Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Bukan “Budak-Budak Intelektual”

Kamis, 24 September 2020 - 05:51 | 55.27k
Anang Sulistyono, Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unisma Malang, Penulis buku Tafsir Mafia Migas.
Anang Sulistyono, Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unisma Malang, Penulis buku Tafsir Mafia Migas.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Suatu kondisi memprihatinkan, dimana seringkali masih terdengar pengaduan dari calon mahasiswa  baru  atau orang tua yang tidak menerima  anak-anaknya diperlakukan sebagai objek eksperimen berpola “anarki online” yang dilakukan oknum kakak kelasnya yang nota bene mewakili tugas perguruan tingginya.

Mereka itu mestinya paham, bahwa  tujuan Pendidikan tinggi sebagaimana digariskan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yakni   untuk berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.

Jika melihat dan mencermati tujuan Pendidikan tinggi itu, maka jelas yang dilakukan oleh oknum mahasiswa senior yang melakukan kekerasan secara verbalistic merupakan pelanggaran terhadap kepentingan besar dunia Pendidikan tinggi. Dunia pendidikan ini tidak untuk menghasilkan manusia-manusia yang menyukai aksi atau tindak kekerasan dalam segala bentuknya. Dunia ini dijadikan alat edukatif untuk menghasilkan manusia-manusia yang paham etika dan bisa mengamalkannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Logis kemudian jika mereka itu memprotes kalau perguruan tinggi masih dijadikan “arena” praktik militerisasi Pendidikan dalam bentuk apapun, yang otomatis menempatkan mahasiswa sebagai tumbal perilaku biadabnya atau tidak erisnya. Kekerasan di lingkungan dunia Pendidikan tinggi memang masih saja terjadi. Sebagai contoh kasus, meski ini era daring atau online, jenis kekerasan yang lain masih dilakukan oleh “oknum” kaum terdidik. Misalnya yang baru-baru ini terjadi,  mahasiswa baru (maba) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mendapat perlakuan tidak menyenangkan ketika dibentak-bentak oleh senior mereka saat ospek online. Penyebabnya karena maba tersebut diketahui tidak mengenakan ikat pinggang saat ospek online berlangsung. Hal ini pun sempat viral di media sosial dan mendapat beragam komentar dari warganet.

Praktik yang tergolong “brutal”, meski verbalistik  atau dipopuklerkan dengan kekerasan online (violence online) dapat dilacak akar masalahna melalui berbagai aspek, pertama,  mahasiswa (kakak kelas) yang menjadi pelaksana di lapangan masih belum memiliki kematangan emosional atau kebeningan nurani tatkala menghadapi berbagai bentuk perilaku, gaya, ucapan, dan bahkan sikap-sikap yang tak kompromistik yang dilakukan adik kelasnya.

Ketiadaan kematangan emosional mengakibatkan perilaku mahasiswa sulit terkendali, hingga mengakibatkan terjadinya perilaku tak terpuji. Ketika ada gejala adik kelasnya menggelar perlawanan karena menilai dirinya diperlakukan seperti “budak-budak intelektual”,  emosi mahasiswa yang menjadi kekak kelasnya  tak berusaha mengedepankan solusi persuasip, tetapi mengimbanginya dengan cara-cara kekerasan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, adanya produk warisan diskresi  dan budaya represip yang tak secara tegas-tegas dilarang, sehingga hal itu diasumsikan masih sebagai ruang atau celah yang mempersilahkan pelaksnaan Ospek sesuai   dengan otoritasnya mahasiswa.  Mahasiswa merasa masih diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang liberal, namun berpotensi membahayakan atau mengancam hak-hak asasi manusia  Akibatnya, yang mencuat adalah hasrat besar sebagai “penguasa” yang telah ditasbih  untuk meramu dan menerapkan “hukum-hukum jalanan” yang sesuai dengan selera-seleranya.

Ketiga,  mahasiswa kakak kelas yang terjerumus jadi segmen animalisasi kaum terpelajar  bukan tak mungkin sebenarnya hanya menjadi korban dari system dan budaya yang sebelumnya sudah diabsahkan di perguruang tingginya. Mereka itu menjalankan kegiatan Ospek atau lainnya dengan cara berguru kepada pendahulunya dan begitu seterusnya. Mereka hanya melaksanakan dan meneruskan  produk system  yang menggunakan pola interaksi pertuanan, yang tentu saja keluar dari ranah nilai-nilai demokratis dan humanistik.

Pola pertuanan itu merupakan deskripsi posisi mahasiswa yang sebatas jadi objek, sehingga tatkala menjalankan kegiatan perguruan tinggi, dimana selama ini dirinya  juga objek eksperimen diskresi, akhirnya perlakuannya kepada  calon mahasiswa baru tak ditempatkannya sebagai subjek yang demokratis, tetapi objek pelampiasan kusumat struktural yang  memperlakukannya tak secara adil dan egaliter.

Beberapa keniscayaan yang dapat menjadi akar kriminogen timbulnya animalisasi kaum terpelajar itu menjadi tugas istimewa pimpinan perguruan tinggi untuk menanggulanginya.  Kebebasan memang hak, tetapi tak boleh dibiarkan jadi “horor” yang merajam hak-hak asasi manusia.  Pimpinan perguruan tinggi punya tugas menghidupkan pencerahan dan humanisasi kebabasan yang dipuja-puja kaum terpelajar.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Anang Sulistyono, Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unisma Malang, Penulis buku Tafsir Mafia Migas.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES