Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Korban “Kejahatan” Instruksi

Kamis, 24 September 2020 - 08:24 | 46.04k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Idealisme edukasi yang diharapkan bisa terwujud dalam proses pembelajaran di lingkungan pendidikan, secara general setidaknya dapat terbaca dalam pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Apa yang tersurat dalam pasal 3 tersebut menunjukkan, bahwa Sistem Pendidikan Nasional menekankan penyelenggaran pendidikan pada pembentukan watak (mentalitas) peserta dan  jagad peradabannya (pergaulan atau pengembangan dirinya).  

Perkembangan inteletualitas dan mentalitas generasi berada dalam bentukan proses edukasi yang melibatkan dirinya. Bukan hanya bagaimana peserta didik mempunyai kapasitas hingga kapabilitas keilmuan dalam dirinya, tetapi juga bagaimana dirinya terbentuk konstruksi mentalitasnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Peserta didik dibentuk mentalitasnya supaya menjadi sumber daya manusi a yang berpribadi kuat, berilmu tinggi, kapabel dalam kemandirian, dan utamanya menjadi sosok religius yang standarnya atau konstruksinya religius dalam ucapan, sikap, dan perbuatan.  

Berilmu tinggi saja atau pintar di bidang-bidang tertentu belumlah cukup dimiliki oleh peserta didik, apalagi di era pandemi Covid-19. Terbukti di dunia ini, termasuk Indonesia sudah memiliki banyak orang pintar, namun menghadapi satu virus dengan cara secepatnya bisa menemukan vaksin belumlah ada hasilnya.

Ketika sampai di ranah itu, idealnya setiap subyek bangsa, termasuk kalangan peserta didik, terdidik dirinya dengan memperkuat   ketahanan mentalnya, karena yang digunakan untuk menjawab problem kemasyarakatan salah satunya adalah mengandalkan kekuatan mentalnya. Dari kekuatan mental ini, berbagai problem akibat Covid-19 masih bisa diatasi.  Kekuatan mental merupakan senjata tertinggi dan istimewa bagunya untuk bisa menghadapi ragam tantangan yang menghadamgmya.

Anak-anak yang kuat mentalnya akan lebih mampu menghadapi atau menjawab problematika yang menghadang dibandingkan dengan anak-anak (peserta didik) yang hanya dibentuk menjadi pintar. Sayangnya, dalam ranah ini, orang tua atau keluarga gampang terjebak membuat banyak instruksi yang menuntut peserta didik mematuhinya tanpa harus diperdebatnya jenis, muatan, atau sisi filosofis instruknya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pakar tentang masalah anak Anne Sullivan  menyatakan, bahwa “children require guidance and sympathy far more than instruction,”  atau anak-anak memerlukan bimbingan dan simpati jauh lebih banyak daripada instruksi. Mengapa demikian?

Pemahaman Sullivan  itu secara tidak langsung mengingatkan setiap penyelenggara pendidikan, bahwa potensi fitri generasi atau peserta didik yang bernama religiusias akan menjadi modal besar yang terus berkembang dalam dirinya jika diasah dan dikembangkan.

 Untuk mengasah dan mengembangkannya, bukan instruksi yang harus diberikan kepadanya, melainkan didikan yang bersifat mengarahkan (memberikan pemahaman)  atau memprogresifitaskannya. Disinilah kemudian muncul atmosfir yang memberikan kesempatan secara demokratis dan bahkan inklusif padanya, sehingga membuat alam atau potensi pikir dan psikisnya berkembang dengan baik.

Kalau sampai tidak berkembang dengan baik, maka ini artinya kalangan penyelenggara pendidikan melakukan suatu “kejahatan” atau ucapan, sikap dan perilaku yang membuat peserta didik itu gagal mengembangkan dirinya. Keterhambatan berkembang secara demokratis dan egalitarian adalah modus “kriminalitas”  yang sering tidak disadari penyelenggara pendidikan. Kalau sudah seperti ini, bagaimana bisa negeri ini mempunyai “kekayaan” besar dan hebat di ranah kualitas sumber daya manusia, kalau sejak proses pembelajaran, mereka sudah banyak kehilangan kepentingan asasi yang seharusnya mempengaruhi mentalitasnya.

Pemahaman dan pengembangan terhadap esensi Islam Rahmatan lil alamin  harus ditransformasikan kepada para generasi (peserta didik). Dengan modal transformasi keilmuan tentang Islam Rahmatan lil alamin, mereka bisa mengaktualisasikan dan membumikannya, sehingga menjadi Islam dalam ranah praktik hidup keseharian dimanapun dirinya berada.

 Kalau proses itu bisa diwujudkan dan diprogresifitaskan oleh para penyelenggara pendidikan, maka generasi Indonesia tidak akan sampai terjerumus memahami dan meyakini agamanya sebagai instrumen dan perwujudan instruksi represif dan otoritatif yang diantaranya bisa menjerumuskannya lebih lanjut dalam aksi kejahatan seperti melakukan radikalisme atau terorisme untuk segala macam kepentingan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES