Kopi TIMES

Pilkada 2020, Opini Publik dan Ilusi Demokrasi

Jumat, 25 September 2020 - 02:22 | 395.00k
Sukmasih, Penulis merupakan pemerhati isu komunikasi, sosial dan politik. Belajar di Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Sukmasih, Penulis merupakan pemerhati isu komunikasi, sosial dan politik. Belajar di Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

TIMESINDONESIA, BANTEN – Pilkada 2020 adalah prosesi alih kekuasaan yang paling ditunggu oleh sejumlah orang yang memiliki kepentingan. Sebagian peserta pilkada adalah petahana, sebagian merupakan pasangan calon yang sama-sama berusaha menghimpun banyak dukungan. Ini adalah medan perang bagi para peserta pilkada yang memiliki kepentingan untuk memperebutkan kursi kekuasaan di daerah.

Seorang filsuf asal Tiongkok Mao Zedong mengatakan, politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah. Antara politik dan perang mungkin memiliki kesamaan, keduanya dilakukan untuk mencapai sesuatu. Politik dan perang merupakan ajang untuk mendapatkan kekuasaan. Benar, dengan kekuasaan maka seorang penguasa akan mampu memegang kendali atas aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kontestasi pemilu menjadi arena perang tanpa pertumpahan darah.

Namun, ada yang berbeda dengan pilkada 2020. Pilkada 2020 dibayangi musibah non alam, yaitu pandemi Covid-19. Benar, ini adalah musibah. Kehadiran pandemi covid-19 sejak awal 2020 telah banyak mengubah kondisi kehidupan manusia. Krisis kesehatan melanda umat manusia tak terkecuali rakyat Indonesia. Belum usai penanganan krisis kesehatan, kini manusia dilanda berbagai krisis, utamanya krisis ekonomi. 

Masyarakat dihadapkan pada jurang kematian, itu adalah fakta yang nyata. Manusia dihimpit kematian, baik akibat virus maupun akibat kelaparan karena sulitnya mencari pundi-pundi uang di tengah masa pandemi.

Payahnya, kontestasi politik justru hadir di Indonesia saat rakyat dalam kondisi terhimpit. Maka suatu pertanyaan besar muncul, apakah manusiawi jika pemerintah tetap ingin menyelenggarakan pilkada di tengah meningkatnya kurva kasus Covid-19?

Opini Publik

Jelang pilkada 2020 sejumlah opini publik bermunculan di media. Opini-opini ini hadir dari berbagai kalangan, baik kalangan elit pemerintahan, organisasi masyarakat hingga masyarakat umum. Media menjadi medan perang baru untuk menyampaikan berbagai opini terkait pelaksanaan pilkada 2020.

Melansir laporan harian koran Kompas edisi 22 September 2020, terdapat timeline mengenai suara publik terkait pelaksanaan pilkada 2020. Tertera pada 25 Mei 2020, muncul petisi melalui change.org bertema “Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021”. Hingga 21 September 2020, petisi ini telah mendapat dukungan dari 33.580 orang.

Kemudian pada 11 September 2020, Komnas HAM merekomendasikan agar pelaksaan tahapan pilkada lanjutan ditunda sampai penyebaran Covid-19 berakhir atau minimal mampu dikendalikan berdasarkan data epidemilogi yang dipercaya. Pada 21 September 2020, suara serupa muncul dari berbagai organisasi keagamaan di Indonesia. Mulai dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia hingga Persatuan Umat Buddha Indonesia meminta pemerintah menunda pelaksanaan pilkada 2020 dan mengedepankan keselamatan rakyat.

Desakan untuk penundaan pilkada langsung pada 9 Desember  2020 datang dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Jusuf Kalla mengatakan bahwa pemerintah harus memilih antara kesehatan atau demokrasi.

Hadirnya opini publik adalah hal wajar mengingat saat ini seluruh elemen masyarakat sedang menghadapi berbagai macam krisis. Bernard Hennessy dalam Olii dan Erlita (2017) mengenukakan bahwa salah satu faktor munculnya opini publik karena adanya unsur kontroversi dalam suatu isu.

Penyelengaraan pilkada langsung di tengah masa pandemi telah mengundang dua argumen kuat, pertama adanya desakan dari beberapa pihak untuk menunda pilkada serentak demi kemanusiaan dan yang kedua adalah upaya pemerintah untuk tetap menyelenggarakan pilkada serentak demi terjaganya hak konstitusi dengan tetap mempertahankan protokol kesehatan.

Dua argumen yang saling bertolak belakang ini muncul di media dan menyuguhkan berbagai penjelasan untuk menguatkan masing-masing argumen.

Juru bicara presiden, Fadjroel Rachman mengatakan, penyelenggaraan pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 September 2020. Pilkada akan digelar dengan protokol kesehatan yang ketat.

Mengutip detik.com, jubir presiden juga mengungkapkan alasan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan pilkada di tengah masa pandemi. Pilkada 2020 tetap diselenggarakan demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih.

Fakor kedua yang menyebabkan munculnya opini publik adalah adanya kelompok yang berkepentingan dengan persoalan tersebut. Tidak dapat dipungkiri, krisis kesehatan akibat pandemi dan upaya penegakkan demokrasi adalah dua hal yang melibatkan orang-orang yang memiliki kepentingan.

Krisis kesehatan telah melibatkan banyak orang dan ini merupakan permasalahan bersama, sementara penyelengaraan pilkada juga berkaitan langsung dengan orang-orang yang memiliki kepentingan. Utamanya bagi mereka yang akan terjun dalam medan perang untuk memperebutkan kekuasaan di daerah melalui pilkada.

Ilusi Demokrasi

Demokrasi berdiri dilandaskan pada kebebasan dan kepentingan bersama. Konsep ini kemudian menjadi dasar kuat bagi rakyat untuk memiliki hak bersuara atas berbagai kebijakan. Suara rakyat akan sangat penting untuk menyelaraskan kebijakan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat. Dengan demikian, kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan penguasa.

Selain itu, demokrasi juga dianggap sebagai sistem pemerintahan paling manusiawi untuk saat ini. Demokrasi mengakui adanya kepentingan rakyat yang layak untuk diperjuangkan.

Di beberapa negara yang menjadikan demokrasi sebagai landasan dasar dalam menjalankan pemerintahan, telah menjadikan pemilu/pilkada sebagai ajang penegakkan demokrasi. Pemilu/pilkada dianggap mampu memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan sosok yang akan memimpin mereka, sosok yang mampu memahami kebutuhan mereka sekaligus sosok yang mampu menjalankan kekuasaannya untuk kepentingan rakyat.

Lalu, jika hal ini dihubungkan dengan penyelenggaran pilkada 2020 di masa pandemi, maka akan memicu munculnya sejumlah pertanyaan. Apakah penegakkan demokrasi melalui pilkada sejalan dengan fakta bahwa rakyat tengah cemas karena meningkatnya kurva kasus Covid-19? Apakah demokrasi masih dapat dikatakan manusiawi jika prosesi pilkada langsung akan menjadi cluster baru? Apakah demokrasi masih membela kepentingan rakyat di masa pandemi?

Sejumlah pertanyaan tersebut, akan merujuk pada satu kesimpulan mengenai posisi opini publik di masa pandemi. Apakah opini publik hanya akan menjadi suara sumbang atau justru menjadi suara yang mampu memengaruhi kebijakan pemerintah terkait pelaksanaan pilkada 2020.

Pada dasarnya pendapat publik dalam kehidupan berdemokrasi bukan hanya berada pada lembaran kertas bolong di kotak suara. Pendapat publik dalam kehidupan berdemokrasi juga ada di media-media massa, media-media sosial. Yang menjadi catatan penting adalah tentang prinsip demokrasi yang menempatkan pendapat publik sebagai dasar pembuatan kebijakan publik. Kepentingan publik akan terwakili dalam wujud opini publik.

Pemerintah pusat berserta praktisi humasnya harus mampu mengoptimalisasi kepekaan indra pendengaran. Opini publik yang bermunculan jelang pilkada di tengah masa pandemi sifatnya mendesak pemerintah untuk menunda pilkada langsung 2020. Alasannya jelas, publik lebih mementingkan nilai kemanusiaan dan keselamatan bersama. Lalu, yang mana yang bersifat demokratis? Tetap menyelenggarakan pilkada langsung atau menundanya demi keselamatan rakyat?

Pemerintah pusat beserta jajaran humas harus mampu meneliti kembali opini publik yang bermunculan. Meskipun opini publik terkadang bersifat subjektif, namun seringkali muncul dari hasil diskusi panjang dan mendalam. Maka sering kali, opini publik menyajikan berbagai penjelasan dan menawarkan jalan penyelesaian.

Jangan sampai pemerintah dan jajaran humasnya menjadikan aturan-aturan hukum dan pernyataan retorik  yang mengangkat jargon-jargon moralitas demokrasi menjadi bahan untuk menjawab opini publik yang meminta penegakkan nilai kemanusiaan dan keselamatan bersama. Sebab, jika pemerintah menjawab opini publik seperti yang dikatakan jubir presiden bahwa pilkada tetap dilaksanakan sesuai jadwal demi menjaga hak konstitusi, maka sama saja pemerintah tengah menyuguhkan ilusi demokrasi.

***

*)Oleh: Sukmasih, Penulis merupakan pemerhati isu komunikasi, sosial dan politik. Belajar di Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES