Kopi TIMES

Polemik Regulasi Kekerasan Seksual, Banyak Korban Menyuarakan Keadilan

Kamis, 24 September 2020 - 16:30 | 68.19k
Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan. (Grafis: TIMES Indonesia)
Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JEMBER – Seksual sudah menjadi kebutuhan tiap individu, khususnya masyarakat Indonesia.

Hal ini berarti penting bagi tiap individu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai konteks seksual, akan tetapi pengetahuan seks ini masih tabu untuk dibahas, bagi sejumlah orang butuh untuk mendidik anak-anaknya serta mendapatkan pengetahuan yang lebih rinci, tetapi bagi sejumlah orang lainnya, hal ini merupakan aib dan merasa malu untuk dibahas, akibatnya mereka enggan dan menutup diri untuk tidak mendapatkan pengetahuan tentang seks.

Mulai Bulan September 2019, sekolah-sekolah di Inggris diminta untuk menyampaikan pengetahuan seks kepada pelajar, tetapi setelah diadakan survey oleh National Education Union (NEU) hanya sekitar 20 persen yang setuju untuk diberikan pendidikan seks di sekolah. Hal ini mengakibatkan sejumlah anak melakukan penyimpangan, di antaranya membuka laman-laman yang mengandung unsur pornografi dan informasi tersebut tidak difilter oleh anak-anak lantaran rendahnya tingkat literasi, sehingga yang seharusnya dijadikan sumber pengetahuan, berakibat tersesatnya anak kepada sumber-sumber internet yang mengandung konten dewasa.

Masa Pandemi Covid-19 ini, mengharuskan beberapa tenaga kerja untuk bekerja dari rumah, atau bahkan 'dirumahkan'. Kondisi yang penuh tekanan ini harus dirasakan masyarakat Indonesia, terlebih mereka yang memiliki masalah di bidang ekonomi. Hal itu dapat menjadi pemicu untuk melakukan pertahanan diri yang terkesan abnormal, misalnya stress membuat sejumlah orang melakukan kekerasan terhadap orang lain, halusinasi, gila, atau bahkan bunuh diri. Sehingga hal ini adalah masalah serius, sejumlah masyarakat menyoroti jika kondisinya seperti ini secara terus menerus, hal yang berbahaya adalah masyarakat akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, contoh mencuri, penipuan, dan tindak pidana yang lainnya.

Masyarakat kurang begitu peduli untuk menyoroti sektor seksual, apakah dengan pandemi seperti ini tidak berpengaruh kepada kebutuhan seksual? Pasalnya pemicu stress tadi dapat berujung kepada kekerasan seksual. Dilansir www.detik.com selama pandemi Covid-19 kasus kekerasan seksual naik 75 persen, dari total itu, kasus kekerasan seksual mencapai  4.898 kasus. Hal selanjutnya bagaimana pemenuhan keadilan bagi korban kekerasan seksual jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ditarik dari Prolegnas prioritas 2020?

RUU ini melakukan upaya penghapusan kekerasan sesksual dari hulu sampai hilir, di dalamnya mengatur aspek pencegahan, penanganan terhadap korban, pidana terhadap pelaku. Pembeda RUU PKS dengan Undang-Undang ata regulasi yang lain, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sifatnya universal, sementara secara rinci mengenai kekerasan seksual baik bagi pelaku dan korban belum diatur. Oleh karena itu RUU PKS ini diharapkan bisa mengatur secara lebih komprehensif. Perlu diketahui jika suatu aturan telah disahkan maka seluruh warga negara harus mematuhi, baik yang pro maupun kontra, sehingga dalam pembentukannya harus mendatangkan akademisi, media massa, kampus, dan ormas. RUU PKS mencantumkan beberapa blank spot yang belum diatur pada Undang-Undang manapun, termasuk KUHP.

Contohnya beberapa waktu lalu sering terjadi kekerasan seksual yang ada hubungan relasi, seperti guru dengan murid, atasan dengan bawahan. Mereka tidak perlu menggunakan kekerasan, akan tetapi tersadar dengan sendirinya bahwa adanya relasi tersebut mengalami kekhawatiran dan rasa kecamasan, akhirnya beberapa korban, khususnya mayoritas perempuan harus menerima pelecehan seksual, ditambah dalam melaporkan suatu kejadian tidak mungkin semudah itu, sejumlah korban kekerasan atau pelecehan seksual menganggap hal ini tabu dan merasa malu untuk diungkapkan ke ranah hukum, jadi RUU PKS sangat penting untuk mengatur perilaku masyarakat Indonesia.

Akan tetapi ada satu pokok bahasan yang menuai kontroversi, yaitu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Salah satu ormas menolak tegas pengesahan RUU PKS, karena di dalamnya mengandung paham feminism barat yang anti-agama dan berpotensi untuk melegalkan LGBT , terdapat pada Pasal 1 Ayat 1, yang berbunyi 'Sesuatu yang termasuk kekerasan seksual ialah hinaan, serangan terhadap hasrat seksual seseorang.' Memang tidak ada penjabaran lebih lanjut mengenai maksud frasa tersebut dalam lampiran penjelasan, sehingga membutuhkan pembahasan lebih lanjut serta penggunaan kata yang tepat sasaran, sehingga tidak adanya multitafsir.

Hal yang seharusnya menjadi pertimbangan masyarakat dan anggota legislatif adalah urgensi dari RUU PKS ini, memang tindakan DPR selaku anggota legislatif cukup baik, untuk lebih mengkaji agar beberapa sektor dapat diperkuat, misalnya masih banyak teknik perundang-undangan yang lemah, yakni rumusan sanksi, tindakan dan sebagainya. Hal ini harus dibahas kembali, terkait pro dan kontra di kalangan masyarakat, hal itu memang harus dibahas dan dicarikan solusinya, meskipun nantinya akan menghasilkan pro dan kontra lagi.

Itu semua karena masyarakat Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda-beda sehingga tidak ada suatu regulasi yang tidak menuai pro dan kontra, tetapi seminimal mungkin dapat diatasi dan hasil akhirnya dapat disahkan. Memang jika melihat beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual seluruh elemen harus berkomitmen dalam pencegahan kekerasan seksual serta perangkat hukum harus disiapkan.

Bagi masyarakat, hal ini memberikan ruang untuk mendesuskan lebih dalam, ketika telah dibahas dengan baik dan dirasa cukup untuk dibahas di ruang legislasi. Artinya pihak DPR tetap membuka dialog sifatnya progresif, konstruktif, bebas kepentingan, dan kemudian sepakat dalam satu kata yaitu ‘sepakat’ dalam melawan kekerasan seksual. (*)

***

*) Oleh: Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES