Kopi TIMES Pilkada Serentak 2020

Posisi Rakyat dalam Menjaga Entitas Demokrasi di Pilkada

Jumat, 25 September 2020 - 04:16 | 103.92k
Adyad Ammy Iffansah, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.
Adyad Ammy Iffansah, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.
FOKUS

Pilkada Serentak 2020

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Media sosial akhir-akhir ini diwarnai dengan kontestasi pilkada yang akan dilaksanakan tanggal 9 Desember mendatang. Semarak ajang 5 tahunan tersebut memberikan dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, seperti contoh melemahnya kemampuan manusia dalam menghargai pilihan orang lain,  membenci orang yang tidak sependapat denganya, melemahnya netralitas, dan semua itu bisa merusak citra yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia yakni persatuan.

Pemilu sendiri merupakan alat pemilihan sosok pemimpin selama hampir 5 tahun pada tingkat daerah maupun pusat, pemilu diyakini memiliki solusi atas terbentuknya sebuah sistem kepemimpinan yang adil dan beradab, dengan pemilu negara diyakini memiliki marwah demokrasi yang tinggi. Seperti dapat dilihat dari indeks demokrasi internasional Indonesia menempati posisi ke-64 dari 167 negara di dunia, bisa dibilang cukup baik untuk negara multikulturalisme yang mempunyai banyak sekali keragaman.

Meskipun banyak sekali problem di dalamnya seperti perpecahan secara golongan sosial, ataupun menurunya kamampuan manusia dalam menerima sebuah perbedaan pilihan menjadi titik tumpu yang sampai saat ini belum terselesaikan. Apalagi dengan mudahnya manusia berkomentar dan berdalih apapun di sosial media menambah runyamnya momen 5 tahun sekali ini.

Diketahui ada sebanyak 144 kabupaten dan 37 kota yang menyelenggarakan pemilihan daerah, untuk menjaga jalannya demokrasi secara adil dan tidak menyalahi aturan bahkan norma dan hak asasi manusia secara berlebihan, kita sebagai masyarakat harus mengetahui posisi dan turut serta dalam menjaga nyawa keadilan di Indonesia. Selayaknya kita memandang beberapa unsur agar terhindar dari kesalahan-kesalahan yang bisa menyoreng marwah demokrasi.

Kalau melihat etimologi demokrasi sendiri terbagi menjadi dua asal kata yakni demos yang artinya rakyat dan kritos kekuasaan. Secara terminologi bahwa demokrasi ialah sebuah sistem pemerintahan ataupun politik yang secara esensial berada di tangan rakyat. Dengan nilai-nilai yang ada tersebut seharusnya spirit yang dibangun harus sejalan dengan basis etis manusia akan tetapi realitas berkata lain jauh dari nilai-nilai demokrasi kecurangan dalam pemilu atau pilkada sangat rawan terjadi seperti politik uang atau menegemen isu yang memecah belah rakyat.

Mempunyai sikap yang berintegritas, sebagai bagian sebuah bangsa dan negara yang menganut sistem demokrasi, posisi masyarakat menjadi sangat penting apalagi dihadapkan pada sebuah pilihan yang berpengaruh pada esensi kesejahteraan rakyat.

Hak pilih seharusnya menjadi ruang bebas bagi masyarakat dalam mengeksperikan pendapat politisnya, yang jelas hal itu didasarkan pada visi dan misi calon kepala daerah. Bukan pada eksistensial per individu paslon atau golongan yang mendeklarasikan diri sebagai relawan atau pendukung lewat strategi politik praktis. 

Memang dalam sistem demokrasi, politik praktis bukan menjadi hal baru melainkan menjadi mesin pemenangan dari suara yang sudah bulat untuk mendukung salah satu pasangan calon akan tetapi mempunyai kekurangan pada unsur legitimasi karena banyak pertentangan dan tidak puasnya sebagian kelompok atas keputusan jumlah suara yang didapat.

Selayaknya kita sebagai mesyarakat Indonesia menjaga marwah dan hakikat demokrasi itu sendiri, dengan melakukan serangkaian tindakan pengawasan maka kita sudah menjadi bagian dari suksesor pilkada yang adil dan memenuhi standar demokrasi.

Semua warga negara tidak terkecuali, bisa melakukan tindak pengawasan dengan dalil menjalankan standart demokrasi yang ada, bahwasanya pemilu atau pilkada harus dilakukan dengan adil tanpa kecurangan. Meskipun dalam praktiknya masih banyak di temui kesalahan-kesalahan yang dianggap sepele tapi malah akan menyengsarakan rakyat nantinya.

Pengawasan bisa di bedakan menjadi dua bagian yakni "pengawasan tahapan" dan "pengawasan non tahapan" dan dari kedua bagian ini menjelaskan mengenai tindakan untuk melihat dan menyaksikan jalanya pemilu atau pilkada secara bijak dan netral. (Workshop, KPP Bawaslu Gresik, 2020)

Pada bagian pertama yakni pengawasan tahapan kita dituntut untuk mengikuti alur serta mengawasi dari mulai proses penyusun data pemilih, masa kampanye, masa tenang, sampai pada pemungutan dan perhitungan suara. Hal tersebut penting untuk mengurangi tindak kecurangan yang bisa saja terjadi.

Untuk bagian kedua, pengawasan non tahapan terdiri dari mengawasi ASN saat masa kampanye, politik uang, sampai netralitas penyelenggara. Untuk pelaporan sendiri bisa secara lisan menghubungi pengawas pilkada tingkat lelurahan/ desa, panwascam (panitia pengawas kecamatan) atau kepada bawaslu kabupaten.

***

*)Oleh: Adyad Ammy Iffansah, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES