Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Filosofi Pesan Al-Ghazali

Jumat, 25 September 2020 - 09:08 | 55.90k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Kata Imam Al-Ghazali “uang itu bagaikan ular yang menyebarkan bisa bagi siapa saja yang hidupnya terikat dengannya”.

Apa yang disampaikan filosof dan ahli zuhud itu merupakan peringatan keras terhadap manusia yang hidupnya diabdikan atau diperbudak oleh uang. Manusia dinasihatinya agar tidak membuat perikatan mutlak dengan uang, atau uang tidak membuatnya terhegemoni jati dirinya. Mengapa?

Dalam ranah filosofis, uang dapat memberikan dampak serius yang membuat manusia bisa kehilangan kecerdasan moral dan spiritualnya, pasalnya di dalam dirinya dominan disibukkan untuk mengalkulasi dan mengiblati arah rotasi uang, tanpa bisa berfikir dengan bening untuk memperlakukan uang sebatas alat pertukaran.

Celakanya, uang kemudian dijadikan sebagai senjata utama untuk mempengaruhi, mengalihkan wacana, membeli opsi, dan mengamputasi ideologi, keyakinan, dan kredibilitas seseorang atau masyarakat, sehingga norma-norma yuridis dan  etik politik yang bertajukkan demi demokrasi yang ditempuh dengan melibatkan rakyat sekalipun bisa mengalami cacat sangat serius.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Itulah “bisa” (racun) (seperti nasihat Al-Ghazali) yang ditabur oleh uang yang disalahgunakan oleh   pemakainya. Pemakai bisa jadi hanya mampu menempatkan uang sebagai kekuatan pembunuh yang ganas dan mematikan tanpa berfikir kalau yang dilakukannya ini akan (dapat) menghancurkan peradaban masyarakat di masa mendatang.

Karena melibatkan rakyat secara langsung, maka Pilkada ini  disebut sebagai tahapan penyelenggaraan pesta demokrasi riil. Rakyat kembali memperoleh identitasnya “vox populi, vox dei” atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat akan menjadi komponen negara yang disembah-sembah, yang menentukan nasib sang figur kandidat.

Meskipun  melibatkan rakyat, tidak lantas Pilkada kali ini tidak mengandung kerawanan kriminogen yang tinggi. Karena rakyat akan menjadi subyek yang dipinang atau dilamar oleh masing-masing kandidat untuk diminta opsi politiknya. Dalam upaya “menjinakkan” opsi politiknya ini, rakyat sekarang mulai memahami kalau dirinya sangat berharga dan layak ditempatkan sebagai “tuhan politik” yang merangsang emosi dan birahi banyak pihak yang ikut “bermain” di dalamnya.. 

Di dalam diri rakyat mulai tumbuh wawasan atau minimal asumsi yang berkembang kalau apapun yang terkait dengan kepentingan kekuasaan itu harus ada bandrolnya,  ada political cost alias tidak ada yang gratis, apalagi Pilkada ini memilih dan memproduk seseorang yang akan mengisi kursi ningrat. Pilkada dianggap oleh masyarakat lebih dominan bukan sebagai pestanya, tetapi pestanya komunitas elit politik yang berambisi merebut kekuasaan. Sementara kekuasaan yang direbut telah dpersepsikan oleh masyarakat sebagai “mesin uang” yang strategis dan fantastis.

Rakyat pun kelihatannya semakin terkondisikan oleh suasana pasar politik dari “petarung-petarung sendiri” (kandidat) dan Parpol yang cenderung melihat, menempatkan atau mengomoditi Pilkada ini sebagai pesta selebritis eksklusif politik, sehingga yang namanya pesta itu pastilah harus memakan  biaya yang tidak sedikit.

Dalam ranah itu, jadinya siapa yang bisa dan terlibat dalam pesta demokrasi, identic diharuskan bisa menyiapkan “sajian” atau menu yang lezat yang membuat rakyat berminat untuk memakannya dengan lahap.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam persepsi peserta, apa yang diperolehnya itu wajar, mengingat Pilkada hanya pesta lima tahun sekali, sehingga diasumsikannya logis jika setiap orang yang ingin memenangkan tiket prestisius ini, harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit, apalagi kedudukan yang akan diraihnya merupakan jabatan mapan yang dilekati  banyak hak privilitas.

Sedangkan rakyat di bawah yang juga mulai paham dengan permainan segmen pengurus partai juga “bermain” sendiri lewat hak opsi politiknya. Opsi politiknya akan diberikan untuk figur tertentu yang mau datang mengunjunginya, apa secara langsung atau lewat broker-broker politik dengan membawa  uang.

Kalau sudah demikian itu, maka sulit untuk dihindari kecenderungan buruk berupa absolutnya politik  uang. Meski sejak dini KPU yang jadi “panitia utama” Pilkada sudah mensosialisasikan kalau politik uang itu pelanggaran hukum dan perbuatan nista menurut agama dan hukum, tetapi pergeseran praduga politik di masyarakat tampaknya akan memberi tempat bagi berkibarnya money politics.

Berkibarnya politik uang itu jelas akan mengganjal obsesi mewujudkan konstruksi pemerintahan daerah yang baik, berwibawa, dan bersih (clean government), karena kandidat yang terpilih bukanlah kandidat yang diproduk lewat ijtihad politik yang sahih, melainkan lewat proses “dagang sapi” yang bercorak instan. Ketiadaan kader tebaik yang terpilih menjadi pimpinan daerah misalnya karena tidak punya  dana besar untuk menghalalkan strategi politik uang dalam Pilkada akan menjadi niscaya sekali, pasalnya dikalahkan oleh kandidat oprtunis bermental “main terabas” yang lebih mampu membeli opsi politik. Kasus ini jelas layak dikategorikan sebagai kecelakaan besar bagi kehidupan demokrasi di negeri ini. Pilkada akhirnya bukan sebagai tahapan ijtihad untuk melahirkan pemimpin besar dalam kemuliaan, tetapi sebatas pesta menabur “bisa” yang mematikan demokrasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES