dunia (PD) I. Sebelumnya wilayah itu bagian dari Kekaisaran Austro-Hongaria. Namun, pada PD II membawa Cekoslovakia masuk dalam fase pendudukan Nazi-Jerman. Kekalahan Nazi-Jerman dalam PD II, menyeret Cekoslovakia dalam pengaruh Uni Soviet. Cengkeraman negeri Beruang Merah semakin menguat saat Partai Komunis Cekoslovakia menang pemilu 1948.

Gejolak politik datang lagi saat pemimpin komunis berhaluan liberal menggulirkan reformasi politik. Uni Soviet dan Pakta Warsawa membungkam reformasi dengan invasi militer. Peristiwa itu dikenal dengan istilah “Musim Semi Praha”. Kemudian, kaum komunis garis keras menguasai Cekoslovakia hingga puluhan tahun lamanya. Baru tumbang saat terjadi “Revolusi Beludru” (sametova revoluce) pada 1989.

Meski disebut revolusi, namun transisi politik dari rejim komunis ke demokrasi liberal tidak penuhi dengan genangan darah.

Kedewasaan politik itu dibuktikan lagi saat peristiwa “Dissolution” pada 1991. Ceko dan Slovakia secara damai memutuskan berpisah dan masing-masing berdiri sebagai negara berdaulat. Praha menjadi ibu kota Ceko sedangkan Slovakia memilih Bratislava sebagai ibu kotanya.

Meski cukup lama berada dalam kuasa rejim komunis. Namun saat ini, tidak banyak yang dapat dilihat sisa-sisa komunisme. Kota dan gaya hidup masyarakatnya telah berubah. Tak ada bedanya dengan kota-kota di Eropa Barat. Mobil mewah banyak mengisi jalan raya. Pusat belanja dengan gerai barang mewah juga banyak, termasuk restoran fancy, hingga beragam hiburan malam.

Dibalik gemerlap kota, terlihat banyak pengemis dan pengamen. Khususnya di sudut kota dan tempat wisata. Tapi tidak seperti di sebagian kota di Indonesia, mereka rapi dan tidak memaksa.  Pemandangan yang sulit ditemukan saat rejim komunis berkuasa.

Hal yang tidak berubah adalah keberadaan bangunan tua yang tetap terpelihara dengan baik. Charles Bridge, Wallenstein Palace, Prague Castle dan sebagainya bahkan menjadi kawasan wisata yang menarik banyak pengunjung.

Mungkin yang tersisa hanya Museum Komunisme. Dibangun pada 26 Desember 201 di jantung Kota Praha. Menempati bangunan aristokrat peninggalan abad 18. Tidak besar, hanya terdiri dari 5 ruangan dengan luas masing-masing sekitar 3x4m². Ironisnya Museum Komunisme itu terhimpit diantara restoran cepat saji Amerika dan Casino.  Keduanya produk kapitalisme yang diharamkan komunisme.

Tiket sangat terjangkau, CZK 190 (setara Rp. 112 ribu). Sayangnya, tidak banyak informasi yang diperoleh. Kita hanya dapat melihat contoh pamflet dan poster propaganda rejim komunis. Selain itu, terdapat patung Karl Marx dan Vladimir Lenin diapit Bendera Uni Soviet.

Dapat melihat juga juga contoh ruang interogasi, ruang sekolah dan model alat produksi pertanian. Di sebagian besar dindingnya dipajang foto-foto peristiwa perubahan sosial politik sejak pendudukan Nazi-Jerman hingga Revolusi Beludru. Ada juga informasi audio visual dalam bentuk film dokumenter tentang Revolusi Beludru yang diputar dari sebuah TV tua. Melihat museum itu, kesimpulannya terlalu sederhana dan minim informasi untuk menggambarkan ideologi yang pernah mengguncangkan dunia.

Indonesia memang tidak pernah dikuasai rejim komunis. Namun, Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah muncul sebagai 4 partai besar hasil pemilu 1955. Pergolakan politik 1965 membuat kaum komunis tersingkir. Peristiwa itu diabadikan melalui Museum Pancasila Sakti di Desa Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Meski sama-sama bertema komunisme, impresi awal masuk ke kedua museum itu sangat berbeda. Masuk ke Museum Komunisme tidak mendapati kesan seram seperti saat berkunjung ke Museum Pancasila Sakti. Tidak ada diorama adegan sadis dan berdarah, meski disitu ditampilkan juga contoh alat yang digunakan dalam interogasi.

Komunisme memang sudah bangkrut, termasuk di Praha yang pernah menjadi urat nadi komunisme dunia. Ironisnya di Indonesia, komunisme masih sering dijadikan “hantu-hantuan” menakuti rakyat. Untuk itu, sepatutnya kita belajar dari rakyat Ceko dan Slovakia dalam menyikapi luka sejarah. Mereka tidak menjadikan peristiwa kelam sebagai sekat sesama anak bangsa, apalagi menempatkannya sebagai alat diskriminasi.

Fase kelam dalam tahap sejarah tidak diungkit-ungkit, apalagi dibuat hantu untuk kepentingan politik sesaat.  Semua sepakat fokus menata dan menatap masa depan.

Akhirnya saya berharap, semoga tidak ada lagi hantu-hantuan yang dimunculkan setiap 30 September! (*)

***

*) Ichwan Arifin adalah Alumnus Pasca Sarjana MIP Undip, pegiat Sanggar Kebangsaan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES