Kopi TIMES

Seruan Ontologis Levinas dan Pilkada Serentak

Sabtu, 26 September 2020 - 17:19 | 70.01k
Frederikus Magung, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere.
Frederikus Magung, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere.

TIMESINDONESIA, MAUMERE“Kerinduan akan yang lain, yang kita hadapi dalam pengalaman sosial adalah dorongan dasariah, orientasi mutlak, (atau) makna itu ( sendiri)”
(Levinas)

Sebagaimana Levinas, Aristoteles juga menekankan disposisi manusia dari sisi kodrat insaninya yaitu To Anthropinon Agathon, makluk yang terkondisi baik. Kerinduan dasariah manusia, menurut Aristoteles tergeletak pada kondisi natural bahwa manusia mempunyai hasrat untuk berbuat baik pada yang lain.

Pada opsi ini, kehadiran sabda wajah Levinas bertendensi untuk membongkar tabir humanisme universal. Universalitas menjadi dorongan dasariah manusia, memberi diri seutuhnya kepada yang lain. Yang lain itu adalah mereka yang menderita, mati kelaparan ataupun peperangan,  mereka yang tidak diperhatikan, ataupun perlawanan arena politik. Atau dalam bahasa Levinas, sabda wajah adalah tindakan praktis yang benar sebagai rasa bertanggung jawab untuk yang lain. 

Dalam filsafat Levinas, sabda wajah adalah suatu pemberian diri. Maka demikian, kebebasan dan otonomi pribadi menjadi hal sentral. Sabda ini sebetulnya ingin membongkar kemapanan yang kian lama tertanam dalam diri manusia sebagai penghancur bagi yang lain. Bahwa kehadiran kita kepada yang lain, bukan hanya soal ada bersama tetapi betul-betul ada bersama memberi makna. Ada sesuatu yang harus kita berikan yang lain. Karena itu adalah suatu tanggung jawab etis-moralae.  

Sikap progresivitas pemberian diri mesti menjadi acuan politik pragmatis dalan tatanan norma, hukum dan juga terafiliasi dalam konteks nyata kehidupan manusia. Kemandekan yang kian lama menafikan diri pada struktur sosial-kemasyarakatan perlu dibongkar. Oleh karena itu, kehadiran filsafat Levinas memberikan cahaya kebenaran dan pencerahan intelektual bagi orang lain.

Persis pada aras ini, pilkada serentak 2020 menjadi ajang demokratis yang (harus) dilandaskan pada tranformasi figuratif filsafat Levinas. Sabda Levinas, hemat penulis menjadi ikon penting dalam mengubah cara berpikir kita (khusus politisi) terhadap yang lain.

Pilkada: Soal Kemanusiaan

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dipilih lansung oleh rakyat melalui pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. 

Lalu, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007, tentang penyelenggaraan pemilihan umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang adalah pilkada DKI Jakarta 2007.

Pertanyaan fundamentalnya adalah apa maksud dan tujuan dari pilkada itu sendiri? Apakah ada sisi ontologis dari pilkada itu? Apakah Undang-Undang Pilkada memberi jaminan keadilan kehidupan manusia sebagai pribadi yang otonom? 

Khalid M. Ishaque, sebagaimana yang dikutip oleh Miriam Budiadrjo, mengatakan bahwa hidup adalah karunia Tuhan dan dijamin untuk semua manusia (life is a God-given gift dan the right to life is guaranteed to every human person) (Miriam, 2008: 240).

Khalid mempresentasikan manusia sebagai makluk bebas, makluk otonom. Sifat otonominya bukan tergeletak pada Norma, hukum atau UU yang berlaku dalam suatu negara. Negara hanya bisa mengurus pribadi otonomi manusia, bilamana rakyat terjerembab dalam kungkungan idealisme.

Negara hadir memberikan pencerahan bagi rakyatnya yang kehilangan jati dirinya, bukan untuk merenggut kemanusiaan manusia sebagai pribadi yang otonom.

Lebih jauh, tulisan Khalid bertajuk Human Right in Islamic Law mempresertasikan beberapa hal (ibid., hlm. 240). Di antaranya: hak untuk hidup, hak untuk memperoleh keadilan, hak persamaan, hak untuk memenuhi apa yang sesuai dengan hukum, serta untuk tidak patuh kepada apa yang tidak sesuai dengan hukum, hak kebebasan, hak kebebasan kepercayaan, hak untuk menyatakan kebenaran, hak mendapatkan perlindungan terhadap penindasan karena perbedaan agama, hak mendapatkan kehormatan dan nama baik, hak ekonomi dan hak untuk memiliki. 

Bila kita telisik lebih komprehensif perspektif Khalid, lalu dikaitkan dengan konteks Indonesia kita saat ini, negara (kita) sedang hidup dalam kungkungan massa yang diatur oleh sekelompok orang. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepentingan dalam negara. Dalam hal ini mereka adalah bagian dari sebagian kecil yang merusak kemanusian manusia sebagai pribadi yang otonom. 

Lalu, dalam konteks pilkada serentak 2020, persis Levinas ingin membongkar kemapanan idealisme para politisi dalam meraih kekuasaan. Pergerakan aliansi pilkada telah merusak nilai demokrasi. Pilkada merekonstruksi konsep baru bukan untuk membangun tatanan manusia tetapi malah menitipkan problem baru, bahkan melenyapkan kemanusiaan.

Yang lain menjadi musuh politik, dan imbasnya kepada rakyat. Hemat saya, hukum tidak memberikan pardon pengampunan kepada mereka, sebab mereka, Jankelevitch, sebagaimana ditegaskan Derrida melihat bahwa memang tidak memberikan pengampunan yang berkaitan dengan kejahatan melawan kemanusia, melawan kemanusiaan dari manusia itu sendiri (Baghi, 2012: 82). Tapi Levinas mecoba merangkai opsi baru dalam memboikot konsep lama itu yang terafiliasi dalam idealisme kaum politisi.

Sabda Ontologis Levinas: Sebuah solusi

Dalam filsafat Levinas, yang lain disebut sebagai sahabat, sebab yang lain itu makluk ciptaan Tuhan yang patut kita jaga, kita hormati. Sikap membuka diri berarti memberikan diri seutuhnya kepada yang lain, musuh (politik) sekalipun. Pemberian diri menerjemahkan disposisi subjek sebagai si pemberi. Yang lain sebagai si penerima. Memberi karena ada rasa kemanusiaan, sifat manusia sebagai yang Terberi. 

Maka hemat penulis, sabda Levinas sangat kontekstual dalam ajang pilkada tahun ini. Pilkada mesti menjadi ajang pemberian diri bagi yang lain, bukan dilihat sebagai musuh, tapi berusaha menghadirkan mereka dalam diri kita sebagai sahabat. 

Oleh karena itu, semoga pilkada serentak tahun ini memberikan warna baru bagi demokrasi, menitipkan cahaya kemanusiaan serta memberikan pencerahan intelektual bagi yang lain sebagai lawan politik. 

Mari, berpolitiklah yang bermartabat, berperikemanusiaan. Mengutip Levinas, “sesungguhnya pemberian diri yang tulus dan iklas hanya dilihat dari krutuhan dan kesempurnaan dalam memberi diri”. 

Sanggupkah kita memberi diri? 

***

*) Oleh: Frederikus Magung, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES