Kopi TIMES

Perang Melawan Pandemi Covid-19, Refleksi Peringatan Hari Perdamaian Internasional

Kamis, 24 September 2020 - 16:00 | 75.70k
Nissa Rengganis, penulis lepas yang tinggal di Cirebon.
Nissa Rengganis, penulis lepas yang tinggal di Cirebon.

TIMESINDONESIA, CIREBON – Saat ini dunia sedang berperang dengan pandemi Covid-19. Krisis ini telah menyerang semua negara. Tidak heran jika tema Hari Perdamaian Internasional tahun ini adalah 'Shaping Peace Together' yang dirayakan dengan menyebarkan kasih sayang, kebaikan dan harapan dalam menghadapi pandemi. 

Sejak Resolusi Nomor 55/282 Tahun 1991, setiap tahunnya kita merayakan Hari Perdamaian Internasional sebagai ajakan agar seluruh masyarakat dunia bekerja sama untuk menjaga perdamaian dan menghindari segala permusuhan. Tahun ini, momentum Hari Perdamaian Internasional adalah untuk mendukung penanganan wabah pandemik COVID-19 yang diinisasi oleh Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) dan negara masing-masing di seluruh dunia. 

Saya mengulang pertanyaan yang diajukan oleh Robertus Robet: Sanggupkah kita melewati pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) ini? Sejauh mana institusi politik kita mampu memberikan harapan untuk keberlangsungan hidup kita? 

Untuk mengurai pertanyaan ini, mari kita ingat bagaimana tahapan regulasi pemerintah yang terkesan plin-plan dalam menghadapi pandemi covid-19.  Sejak awal misalnya pemerintah begitu  terlambat dalam mengambil langkah lockdown atau yang kita kenal dengan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), kemudian tampak adanya ketergesaan dalam mengambil keputusan 'new normal'. Sialnya, persoalan penangan covid-19 yang belum reda,  pemerintah tetap ‘ngeyel’ untuk melaksanakan pilkada serentak 2020. 

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah akan tetap dilaksanakan meski pandemi virus corona (Covid-19) belum berakhir. Presiden Jokowi, lewat jubirnya, menyatakan bahwa pemungutan suara pilkada di 270 daerah akan tetap dilaksanakan serentak pada 9 Desember 2020 mendatang. Konon demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih.  Hak bagi siapa? 

Pilihan untuk tetap melaksanakan Pilkada sekalipun dengan dalih tetap menjaga protokol kesehatan menunjukkan ketidakseriusan negara dalam penanganan pandemi. Ini juga sebagai bentuk pengkhianatan pada komitmen perdamaian internasional karena nihilnya kerja sama dan solidaritas internasional dalam memerangi pandemi. 

Untuk merespon ini, berbagai kalangan pun mendesak agar pilkada ditunda. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat, misalnya, membuat petisi melalui change.org yang mendesak agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditunda. Petisi dengan tema ”Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021.  Perkumpulan Warga Muda melalui program gerakan muda kawal pilkada turut mendesak penundaan Pilkada Serentak 2020.  

Hingga Komnas HAM pun turut aktif menyuarakan ke pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu untuk menghentikan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 karena berpotensi melanggar HAM. Komnas HAM menilai hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman akan terlanggar jika pilkada tetap digelar. Terlebih lagi kondisi pandemi virus corona di Indonesia belum terkendali. 

Bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap kasus pandemi secara nasional? Yang jelas, sebelum  kebijakan ‘new normal’ saja kita  menyaksikan penambahan kasus positif Covid-19 terus meningkat signifikan, bahkan melahirkan sejumlah rekor baru. Kita harus mawas diri, karena rata-rata kasus aktif di Indonesia juga lebih tinggi dari rata-rata kasus aktif dunia. 

Herannya, data ini diumumkan sendiri oleh Presiden  Jokowi pada beberapa media di mana per 13 September rata-rata kasus aktif di Indonesia 25,02 atau sedikit lebih tinggi dari rata-rata kasus aktif dunia yang mencapai 24,78 kemudian juga jumlah kasus sembuh sebanyak 155.010 kasus dengan recovery rate 71 persen. Nah ini kenapa situasinya diperparah dengan pelaksanaan pilkada serentak? Di satu sisi ingin prioritaskan kesehatan, tapi sisi lainnya tidak menunjukkan upaya untuk pencapaian hal tersebut.

Bagaimana nantinya para politisi yang kita pilih bisa menjamin hak dan keselamatan warganya? Bahkan dalam proses pemilihannya saja sudah membuka ancaman kesehatan bagi warganya. Meminjam istilah Habermas mengenai  free choice di mana masyarakat memiliki suatu kehendak rakyat diakui oleh hukum dan dilaksanakan sebagai amanat “kehendak” demokrasi. 

Dari sinilah mustinya masukan dari masyarakat bisa menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan.  Dengan kata lain, pemikiran tentang sistem demokrasi dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari peran media massa untuk menyuarakan sebagai pengeras suara (sounding board) kepentingan masyarakat warga negara melalui mana persetujuan bebas warga negara dituntut menjadi prinsip legitimasi dan hukum (kekuasaan) negara mengemas berbagai kebijakan sebagai pelaksanaan hak-hak warga (Rechtsprinzip). Di sini praksis demokrasi merefleksikan bahwa hubungan antara sistem (kekuasaan) negara dan sumber kekuasaan itu tetap ada pada rakyat yang berdaulat. 

Pemerintah harusnya bisa belajar dari sejarah sebelumnya. Pandemi covid-19 bukanlah wabah pertama di Indonesia maupun dunia. Kita pernah mengalami wabah pes atau yang dikenal dengan istilah black death. Kita tahu, bagaimana respon dalam menghadapi wabah Black Death saat itu dengan melakukan karantina, lokalisir, hingga hal paling esktrem yaitu mengunci warganya di rumah masing-masing.  Tidak ada kerumunan apalagi untuk pilkada. Menjaga jarak dan waspada, menerapkan gaya hidup sehat dan bersih, pembatasan fisik dan sosial bukanlah hal baru.  Sejarah mencatat itu lumrah dilakukan sejak dulu. 

Jadi, di bagian sebelah mana Pilkada serentak dapat menjadi momentum bagi masyarakat untuk menemukan inovasi baru dalam memutus rantai penyebaran Covid-19? Bagaimana juga pemerintah ikut serta dalam merayakan Hari Perdamaian Internasional untuk berperang melawan pandemi, jika sebaliknya, negara justru tengah memerangi rakyatnya sendiri?

***

*) Oleh: Nissa Rengganis, penulis lepas yang tinggal di Cirebon.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES